Advertorial
Intisari-online.com - Banyak orang tentu menganggap China sebagai negara yang gemar berbuat semena-mena dan suka klaim seenak jidatnya sendiri.
Bahkan, disebut-sebut China adalah musuh dunia saat ini, karena aksi dan konfrontasinya yang meresahkan banyak pihak.
Seperti misalnya di Laut China Selatan, Amerika dan Australia sudah sangat kerepotan menghadapi China.
Terlebih negara itu juga sedang berkonflik dengan beberapa negara, seperti India, Jepang, negara ASEAN, hingga Taiwan.
Meski demikian sejatinya China adalah pahlawan bagi negara-negara terbelakang dengan segala agenda politiknya.
Dikatakan China sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua dunia saat ini, di mana pemerintah China meningkatkan ledakan investasi di luar negeri dalam dekade terakhir.
Ini adalah upaya untuk menjadi negara adidaya terbesar kedua di dunia, membeli sejumlah sumber daya yang dibeli oleh negara-negara berkembang di seluruh dunia.
Skala ekspansi tersebut, adalah bagian inisiatif China, yang didukung oleh negara berkembang untuk memberikan pengaruhnya di seluruh dunia.
Memberikan stimulus, proyek pembangunan lintas benua yang diluncukan Presiden Xi Jinping, yang bertujuan untuk meningkatkan hubungan infrastruktur antara Asia, Eropa, dan Afrika.
Dengan tujuan itu, China berharap akan memperoleh manfaat dari tingkat pedagangan global.
Namun, karena sengketa antara China dan Amerika membuat pertumbuhan China melambat 6,2 tahun 2019 persen dan 6,6 persen tahun 2018.
Akibat sengketa perdangan sejak tahun lalu, ketersediaan meningkat atas utang yang tumbuh cepat di China, yang seharusnya digunakan untuk ekspansi selama beberapa dekade.
Dengan demikian investasi China di negara terbelakang seperti di Afrika yang bernilai lebih, dari pengeluaran domestik di negara itu bisa melemah di masa mendatang.
Serta memudarnya permintaan untuk ekspor komoditas.
Angka-angka dari badan pembangunan PBB, tidak menunjukkan pelemahan harga komoditas global pada tahun 2014 dan 2015.
Menyebabkan arus investasi langsung ke Afrika, dari 55 miliar dollar AS turun ke 42 dollar AS, menunjukkan dampak pelambatan ekonomi di Afrika akibat pelambatan ekonomi di China.
Pinjaman luar negeri dari dua bank pembangunan utama China mencapai 675 dollar AS pada akhir 2016.
Nilai itu lebih dari dua kali lipat pinjaman dari Bank Dunia, yang berwenang mengatasi kemiskinan di negara berkembang dan pembangunan di Afrika yang menjadi fokus lembaga di China.
Menurut Unctad China memegang saham terbesar keempat dari investasi langsung di Afrika senilai 40 miliar dollar AS, di belakang AS 57 miliar dollar AS, Inggis 55 dollar AS, dan Prancis 49 miliar dollar AS.
Namun, China adalah penyandang dana satu-satunya yang terlihat di proyek infrastruktur Afrika, setelah menghabiskan 11,5 miliar dollar AS sejak tahun 2012.
Nilai itu sekitar sepertiga dari seluruh pengeluaran pemerintah Afrika yang bernilai rata-rata 30,1 miliar dollar AS.
Menurut ahli, meskipun China mengalami pelambatan ekonomi, mereka tetap menjadi pengaruh paling signifikan di negara terbelakang Afrika.
Meskipun diketahui China memang gemar memberi utang negra berkembang dengan jebakan mustahil untuk dibayarkan nyatanya negara di Afrika berebut mendapat investasi dari China.
Menurut RT, China memang tengah membangun ekonomi berbasis pedagangan, mereka melakukan investasi besar-besaran di Afrika.
Investasi besar-besaran itu dinilai memengaruhi pertumbuhan ekonomi di Afrika, seperti misal Ethiopia yang berkembang pesat dari proyek pembangunan jaringan kereta api bersama China.