Advertorial
Intisari-Online.com - Sejak kelas IV SD hingga lulus kuliah, Sus, gadis berusia 22 tahun ini mengaku diperkosa ayahnya.
Setelah dipendam bertahun-tahun, akhirnya la punya keberanian untuk melawan.
Warga Surabaya ini melaporkan sang ayah ke polisi.
--
Baca juga:Gawat! Rusia Siap Kirim Jet Tempur Su-35 ke Indonesia Tapi Terancam Dibatalkan Amerika
Sungguh aku tak menduga kalau jalan hidupku jadi seperti ini. Tidak seperti anak gadis lainnya yang bisa menatap harapan ke masa depan.
Aku justru sebaliknya. Masa depanku bukan hanya suram tapi gelap. Ini semua gara-gara orang yang seharusnya aku hormati, Paimin ayahku sendiri.
Sebenarnya aku punya dua orang kakak yakni Sarno dan Joko, tapi keduannya meninggal ketika masih kecil.
Sarno meninggal di usia 2 bulan sedang Joko meninggal saat berusia 7 tahun.
Baca juga:Suami Istri Ini Jalin Cinta dengan Wanita yang Sama dan Tinggal Serumah
Aku membayangkan, jika kedua kakakku ada mungkin jalan hidupku tak akan sesuram ini. Paling tidak dia akan bisa melindungi dan menyayangiku.
Makanya, ketika aku lulus wisuda, keberhasilan sekolahku itu aku persembahkan buat mendiang kedua kakakku, bukan kepada orang tuaku.
Dua Kali Terlambat
Tragedi ini berlangsung sejak tahun 1991, saat aku duduk di bangku kelas IV SD.
Satu malam, saat tidur di kamar aku mencium bau menyengat. Saat membuka mata, ternyata di sebelahku sudah ada Ayah yang memegang keris.
Aku tak tahu bau apa itu. Yang pasti setelah itu badanku lemas dan mata terasa berat. Dalam keadaaan tak sadarkan diri, ayahku mulai melampiaskan nafsu sahwatnya.
Aku berusaha meronta, tetapi sia-sia karena seperti tak punya tenaga. Setelah itu, Ayah mengancamku. Akan membunuh jika menceritakan kejadian tersebut.
Pagi harinya, Ayah kembali mengulangi ancamannya. La juga minta agar aku segera mencuci celana aku yang penuh dengan bercak darah.
Baca juga:Si Kucing Betina Selingkuh Sang Kucing Jantan Patah Hati, Lucu Banget Ekspresinya!
Sejak kejadian itu, aku menjadi pemurung. Kehidupanku seakan tanpa harapan. Setiap petang menjelang, hatiku tak pernah tenang. Khawatir Ayah kembali menyambangi kamarku saat malam hari.
Ternyata benar, Ayah datang dan memaksa aku melayani nafsunya. Aku tak ubahnya dijadikan budak nafsu tiap malam.
Yang mengherankan, ibuku Sarbiyah seakan tak tahu masalah yang aku alami, Tapi aku yakin, dia pasti tahu. Mustahil dia tak tahu. Karena setiap kali ayah memaksaku, aku sering merintih kesakitan.
Aku yakin, Ibu pasti mendegarkan. Ayah bisa keluar masuk kamar karena kamarku tak boleh dikunci. Kalau aku kunci, bukan hanya Ayah, Ibu juga memarahiku.
Kamarku juga selalu gelap. Baru setahun ini, dipasang lampu.
Akibat perbuatan itu, aku sempat telat datang bulan. Tepatnya saat duduk di bangku SMP. Saat kondisi ini aku ceritakan ke Ibu, ia lantas memberiku ikan tanpa tulang selama dua minggu.
Setelah itu haid datang lagi. Hal yang sama juga terjadi saat di SMU. Kali ini Ibu meminta ke dukun pijat. Katanya, aku baru jatuh dari sepeda. Setelah dipijit di perut, pelan-pelan, keluar darah yang bergumpal-gumpal.
Tak Punya Teman
Mungkin orang heran dengan kejadian yang aku alami. Apalagi keluargaku sebenarnya cukup terpandang.
Secara ekonomi lebih dari cukup. Ayahku seorang pegawai perusahaan telekomunikasi. Tapi sekarang sudah minta pensiun dini.
