Advertorial
Intisari-Online.com - Wabah virus corona di Indonesia kini telah mencapai lebih dari 8.000 kasus.
Hal ini membuat tak sedikit masyarakat kekurangan penghasilan karena pembatasan mobilitas warga demi memutus rantai penyebaran covid-19.
Namun, kisah nahas ibu dua anak yang kehilangan penghasilan sejak wabah virus corona ini membuat terkejut lantaran nekat bunuh diri.
Melansir dari The Nation Thailand, ibu dua anak ini ditemukan tak bernyawa usai gantung diri di kamar mandi rumahnya pada Senin, (20/04).
Wanita bernama Irada Lordpert (26) itu masih hidup saat ditemukan oleh saudara laki-lakinya.
Sayangnya warga Maha Sarakham itu kemudian meninggal dunia dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Berdasarkan keterangan kepala desa setempat, Tomjit Siwai, ibu dua anak itu termasuk keluarga yang sangat miskin.
Baca Juga: Kasus Corona di Korea Selatan Makin Terkendali, Umumkan 10 Kasus Corona Baru dan Nol Kematian
Apalagi ia juga baru saja bercerai dari suaminya.
Hal ini membuatnya jadi tulang punggung keluarga untuk mencari nafkah demi kedua anaknya.
Putranya masih sangat kecil, yang pertama berusia 6 tahun, yang kedua berumur 6 bulan.
Setiap hari Irada mengais rezeki dengan berjualan yogurt.
Namun, karena ada pandemi Covid-19 ini, ia tidak mendapatkan penghasilan.
Sehingga ia tidak bisa membelikan susu untuk bayinya.
Tak ada susu artinya tak ada makanan untuk bayinya.
Hal ini lah yang kemudian diduga menjadi penyebab Irada memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. (*)
Artikel ini telah tayang di TribunMataram dengan judul Tak Tega Lihat 2 Anaknya Kelaparan, Ibu Pilih Bunuh Diri karena Kehilangan Penghasilan Sejak Wabah
Kisah Serupa: Potret Keluarga Miskin Tak Tersentuh Bantuan Pemerintah, Sampai Jual Gelas & Mangkok Buat Beli Beras: 'Saya Pernah Berpikir untuk Bunuh Diri'
Intisari-Online.com- Di tengah masa penggelontoran bantuan sosial dari pemerintah, juga kucuran bantuan kemanusiaan di tengah masa pandemi Virus Corona, rupanya tetap ada saja warga yang luput dari aneka bantuan tersebut.
Seperti yang dialami oleh Ny Triyata (47) atau yang disebut Bu Bambang di lingkungan rumahnya.
Triyata adalah satu contoh dari warga di kawasan perkotaan Jember yang tidak tersentuh bantuan pemerintah.
Pun, dengan bantuan dari dermawan di tengah masa pandemi Virus Corona ini.
Di luar masa pandemi Virus Corona, perempuan yang tinggal di Jl Letjen Sutoyo RT 03 RW 33 Lingkungan Kebon Indah Kelurahan Kebonsari Kecamatan Sumbersari, itu tidak tersentuh bantuan sosial dari pemerintah.
Padahal, perempuan ini termasuk warga miskin. Dia tidak termasuk sebagai penerima Bantuan Pangan Nont Tunai (BPNT), Program Keluarga Harapan (PKH), juga bantuan sosial kesehatan melalui Kartu Indonesia Sehat (KIS).
SURYAMALANG.COMmendatangi rumah Triyata pada Kamis (23/4/2020).
Perempuan itu hidup bersama tiga orang anaknya di sebuah rumah kontrakan sederhana, atap plafon rumahnya sudah jebol.
Perempuan itu tidak lagi bisa bekerja karena terserang stroke setahun terakhir.
Sebelumnya dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Sedangkan tiga anaknya tidak bisa banyak membantu.
Anak pertamanya difabel. Satu matanya buta setelah mengalami kecelakaan saat bekerja setahun lalu.
Kini hanya satu matanya yang bisa melihat. Sedangkan anak keduanya hanya bekerja sebagai tukang tambal ban.
"Itu pun ikut orang, dan hanya bekerja jika dipanggil," imbuh Triyata.
Sementara anak bungsunya, perempuan masih duduk di bangkus kelas 2 SMP.
Suaminya bekerja di Pulau Kalimantan dan hanya mengirimkan uang Rp 500.000 per bulan.
