Angkat Topi untuk Banten Kidul

Moh Habib Asyhad

Editor

Angkat Topi untuk Banten Kidul
Angkat Topi untuk Banten Kidul

Intisari-Online.com - Jika melihat sistem dan teknologi bercocok tanam yang dipakai, sepantasnya kita mengangkat topi terhadap warga sederhana Kampung Ciptagelar, Banten Kidul. Tanpa teknologi modern, mereka mampu menciptakan sistem swasembada pangan dengan sangat brilian. Tentu saja, produk mereka bukan bikinan pabrik yang menjadikan biji padi cepat, tahan hama, hasil tinggi. Ini murni padi tradisional yang ditanam sekali dalam setahun.

Sesepuh Ciptagelar mengatakan, mereka memiliki aneka jenis padi lokal yang memang paling cocok bagi tanah dan iklim setempat. Padi yang oleh masyarakat setempat disebut pare itu memiliki mutu yang bervariasi: dari sedang (seperti tampeui hideung, koneng, pare beureum, jambu, ketan, petai, sunlih, maliwarna, ketan beureum) sampai yang terpulen (gebang). Ada juga jamudin, si beras merah untuk ditanam di ladang.

Warga mulai menebar benih pada Oktober, di awal musim penghujan dengan usia tanam 5-6 bulan dan 4-5 ton gabah kering per hektar. Bermodal pacul, pengairan terasering, pupuk kandang, atau urea. Juga TSP jika sawah sudah hampir berusia tiga tahun. Berbagai macam pestisida dan racun tanaman tida dipakai di sini.

"Tiap makhluk hidup di dunia ini punya bagian sendiri. Ada waktu untuk manusia, untuk hewan, untuk hama. Jadi, jangan menanam saat hama muncul. Cukup sekali setahun saja menanam," ujar Madtari (waktu itu 53 tahun), salah satu sesepuh desa.

Karena sistemnya swasembada, maka tidak ada padi yang dijual, kecuali stok memang berlimpah. Yang biasanya masuk daftar jual adalah hasil-hasil sampingan. Taruhlah, buah, sayur, bumbu dapur, ikan-ikan, dan sebagainya.

Umumnya, warga mempunyai 2-12 lumbung. Untuk mengantisipasi musim kemarau, lumbung kemarau juga disediakan. Rata-rata ada empat lumbung tiap satu kampung untuk jaga-jaga jika suatu saat terjadi gagal panen. Bagi desa yang lumbungnya tak mencukupi, ia bisa meminjam ke lumbung-lumbung kampung tetangga dan wajib mengembalikannya denga mutu yang sama.

Saat Intisari pertama kali memuat tulisan ini, sudah ada lebih dari 5000 lumbung, yang masing-masing menyimpan 2,5 – 10 ton gabah kering. Semoga itu masih bertahan sampai sekarang.