Intisari-online.com - Bukan rahasia lagi ketika Soekarno menjabat sebagai presiden, Indonesia dipandang sebagai negara Anti-Barat.
Soekarno dipandang sebagai salah satu pelopor utama gerakan nonblok yang didirikan di Beograd tahun 1961.
Konferensi itu diselenggarakan di Bandung tahun 1955, dan memperkenalkan gerakan ini ke panggung dunia.
Soekarno bersama Nasser dan Nehru, adalah pemimpin yang mewujudkan dunia, untuk melawan dominasi kolonialisme lama.
Dalam pertemuan tersebut, Soekarno berpidato dengan lantang, mengatakan tentang kolonialisme dan neo-kolonialisme.
"Fakta bahwa para pemimpin masyarakat Asia dan Afrika dapat bertemu di salah satu negaranya sendiri untuk berdebat dan merefleksikan masalah bersama mereka adalah hal baru."
"Awal sejarah. Kita sering diberitahu bahwa kolonialisme sudah mati. Jangan sampai kita tertipu atau bahkan ditenangkan oleh rumus yang menyesatkan itu."
"Saya meyakinkan Anda bahwa kolonialisme sangat hidup. Bagaimana kita bisa menegaskan sebaliknya selama wilayah Asia dan Afrika yang luas tidak bebas?"
"Kolonialisme juga memiliki pakaian modernnya, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual, kontrol fisik aktual oleh komunitas kecilbangsa asing dalam suatu negara."
"Ini adalah musuh yang terampil dan ditentukan, dan muncul dalam banyak samaran. Mereka tidak menunjukkan jarahannya dengan mudah. Dimanapun, kapanpun dan bagaimanapun, kolonialisme adalah sesuatu yang jahat, dan harus diberantas dari bumi"
Soekarno menjunjung tinggi pandangan anti-imperialis dalam hal kebijakan luar negeri.
Pada tahun 1956, dia menolak utang kolonial dan tahun berikutnya, dia menasionalisasi perusahaan Belanda.
Di kancah internasional, Sukarno memainkan blok-blok Perang Dingin melawan satu sama lain.
Namun ketegangan meningkat, Amerika Serikat tidak menyetujui bantuan besar-besaran Soviet ke Indonesia.
Karena Amerika berpikir bahwa bantuan Soviet dapat diambil alih ke sikap pro-Komunis.
Karena hal itu, mereka mendukung pemberontakan internal dan berusaha mengguncang kepemimpinan Soekarno, yang menentang dukungan ini di PBB.
Sampai tahun 1963, Soekarno berhasil mempermainkan dua blok itu satu sama lain tetapi mereka meminta dia untuk memilih sisi.
Baca Juga: Mencari Jamu Penggemuk Badan yang Aman dan Menyehatkan? Cek yang Ini!
Amerika Serikat memutuskan untuk bertindak menggunakan Bank Dunia dan IMF.
Delegasi IMF mengunjungi Indonesia pada tahun 1962 dan mengusulkan bantuan keuangan dengan syarat kerjasama erat dengan IMF.
Situasi ekonomi Indonesia yang labil dimanfaatkan dengan kucuran dana pinjaman untuk membuat Indonesia mudah dikontrol.
Pada bulan Maret 1963, Amerika Serikat memberikan pinjaman 17 juta dolar, dan dua bulan kemudian, pemerintah Indonesia mengumumkan serangkaian tindakan ekonomi baru, devaluasi rupiah, penghematan anggaran, penangguhan subsidi sesuai dengan kebijakan IMF.
Bulan berikutnya,anggota OECD bertemu untuk menyepakati kesepakatan mobilisasi dana.
Amerika Serikat mengusulkan untuk berkontribusi, bersama IMF dan Bank Dunia, hingga setengah dari perkiraan 400 juta dolar.
Pada bulan Agustus, di bawah dorongan AS, Indonesia menandatangani "pengaturan siaga", di mana ia menerima pinjaman 50 juta dolar.
Tetapi semuanya berubah pada September 1963 ketika Inggris memproklamasikan Federasi Malaysia tanpa konsultasi.
Soekarno memandang proklamasi itu sebagai manuver yang membuat negaranya tidak stabil dan bereaksi dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan Inggris.
Ini berarti pembatalan kesepakatan yang dicapai dengan IMF.
Namun demikian, PBB menyetujui pembentukan Malaysia, sementara Soekarno yang gagal memenangkan kasusnya, membanting pintu PBB pada tahun 1965.
Situasi ekonomi sangat memprihatinkan. Banyak pinjaman yang diterima dari Barat dan Uni Soviet disia-siakan untuk barang-barang konsumen, proyek dan senjata bergengsi.
Meskipun Soekarno membela hak-hak rakyat Indonesia, ia gagal memperbaiki perekonomian negaranya.
Perekonomian Indonesia, tergantung dari bantuan luar, terpukul keras oleh jatuhnya harga bahan mentah dan harga karet merosot drastis.
Sementara kebijakan pengeluaran publik Sukarno yang boros berperan dalam mendorong inflasi yang mencapai tingkat tahunan 600% pada akhir waktunya berkuasa.
Perang Dingin mencapai puncaknya, dan Sukarno menarik kemarahan Washington dengan menasionalisasi semua perusahaan swasta asing (kecuali untuk industri perminyakan).
Dia meninggalkan IMF dan Bank Dunia pada Agustus 1965 dan memutuskan untuk mengambil alih negara secara mandiri.