Ayah juga disegani. Makanya ia diangkat sebagai ketua RW. Ayah dikenal derrnawan. Sering menyumbang kebutuhan kampung.
Aku juga dilarang brgaul dengan teman. Setelah pulang sekolah, aku dilarang ke mana-mana.
Makanya, untuk membunuh waktu, aku hanya belajar. Habis bagaimana lagi. Main sama teman saja enggak boleh. Terima telepon dari teman saja langsung kena marah. Telat pulang sekolah sebentar saja, langsung kena damprat. Aku benar-benar hidup sendiri.
Padahal jujur, aku ingin seperti remaja lainnya. Bisa bermain bahkan pacaran. Makanya sampai sekarang aku tak pernah punya teman dekat, baik lelaki maupun sesama perempuan.
Tamat SMA, aku sebenarnya ingin kuliah di Fakultas Kedokteran. Tapi ayahku melarang dan memaksa masuk Fakultas Psikologi.
Aku, sih, menuruti. Akhirnya aku diterima di universitas swasta ternama di Surabaya. Aku memang rajin belajar. Penderitaan yang aku alami, justru melecut aku rajin belajar.
Keberanian Mendadak
Akhirnya, kasus ini terbongkar sendirinya.
Ceritanya, menjelang wisuda, pihak fakultas menguhubungi ayahku ke rumah. Ia diminta melengkapi syarat-syarat tertentu agar aku bisa masuk sebagai sarjana teladan karena aku lulus cumlaude.
Bukannya gembira, ia malah keberatan dan enggak mau melengkapi persyaratan.
Aku baru tahu, dini hari menjelang wisuda. Malam itu, aku tidur di rumah Pak Sabar Junaidi. Pak Sabar adalah tetangga dekat rumah.
Sejak enam bulan terakhir ini aku sangat dengan keluarga Pak Sabar. Yang mendekatkan Pak Sabar sebenarnya ayahku sendiri.
Gara-garanya aku minta tolong Pak Sabar membantu tugas akhir membuat alat peraga relaksasi untuk penderita insomnia melalui kaset rekaman. Pak Sabar memang jago di bidang ini.
Saat berniat menginap di rumah Pak sabar, Ayah memintaku pulang. Karena sudah malam, maka aku diantar Pak Sabar dan istrinya, Bu Sri.
Sampai di rumah, Ayah memberi tahu bahwa ia tak mau melengkapi syarat-syarat agar aku bisa dinobatkan menjadi sarjana teladan.
Mendengar ucapan Ayah mendadak keberanianku muncul. Aku mendadak naik darah. Dengan lantang aku berkata, "Diriku dan masa depanku telah kau hancurkan Paimin..."
Medengar aku berkata demikian Pak Sabar dan istrinya langsung terbelalak seolah tak percaya.
Ia sepertinya tak menduga kalau aku sampai berani membongkar skandal itu.
Pak Sabar lantas bertanya, sejak kapan aku diperlakukan demikian. Aku jawab sejujurnya. Ayah saat itu mengaku salah dan minta maaf. Makanya niat untuk melapor ke polisi, aku urungkan malam itu.
Sejak itu, Ayah dan Ibu pergi dari rumah. Entah ke mana. Tapi aku akhirnya melapor ke polisi. Apalagi belakangan ini, Ayah selalu menelepon beberapa tetangga dan menebar fitnah.
Katanya ia pergi lantaran malu karena aku dihamili oleh Pak Sabar. Hati saya tambah sakit. Dia sudah menghancurkan masa depanku, masih juga mencemarkan diriku.
Sekarang masyarakat sudah mengerti. Aku juga banyak mendapat simpati. Itu yang menguatkan jiwaku.
Setelah masalah ini selesai, aku akan melanjutkan kuliah di S2. Aku ingin menjadi psikolog. Yang bisa menolong orang yang sedang menderita. Seperti yang aku alami.(Gandhi Wasono M)
Artikel ini tayang di Tabloid Nova No. 879/XVII (Januari 2005) dengan judul “Belasan Tahun Menjadi "Budak" Ayah, Melawan Karena Diganjal Jadi Sarjana Teladan”
Baca juga: