Dokter Terawan masuk dengan pakaian berbalut rompi antiradiasi. Musik instrumental terdengar keras memainkan lagu Ave Maria. Sementara kamera pemindai bergeser, bergerak meliuk di atas kepala saya.
Dokter menyuntik lagi bagian yang disuntik tadi, tapi tetap pegal dan pedih. Bahkan sampai beberapa jam berikutnya.
Tangan dokter bergerak-gerak seperti memompa sesuatu yang menghasilkan bunyi “tek-tek-tek”. Saya melirik gambar monitor di sisi kiri atas, terlihat sesuatu mirip seutas tali bergerak-gerak di sisi kanan rongga dada saya, terus naik menuju leher.
Kawat kateter sedang beraksi. Tak ada rasa apa-apa kecuali perih dan pegal di pangkal paha.
“Sekarang saya akan masukkan rasa mentos ke sebelah kanan,” kata dr. Terawan. Benar, bagian kanan kepala dan muka saya seperti disiram mentol sampai saya menjilat bibir sendiri.
Beberapa menit berlangsung, selalu diiringi bunyi “tek-tek-tek” yang kemudian diikuti suara seperti ban sepeda dikempeskan. Itu rupanya proses “cuci otak” saya. Cairan disemprotkan, pembuluh darah yang menyempit digelontor, dan yang buntu ditembus, kemudian dikeluarkan.
Proses dilakukan berulang. Ibarat tune-up pada sepeda motor, karburator disemprot dengan cairan penyumbat agar aliran bahan bakar lancar sehingga kecepatan bertambah.
Sekitar lima menit prosedur itu selesai. “Sekarang saya masukkan cairan kontras ya. Rasanya hangat.” Benar, bagian kanan tubuh yang tadi merasa mentol berganti jadi hangat. Bahkan sampai ke ujung tangan kanan. Kontras untuk memeriksa apakah masih ada hambatan atau tidak.
Sisi sebelah kanan selesai, tapi saya seperti ditelantarkan sesaat. Baru belakangan dr. Terawan bilang, pembuluh darah bagian kiri agak sulit ditemukan. Kawat kateter harus meliuk-liuk di dalam dada sebelum menemukan jalur menuju bagian kiri otak.
Prosedur di sisi kiri sama. Dimulai dengan rasa semriwing, diakhiri dengan rasa hangat sampai ujung tangan kiri. Latar belakang suara masih sama, bunyi “tek-tek-tek” dan embusan udara seperti ban dikempeskan.
Begitu pula musik latar. Saya sempat berdialog dengan dr. Terawan dan dr. Daniel asistennya, juga dengan anggota tim. Walau kepala tak bergerak.
Total waktu mulai selongsong dimasukkan ke pangkal paha sampai dr. Terawan menjahitnya kembali hanya 29 menit. Ia meminta saya duduk sebentar, kemudian tiduran lagi. Tirai pada kaca tembus pandang ditutup lagi, artinya “pertunjukan” selesai.
Seorang perawat berpesan agar saya tidak menekuk kaki kanan selama empat jam. Saya pun dipindahkan ke ranjang dari kamar perawatan dan, setelah mengucapkan terima kasih, dikembalikan ke sana.
Empat jam saya lama sekali. Badan bagian atas boleh ditegakkan agar saya bisa makan siang, tapi saya menahan buang air kecil karena tidak bisa melakukannya di pispot.
Selewat empat jam, dr. Terawan dan dr. Andrie Budiman Sp.S. datang untuk memeriksa tekanan darah. Ia berpesan agar dalam dua hari saya tidak naik tangga atau menekan lantai dengan kaki kanan.
Dokter Andrie juga menulis resep Brainact 500 mg untuk diminum 2 kali/hari dan Forneuro yang berisi vitamin otak untuk diminum 1 kali/hari. Sebulan kemudian saya diharapkan melakukan MRI lagi, tetapi hanya pemindaian permukaan selama enam menit.
Memori muncul lagi
Saya menjalani DSA bukan karena stroke, tentu saja tidak ada bukti empiris bahwa saya telah sembuh dari sakit. Mata saya juga tidak minus sehingga saya tidak merasakan pengurangan minus.
Tapi saya merasakan pikiran lebih fokus. Rasa pening tak ada lagi kecuali kalau terlambat makan.
Seketika setelah menjalani “tune-up” otak itu mata saya menjadi nanar, sulit mengantuk kecuali memang saatnya tidur. Yang agak mengherankan, pelbagai peristiwa masa lalu teringat lagi.
Bahkan peristiwa sangat sederhana yang mestinya sudah saya lupakan. Saya tidak tahu apakah itu seiring usia yang memang menengah atau dirangsang oleh peredaran darah otak yang lancar. Yang pasti, istri saya bilang muka saya terlihat lebih segar seperti habis dari spa.
Perusahaan asuransi memang menutup semua pembiayaan. Tapi ketika saya bertanya kepada seorang staf di Paviliun Kartika RSPAD Gatot Subroto, jawabannya biaya DSA sekitar Rp28-Rp30 juta termasuk persiapan.
Kalau membayar sendiri? Kesehatan memang penting, meski prosedur semacam itu barangkali bukan prioritas. Tapi kalau berpikir manfaatnya untuk mencegah stroke yang mungkin menyerang tanpa sepengetahuan kita, angka itu menjadi berlipat kali nilainya.
Kalau terkena stroke, niscaya uang, waktu, dan kesempatan yang habis akan lebih besar. Belum lagi hambatan fisik. (Mayong S. Laksono)
(Baca juga: Jika Telinga Anda Berdenging, Maka Itu Merupakan Pertanda dari 5 Hal Ini)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR