Intisari-Online.com - Tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402 seolah membuka lebar mata Australia untuk memperpanjang umur kapal-kapal selam miliknya.
Mengutip Janes.com, Jumat (11/6/2021), Menteri Pertahanan Australia Peter Dutton telah mengkonfirmasi bahwa keenam kapal selam kelas Collins Angkatan Laut Australia (RAN) akan menjalani perpanjangan tipe hidup utama (LOTEs) atau perpanjangan umur.
Hal itu dilakukan untuk menghindari kesenjangan kemampuan sebelum masuk ke layanan pertama dari 12 penggantian kelas Serangan pada pertengahan 2030-an.
Berbicara kepada surat kabar nasional The Australian pada 10 Juni, Dutton mengatakan Australia harus realistis tentang apa yang ada di depan melalui ancaman di wilayahnya sendiri.
“Kapasitas kapal selam adalah bagian penting dari bagaimana kami mengurangi risiko itu dan penting bagi kami untuk mendapatkan program dengan benar,” katanya.
“Tidak ada keraguan dalam pikiran saya bahwa kami perlu mengejar perpanjangan tipe hidup (untuk kelas Collins) dan kami sedang mengerjakan program itu sekarang. Keenamnya akan sesuai jadwal,” tambahnya.
Keputusan perpanjangan umur kapal selam Australia itu terjadi setelah adanya kabar tentang ketegangan antara Australia dan Indonesia atas masalah maritim.
Dilansir dari Lowy Institute (2/6/2021), masalah pemicunya adalah pandangan berbeda atas batas perairan Indonesia-Australia.
Penego batas Indonesia mengatakan kepada The Australian Financial Review bulan lalu bahwa pembicaraan antara Australia dan Indonesia atas batas maritim telah dimulai ulang tahun 2019 tapi ditunda karena pandemi Covid-19.
Namun Departemen Hubungan Luar Negeri dan Perdagangan bersikeras diskusi terkait "amandemen teknis" dan batas maritim tidak ada dalam isu yang akan dinegosiasikan.
Isu ini ternyata sudah masuk ke berita dalam beberapa tahun terakhir.
Batas maritim Australia dan Indonesia rumit, karena banyak perjanjian yang membentuk batas zona maritim.
Namun tidak mengejutkan isu batas maritim Australia dan Indonesia merebak lagi mengikuti penandatanganan Perjanjian Perbatasan Maritim Laut Timor tahun 2018 antara Australia dan Timor Leste.
Perjanjian Perth 1997 yang secara resmi disebut Traktat antara Pemerintah Australia dan Pemerintah Republik Indonesia mencapai batas Zona Ekonomi Eksklusif dan Batas Dasar Laut Tertentu, yang mencapai garis antara ZEE Australia dan Indonesia sesuai dengan prinsip kesetaraan.
Di bawah hukum internasional UNCLOS, ZEE menyediakan hak bagi negara pemilik perairan tersebut untuk memancing dan menangkap ikan serta memanen sumber daya yang ada di dalam perairan tersebut.
Sementara hasil Traktat Perth dipatuhi, traktat tidak pernah diratifikasi oleh Indonesia.
Pergerakan garis ini akan berdampak kepada batas luar Zona Memancing Australia dan hak yuridiksi di dalamnya.
Australia dan Indonesia setuju Traktat Perth akan memerlukan beberapa amandemen teknis mengikuti Traktat Timor Leste, yang akan berdampak pada titik pertigaan batas ZEE bertemu.
Traktat ini juga pastinya akan dipengaruhi oleh perjanjian batas ZEE apapun yang dinego antara Timor Leste dan Indonesia.
Namun negosiasi semacam itu jarang memiliki bahan konsekuensi signifikan bagi Australia.
Hal ini karena kedua partai sepakat atas penggunaan prinsip "garis tengah" dalam menentukani batas ZEE, pendekatan delimitasi yang disukai oleh Indonesia dan hukum internasional kontemporer pada umumnya.
Traktat Perth kurang relevan untuk membahas siapa yang memiliki hidrokarbon di dasar laut seperti minyak dan gas.
Dasar laut dan sumber dayanya adalah dikuasai oleh rezim landas kontinen di bawah hukum internasional.
Tahun 1971 dan 1972, Australia dan Indonesia menyepakati batas laut yang menetapkan batas landas kontinen masing-masing.
Yang menarik adalah 50 tahun sejak itu, Australia dan Indonesia telah mengembangkan pandangan berbeda mengenai prinsip apa yang seharusnya dipakai dalam menarik batas dasar laut.
Tahun 1970-an, Soeharto sangat ingin mencapai legitimasi internasional, termasuk melalui negosiasi perbatasan dengan Australia diatur oleh perjanjian landas kontinen tahun 1958 karena UNCLOS tidak disepakati sampai tahun 1982.
Kemudian dengan dikenalkannya UNCLOS, pendekatan baru untuk delimitasi landas kontinen diadopsi.
UNCLOS memang mengatur prinsip perpanjangan alami berdasarkan Pasal 76, yang dikualifikasikan oleh Pasal 83, mengamanatkan pencapaian "solusi yang adil".
Artinya secara praktis, jika Indonesia berupaya membuka kembali masalah batas dasar laut, langkah ini kemungkinan akan lebih konsekuensial daripada sekedar amandemen teknis terhadap Traktat Perth.
Pasalnya ada kesenjangan besar antara batas dasar laut pilihan Australia dan Indonesia dibandingkan dengan garis ZEE.
Batas-batas dasar laut menguntungkan Australia karena "perpanjangan alami" akan mendorong batas itu jauh lebih dekat ke garis pantai Indonesia, beda dengan garis tengah yang sudah disepakati di Traktat Perth.Maymunah Nasution