Banjir Bandang Garut, Kisah Mimin dan Anaknya yang Lima Jam Bertahan di Atap Rumah

Moh Habib Asyhad

Editor

Banjir Bandang Garut, Kisah Mimin dan Anaknya yang Lima Jam Bertahan di Atap Rumah
Banjir Bandang Garut, Kisah Mimin dan Anaknya yang Lima Jam Bertahan di Atap Rumah

Intisari-Online.com -Mimin dan anak kelimanya termasuk dua dari sekian banyak korban banjir bandang yang selamat. Meski demikian, mereka berdua sempat lima jam bertahan di atap rumah mereka, sementara di bawahnya air berarus sangat deras terus mengalir menuju daratan yang lebih rendah.

Mimin mengaku naik ke atap rumah sejak Selasa (20/9) sekitar pukul 22.00 WIB. Lewat tengah malam, volume air yang menerjang Kampung Bojongsudika, Desa Haurpanggung, Kecamatan Tarogong Kidul, makin besar dan disertai suara gemuruh. Ketinggian air yang melewati rumah Mimin mencapai sekitar 2,5 meter.

“Atap rumah saya saja hampir kerendam air. Saya teriak-teriak minta tolong tapi tidak ada yang menyelamatkan. Soalnya arus air sangat deras,” kata Mimin. Feri (20), anak sulung Mimin, tak dapat menyelamatkan diri. Demikian pula Siti, istri Feri. Pada Rabu siang, jasad Feri ditemukan dan segera dibawa ke rumah sakit. Sedangkan istri Feri belum diketahui kondisinya.

“Semua barang-barang ludes. Saya hanya mikir untuk menyelamatkan diri,” ujar Mimin saat ditemui ketika mengurus jenazah putranya di RS Guntur, Garut.

Syok setelah pulang kerja

Kisah mengharukan juga terjadi di Jalan Cimanuk, Garut Kota. Soleh (27), petugas keamanan sebuah bank, berteriak-teriak mencari keluarganya, Rabu dini hari. Saat itu, Soleh baru pulang kerja dan mendapati para tetangganya berkumpul di dekat rumah Soleh yang porak poranda diterjang banjir bandang.

Soleh terlihat pucat dan termenung sembari melihat kondisi rumahnya yang hancur. Sementara warga dan petugas telah membawa jenazah istri dan anaknya yang masih balita yang dibungkus kain basah penuh lumpur di samping rumahnya.

“Anak dan istri saya mana? Ibu saya mana? Astagfirullahaladzim,” ujar Soleh terbata-bata. Beberapa warga menenangkan Soleh yang syok melihat istri dan anaknya telah meninggal dunia.

Soleh pun harus menerima kenyataan karena ibu mertuanya belum ditemukan. “Ibu mertuanya belum ditemukan. Di rumah Pak Soleh ada tiga orang. Istri, anaknya, dan ibu mertuanya,” kata Komar (34), warga Jalan Cimanuk.

Warga yang berada di dataran lebih tinggi, melihat keganasan banjir bandang itu. “Saya lihat jelas, seperti ombak tsunami, besar sekali. Saya posisinya di atas, di Jalan Cimanuk. Banjir langsung ke dataran rendah di sekitaran Tarogong Kidul, ke arah rumah sakit,” ujar Fikri Imanudin (36), pedagang mi ayam keliling yang berdagang hingga tengah malam di Jalan Cimanuk, Garut.

Ia mengaku kaget saat melihat gumpalan air besar menutup jembatan dan jalan menuju RSUD Garut yang posisinya di bawah Jalan Cimanuk. Menurut dia, air memenuhi lembah Sungai Cimanuk. Jarak dan Jembatan Sungai Cimanuk ke dasar sungai, tambah Fikri, sekitar 15 meter. “Jembatannya juga lebar. Terbayang kan air meluapnya sangat besar!”

Menurut Fikri, sebagian rumah warga Tarogong Kidul berada di samping ataupun lebih rendah dari Sungai Cimanuk. Daerah itu merupakan kawasan padat penduduk dan dihuni ribuan warga. “Ke arah selatan itu lembah. Jadi, daerah yang terbelah Sungai Cimanuk di kawasan kota posisinya lembah dan lebih rendah daripada daerah lain. Itu daerah Tarogong Kidul,” paparnya.

Deni (54), asal Cidaun, Garut, mengaku sedang melintas di perempatan Cimanuk ketika banjir bandang datang. Ia panik ketika melihat kawasan yang sehari-harinya penuh sesak oleh warga dan kendaraan, dalam waktu singkat tertutup air yang meluap dari Sungai Cimanuk. “Saya mah tak tahu malam tadi harus bagaimana. Di sini sudah seperti laut, Pak,” katanya.

Hujan berintensitas tinggi dan berdurasi panjang, menyebabkan Sungai Cimanuk dan Sungai Cikamuri meluap dan menimbulkan banjir bandang berketinggian 1,5 meter sampai 2 meter. Pada Rabu pagi, air berangsur-angsur surut dan meninggalkan sampah di wilayah lintasan air.(Tribunnews.com)