Advertorial
Intisari-online.com - Timor Leste merdeka dari Indonesia pada 20 Mei 2002, kini telah berusia 18 tahun sebagai negara yang meredeka.
Namun negara tersebut menyimpan banyak masalah yang tak kunjung terselesaian, yaitu menuntaskan kemiskinan, dan menyediakan lapangan pekerjaan.
Negara dengan penduduk 1.318.445 jiwa itu 96 persen di anataranya beragama katolik. Sisanya terdiri dari penganut muslim dan protestan.
Menukil UCA News, saat ditanya apakah masih ada agama asli yang dianut oleh penduduk sekitar.
Pendeta itu menjawab, "Di sini semua orang terlahir sebagai katolik, bahkan sebelum mereka dibaptis sebagai katolik mereka telah dibabtis."
"Jadi semua orang Timor otomatis beragama katolik," katanya.
Dili terkenal dengan patng Santo Yohanes Paulus II, yang dipandang berperan penting dalam membantu membebaskan dari cengkeraman Indonesia.
"Ketika Paus Yohanes Paulus II datang tahun 1989, kami percaya bahwa kan segera bebbas dari pendudukan Indonesia," kata seorang pemimpin komunitas dan dosen berusia 58 tahun.
Seorang pendeta berusia 62 tahun di bagian yang lebih pedesaan memiliki pandangan yang sama tentang pemerintahan Indonesia tetapi juga mencemooh mantan penguasa kolonial negara itu, Portugal.
"Kami hampir 100 persen beragama Katolik, tetapi perilakunya jauh dari ajaran dan tradisi Katolik," katanya.
"Penipuan dan pencurian yang berlangsung adalah warisan dari Indonesia," imbuhnya.
"Minum alkohol dan judi semakin parah sementara prostitusi ada di mana-mana di bawah permukaan, terutama di Dili . Ini adalah warisan dari zaman Portugis," tambahnya.
Meski demikian, tidak ada masalah nyata dalam kehidupan ekonomi, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan dasar, bagi masyarakat di pedalaman negeri.
"Orang-orang di desa mendapatkan uang dengan mudah. Ada banyak dolar Amerika di desa-desa," kata pemimpin komunitas lainnya di Dili.
"Orang lain menipu sistem dengan mengklaim tunjangan yang bukan hak mereka akibat kegagalan pemerintah untuk memeriksa orang.Lainnya menghasilkan uang dengan menolak pensiun," katanya, menunjuk ke beberapa guru yang masih mengajar dengan baik di usia tujuh puluhan.
Penolakan pensiun oleh banyak lansia menimbulkan masalah, katanya.
"Artinya generasi muda tidak mendapat kesempatan, sehingga pengangguran tinggi," katanya.
"Ini dan korupsi yang merajalela di kalangan pejabat merugikan masyarakat. Kami dulu menyalahkan Indonesia atas korupsi, sekarang kami membuatnya sendiri," ujarnya.
Seorang pedagang dari Indonesia yang memiliki toko di Dili juga meratapi tingkat pengangguran di kalangan kaum muda.
"Orang punya uang dan daya beli cukup, tapi anak muda tidak suka pekerjaan pertanian, sementara pekerjaan lain sulit didapat terutama pekerjaan pemerintah. Banyak anak muda menganggur dan berkeliaran di kota," katanya.
"Proyek yang melibatkan investasi luar negeri, terutama dari China, mempekerjakan orangnya sendiri yang didatangkan dari luar negeri karena orang lokalnya dinilai kurang baik," ujarnya.
"Hal ini menyebabkan masuknya orang asing, banyak dari mereka adalah orang Tionghoa dan tidak bergaul dengan penduduk setempat. Hal ini menimbulkan masalah baru yaitu banyak tanah yang dibeli oleh orang Cina dan perdagangan di desa-desa mulai dikuasai oleh mereka," jelasnya.
Masalah juga ada di bidang pendidikan, menurut seorang pendidik berusia 55 tahun di Dili.
"Pendidikan tidak semaju yang kami harapkan. Salah satu masalahnya adalah bahasa yang digunakan siswa kami yang pergi ke Indonesia atau negara berbahasa Inggris. Kebanyakan siswa yang belajar di sini kualitasnya biasa-biasa saja," katanya.
Baca Juga: Inilah Perkebunan Mayat, Saat Ribuan Mayat Dibiarkan Membusuk, Diikat di Pohon, Hingga Direndam
Menurutnya, tiga bahasa diajarkan di sekolah-sekolah Timor Leste, Tetum (bahasa daerah), Portugis dan Inggris.
Hal ini menyebabkan kebingungan dan membatasi perolehan pengetahuan di antara para guru, yang berdampak langsung pada siswa dan kemudian tenaga kerja.
Situasi politik yang tidak stabil di negara ini juga telah menimbulkan masalah, dengan seringnya pergantian menteri yang mengakibatkan banyak pergantian dan perubahan kebijakan.
"Sayangnya, pendidikan moral kurang mendapat perhatian sehingga disiplin dan harga diri peserta didik rendah. Kami semua adalah Katolik, tetapi tampaknya jelas, perilaku kami tidak Katolik," katanya.
Mengenai kehidupan komunitas sebagai Katolik, seorang aktivis awam dari Legiun Maria dan Karismatik Katolik sependapat dengan pendidik.
"Kami adalah gereja Katolik di Timor Leste atas nama saja. Keluhan dari para pastor dari semua keuskupan di negara itu adalah bahwa umat Katolik lebih banyak hidup pada formalitas Katolik tetapi tidak pada perilaku Katolik," katanya."
Pemerintah ini memiliki banyak pejabat yang korup, baik di legislatif, eksekutif atau yudikatif. Bahkan di kepolisian dan TNI, korupsi merajalela," ujarnya.
"Benar bahwa kami secara statistik Katolik - hampir 100 persen - tetapi perilaku orang tidak mencapai 50 persen," tambahnya.
Timor Leste negara muda itu, perlu belajar mengatur dirinya sendiri secara politik, sosial, moral dan spiritual. Sayangnya negara ini mengalami banyak hal yang tidak kondusif bagi ajaran cinta.