Bak Jatuh Tertimpa Tangga, Duit Rp264 Triliun Dipastikan Jadi Ampas Padahal Hasil Utang dari China, Impian Timor Leste Ini Dipastikan Kandas Cuma Gara-Gara Covid-19

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Minyak bumi hanya jadi kutukan bagi negara miskin Timor Leste
Minyak bumi hanya jadi kutukan bagi negara miskin Timor Leste

Intisari-online.com - Kondisi ekonomi yang belum stabil, ditambah desakan keuangan membuat Timor Leste sekali lagi haru merelakan invetasinya.

Semua itu tak lain adalah gara-gara Covid-19 yang kian merajalela dan membuat mimpi besar negara bekas bagian Indonesia itu lenyap.

Sejak merdeka tahun 2002, Timor Leste telah berjual menjadi negara maju.

Mengandalkan kekayaan alam dan minyak bumi, negara itu berjuang untuk mengembangkan potensi alamnya.

Baca Juga: Tak Ada 1 Persen dari Total Ekspor Indonesia, Ekspor Indonesia Capai Rp3,1 Triliun pada 2020 ke Timor Leste yang Setengah Populasinya Rawan Kemiskinan

Mereka juga harus, berjuang dengan negara tetatngganya yang memiliki sumber daya lebih besar, serta telah lama mengurusi ladang minyak Greater Sunrise yang dibanggakan Timor Leste.

Sebanyak 70% ladang minyak itu terletak di wilayah Timor Leste, dan sisanya 30% berada di wilayah Australia.

Diperkirakan, cadangan minyak di lokasi itu ada 5 triliun kubik, gas alam dan 226 juta barel minyak dengan nilai 50 miliar dollar AS.

Namun, angka itu terhitung sejak pandemi Covid-19 melanda.

Baca Juga: Dulu Saja Sebut Indonesia Penjajah Kejam, Mantan Pemimpin Timor Leste Ini Tiba-tiba Puji Indonesia Setinggi Langit di Hadapan Media Arab

Ini membuat harga minyak dan gas global jatuh, membawa jatuhnya mimpi besar Timor Leste yang gagal total.

Awalnya, mantan Perdana Menteri Xanana Gusmo mengusulkan pembangunan proyek Tasi Mane untuk membangunnegara itu.

Proyek itu bernilai 18 miliar dollar AS atau setara Rp264 triliun, mencakup pembangunan kilang minyak LNG darat yang terhubung ke Greater Sunrise.

Di bawah pengawasan Gusmao, Timor Leste menghabiskan uang jutaan dollar AS, untuk membangun bandara hingga jalan raya sebagai bagian proyek Tasi Mane.

Timor Leste juga membeli dari mantan mitranya di Greater Sunrise, Conoco Philips dan Shel sebesar 650 juta dollar, untuk mendapat 57% sahamnya.

Kemudian Woodside Petroleum Australia masih memegang 33% saham dan Osaka gas Jepang dengan 10% saham.

Kenekatan Xanana Gusmao sampai membahayakan kemerdekaan Timor Leste.

Proyek Tasi Mane dianggap bisa membawa Timor Leste maju dengan membakar anggaran 18 miliar dollar AS (Rp264 triliun).

Baca Juga: Tak Disangka Beginilah Kekuatan Militer Timor Leste Sekarang, Setelah 19 Tahun Merdeka dari Indonesia dan Dulu Hanya Dibeking Australia

Uang tersebut hasil pinjaman dari Bank Exim milik China, menurut Nikkei Asia Review.

Namun, sayangnya hingga kini proyek tersebut tak membawa perubahan berarti bagi Timor Leste.

Malahan banyak yang khawatir, jika Timor Leste jatuh ke dalam jebakan utang China.

Amerika menyebutnya Timor Leste akan mendapat pengaruh besar, dari proyek tersebut.

Proyek ini pun akhirnya kandas, dan diumumkan berhenti pada Maret sejak kasus Covid-19 melanda, Timor Leste langsung mengumumkan keadaaan darurat.

Negara yang bergantung pada minyak bumi juga harus secara radikal memotong pengeluaran publik pada bulan April setelah harga minyak mentah di AS memasuki wilayah negatif.

Ada lebih banyak kemunduran pada bulan Juni ketika partai Rekonstruksi Timor Leste Gusmao digulingkan dari koalisi yang berkuasa.

Bahkan sekutu Gusmao Francisco Monteiro, CEO perusahaan minyak negara TimorGAP, dipecat.

Baca Juga: Masih Digunakan sebagian Warga, Begini Cara Bahasa Indonesia Bisa Bertahan di Bumi Lorosae Meski Bukan Bahasa Resmi Timor Leste

Meskipun pemerintah Timor Leste telah mengatakan bahwa pergantian kepemimpinan di TimorGAP diperlukan.

Untuk menyelaraskan perusahaan minyak negara tersebut dengan visi strategis barunya pada sektor minyak.

Tetapi Timor Leste tetap tutup mulut mengenai masa depan Tasi Mane.

Namun, program itu masih ada di dinding, artinya masih ada agenda menurut James Scambary, seorang dosen bisnis internasional di RMIT Melbourne dan penulis Conflict, Identity, and State Formation in East Timor 2000-2017 .

"Bahkan jika harga gas nol, itu adalah keinginan Gusmao dan dia akan membawanya pulang dengan kekuatan keinginannya, tidak peduli apapun yang terjadi," kata Scambary.

"Tapi sekarang dia tidak lagi duduk di kursi pemerintah, aku curiga proyek itu akan berhenti," katanya.

Dengan minat investor yang kecil, bahkan dari China, Scambary menduga semua orang kecuali Gusmao menyadari bahwa biaya dan risikonya terlalu besar untuk melanjutkan proyek tersebut.

Artikel Terkait