Amerika Dituntut Tanggung Jawab, Puluhan Tahun Banyak Nyawa Warga Sipil Melayang Akibat Serangan Drone dan Kekuatan Mematikan AS di Wilayah Ini dengan Dalih Mengakhiri Perang

Tatik Ariyani

Editor

(ilustrasi) Drone MQ-9 Reaper milik Amerika Serikat
(ilustrasi) Drone MQ-9 Reaper milik Amerika Serikat

Intisari-Online.com - Tak terhitung jumlah korban tewas dalam serangan pesawat tak berawak (drone) yang dilancarkan oleh Amerika Serikat (AS).

Hal itu pun telah lama mendapatkan kritikan keras dari organisasi hak asasi manusia atas hilangnya hak-hak para korban yang tewas akibat serangan tersebut.

Lebih dari 100 organisasi telah mendesak Presiden AS Joe Biden untuk mengakhiri serangan pesawat tak berawak "melanggar hukum" dan penggunaan kekuatan mematikan lainnya di luar zona pertempuran tradisional, seperti melansir Middle East Eye, Rabu (30/6/2021).

Dalam sebuah surat yang dirilis pada hari Rabu, 113 kelompok aktivis membingkai masalah ini sebagai masalah keadilan rasial.

Baca Juga: Bakal Digunakan Bersama Iron Dome, Inilah Senjata Baru Israel Laser Udara Canggih yang Mampu Tembak Jatuh Drone Bersenjata

Mereka mengatakan serangan pesawat tak berawak telah "menimbulkan korban yang mengerikan pada komunitas Muslim, Brown (orang kulit cokelat) dan Black (orang kulit hitam) di berbagai belahan dunia".

"Kami menghargai komitmen Anda untuk mengakhiri 'perang selamanya', mempromosikan keadilan rasial, dan memusatkan hak asasi manusia dalam kebijakan luar negeri AS," kata kelompok itu dalam surat tersebut.

"Menolak dan mengakhiri program serangan mematikan adalah hak asasi manusia dan keadilan rasial yang sangat penting dalam memenuhi komitmen ini.

Baca Juga: Konflik Israel-Palestina Bisa Beri Ide Ini untuk Korut, Pelajaran Militer untuk Korsel?

"Dua puluh tahun dalam pendekatan berbasis perang yang telah merusak dan melanggar hak-hak dasar, kami mendesak Anda untuk meninggalkannya dan merangkul pendekatan yang memajukan keamanan manusia kolektif kita."

Diselenggarakan oleh Koalisi Hak Asasi Manusia dan Keamanan, surat itu ditandatangani bersama oleh 77 kelompok hak asasi manusia dan anti-perang di Amerika Serikat dan 36 kelompok yang berbasis di luar negeri.

Kelompok-kelompok itu termasuk di negara-negara di mana AS telah melakukan serangan pesawat tak berawak tersebut, seperti enam kelompok dari Yaman, tiga dari Somalia, dua dari Pakistan dan satu dari Libya.

"AS telah membunuh orang selama hampir 20 tahun di Yaman, tetapi hingga hari ini AS belum cukup menyelidiki kematian dan cedera warga sipil, atau dengan jelas mengakui kerugian parah yang ditimbulkan pada keluarga dan masyarakat," kata Radhya al-Mutawakel, ketua Organisasi Hak Asasi Manusia Mwatana yang bermarkas di Yaman, dalam sebuah pernyataan.

"Pemerintahan Biden harus memutuskan praktik merusak ini, dan memastikan penyelidikan dan pertanggungjawaban menyeluruh atas kerugian yang telah terjadi," lanjutnya.

Program pesawat tak berawak AS telah lama menjadi target kelompok hak asasi manusia yang mengecam penggunaan teknologi tanpa pilot bersenjata.

Terutama ketika senjata itudigunakan di luar zona pertempuran tradisional, seperti di Afghanistan atau Irak.

Baca Juga: Padahal Niat Indonesia Baik, Namun KKB Papua Justru Mengganggunya, Proyek yang Dipercaya Bisa Membuka Papua dari Keterisolasian Ini Malah Terhambat

Pada hari Minggu, AS melakukan serangan udara di Irak dan Suriah pada apa yang dikatakan sebagai gudang senjata.

Setidaknya empat anggota kelompok yang didukung Iran tewas.

AS menyebut serangan itu sebagai "defensif", sementara pejabat Irak dan Suriah menuduh AS melanggar kedaulatan mereka.

Ekspansi besar terakhir dari program drone AS terjadi selama pemerintahan Obama ketika Biden menjadi wakil presiden.

Sementara Obama akhirnya memperketat pembatasan serangan selama masa jabatan keduanya, mantan Presiden Trump melonggarkan aturan ketika dia masih menjabat.

Tak lama setelah menjabat pada Januari, Biden memulai tinjauan penggunaan drone bersenjata dan serangan komando di luar zona perang standar, memberlakukan pembatasan sementara.

Serangan pesawat tak berawak semacam itu sekarang memerlukan tinjauan tingkat tinggi tambahan untuk disetujui, tetapi belum dilarang secara langsung.

Artikel Terkait