Intisari-Online.com -Nasib seseorang siapa yang tahu? Dulu di bawah sekarang di atas, dulu juragan sekarang gelandangan. Atau sebaliknya, dulu bawahan sekarang atasan, dulu buruh migran sekarang berpidato di panggung Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, AS. Begitulah Eni Lestari.
Dilaporkan Voice of America, Rabu (21/9), aktivis pekerja migran Indonesia, Eni Lestari, diundang berpidato dalam pertemuan KTT Pengungsi dan Migran di forum Sidang MU PBB di New York. Dengan kehadirannya di forum ini, Eni berharap bisa membuka mata masyarakat dan mempertanyakan sistem di Indonesia yang menyebabkan perempuan-perempuan di sini tidak punya masa depan selain jadi buruh migran.
Eni pertama kali bekerja sebagai TKI saat menjadi pembantu rumah tangga di Hong Kong pada 1999. Seperti kebanyakan buruh migran lainnya, ia terpaksa meninggalkan mimpinya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi karena harus membantu ekonomi keluarganya ketika krisis melanda Indonesia pada akhir 1990-an.
Keputusannya menjadi aktivis didorong oleh perasaan bahwa hak-haknya sebagai buruh migran dieksploitasi bahkan sebelum diberangkatkan ke Hong Kong. Lebih dari itu, ia merasa terpanggil mewakili sekitar 244 juta buruh migran di seluruh dunia.
“Semua migran pasti mengalami eksploitasi, bahkan sampai buruk sekali, jadi korban trafficking, ditipu. Saya juga termasuk korbannya. Saya dibayar tidak sesuai standar dan tidak dikasih hari libur,” ujarnya.
Perempuan asal Kediri, Jawa Timur ini dipilih berpidato setelah melalui seleksi yang ketat, dari 400 orang yang mengajukan diri, ia terpilih bersama delapan orang lainnya. Ini bukan kali pertama Eni bicara di PBB, namun ini pertama kalinya ia bicara dalam tingkat sidang umum.Berikut petikan wawancara Eni Lestari dengan VOA:
Buruh migran hanya hanya sumber devisa
Walaupun mendapat kesempatan berbicara di panggung internasional Eni tidak merasa bangga. Seperti disinggung di awal, ia justru berharap kehadirannya di sidang umum PBB tahun ini bisa membuka mata masyarakat dan mempertanyakan sistem di Indonesia yang menyebabkan perempuan-perempuan Indonesia tidak punya masa depan di negerinya sendiri.
“Kami tampil di summit ini karena putus asa, karena bicara dengan pemerintah di level nasional, baik pemerintah negara asal maupun pemerintah negara tujuan, belum tentu mereka mau mendengar,” ujarnya.
Meskipun tidak berharap PBB bisa menyelesaikan masalah ekploitasi buruh migran, Eni yang telah menjadi aktivis selama 15 tahun ini mengaku akan terus melanjutkan perjuangannya.
Sebagai ketua International Migrants Alliance, Eni akan menindaklanjuti rencana PBB terkait rancangan sejumlah kesepakatan internasional terkait nasib migran. Ia juga mendesak pemerintah RI untuk memperlakukan buruh migran selayaknya manusia, bukan hanya data atau angka apalagi hanya sebagai sumber devisa.
Menurut catatan Departemen Ketenagakerjaan RI, saat ini ada enam juta lebih TKI di seluruh dunia.(Tribunnews.com)