Uang itu hanya dipakai untuk biaya sekolah anak bungsu.
"Kalau untuk makan dan lain-lain, saya nyari sendiri. Dulu ketika saya masih jadi pembantu, saya punya penghasilan."
"Bahkan ketika stroke, saya sempat masih kerja. Meskipun beberapa bulan ini sudah tidak bekerja," kata Triyata.
Triyata masih bisa berjalan meskipun pelan, dengan cara berbicara yang tersendat karena serangan stroke tersebut.
Di sisi lain, dia harus melunasi utangnya kepada sejumlah 'bank tithil' atau koperasi simpan pinjam yang menerapkan pembayaran setiap minggu.
Triyata mengaku terpaksa meminjam utang di 'bank tithil' itu karena untuk kebutuhan hidup, membiayai biaya kontrol mata sang anak, juga melunasi cicilan kredit milik anaknya di sebuah bank.
Beberapa bulan terakhir hidupnya semakin susah.
Karenanya, dia tidak membayar iuran BPJS Kesehatan mandirinya.
"Tidak punya uang. Untuk makan saja susah. Tidak pernah dapat bantuan. KIS tidak ada. Dulu pernah didata di kelurahan, tetapi tidak dapat apa-apa sampai sekarang," lanjutnya.
Sebelumnya, Triyata memilih menjadi peserta BPJS Kesehatan secara mandiri.
Dia menuturkan, tiga tahun silam dia pernah mendapatkan jatah beras miskin.
Dia mengaku mendapatkan tiga kali, masing-masing 2,5 Kg setiap kali dapat selama tiga kali tersebut.
Setelahnya, dia tidak pernah mendapatkan bantuan sosial apapun dari pemerintah.
"Mendapatkan BPNT, PKH, dan KIS?," tanya Surya. "Tidak punya. Tidak pernah dikasih," katanya.
Belakangan ini, dua pekan terakhir dia harus menyambung hidup dengan menjual barang miliknya.
Dia menjual mangkok dan gelas beberapa hari lalu kepada tetangganya.
Barang itu laku Rp 30.000 yang kemudian dia belikan beras. Dia juga menjual perabotan yang lain, meskipun nilainya tidak seberapa.
Triyata tidak peduli. Dia hanya berpikiran untuk bisa mendapatkan uang, dan bisa makan.
Bahkan beberapa hari terakhir, untuk sarapan, dia memasak biji kluwih yang oleh warga setempat disebutnya kolor.
Biji kluwih itu digodok, dan sebagai pengganti sarapan. Barulah siang harinya, keluarga itu makan nasi.
Terkadang mereka dikasih makan, juga lauk dari tetangga.
"Dua hari sarapan isi kolor. Alhamdulillah, ini dikasih beras. Tadi juga ada orang tua yang tidak saya kenal, ngasih saya uang Rp 20.000. Bisa beli isi ulang gas," ujarnya sambil meneteskan air mata.
Triyata hanya berharap, dirinya bisa terlepas dari jeratan utang 'bank thitil'.
Dirinya masih memiliki tanggungan sebesar Rp 7,8 juta.
Dia berjanji, jika bisa terlepas dari jeratan 'bank tihtil' itu, dia tidak akan ngutang lagi ke mereka.
Selain itu, dia juga ingin mendapatkan bantuan peralatan tambal ban untuk anak keduanya.
Jika anaknya bisa membuka sendiri usaha tambal ban, dia yakin akan ada pemasukan untuk keluarga itu meskipun hanya Rp 20.000 per hari.
Penghasilan itu diharapkannya bisa menyambung hidup.
"Itu impian saya. Saya sampai pernah berpikir untuk bunuh diri. Tapi sama tetangga, saya dimarahi. Dosa."
"Saya berharap ada bantuan, terutama kompresor dan alat tambal ban untuk anak saya," pungkasnya.
Triyata tidak mau berharap banyak dari tetangganya, karena beberapa orang tetangganya juga tidak mampu.
Rumah yang ditempati Triyata adalah rumah kontrakan sederhana, dan mulai rusak di beberapa bagian.
Rumah kontrakan itu, dikontrak keluarga itu sampai tiga tahun mendatang.
Artikel ini telah tayang di suryamalang.com dengan judulPotret Keluarga Miskin Tak Tersentuh Bantuan Pemerintah, Sampai Jual Gelas & Mangkok Buat Beli Beras
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari