Advertorial

Jenglot, Semakin ‘Amburadul’ Semakin Mahal Harganya, Hingga Ratusan Juta Rupiah

Ade Sulaeman

Editor

Intisari-Online.com – “Jual: Jenglot dan Tuyul” ini adalah bunyi iklan jual beli di sebuah media massa.

Membaca iklan ini, saya berpikir, rasanya semakin tipis saja perbedaan antara bisnis jual beli sepeda motor dan bisnis alam gaib.

Orang-orang yang menyukai hal-hal klenik pasti semakin terpuaskan karena mereka kini makin mudah memperoleh benda-benda magis lewat media massa.

Bicara tentang hal-hal gaib dan menyeramkan memang mengasyikkan. Jenglot, babi ngepet, atau tuyul hingga sekarang masih menjadi cerita menarik buat masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa, tempat lahirnya cerita-cerita mistis tentang makhluk-makhluk gaib itu.

(Baca juga: Masih Ingat Kakek 75 Tahun yang Nikahi Gadis Berusia 25 Tahun? Begini Kondisi Keduanya Sekarang)

Karena penasaran dengan bisnis jual-beli jenglot itu, saya pernah berburu informasi hingga ke Cirebon untuk mencari tahu seluk beluk makhluk gaib itu.

Di sana saya memperoleh penjelasan seorang narasumber yang merupakan salah satu abdi dalem Keraton Kasepuhan Cirebon.

Menurut dia, harga seekor jenglot yang berusia sangat tua bisa mencapai kisaran ratusan juta rupiah!

Menurut cerita dia, pernah ada jenglot yang dihargai hingga Rp200 juta, pembelinya seorang jutawan dari Kalimantan.

Sampai sekarang rekor itu belum tertandingi. Mungkin saja setelah tulisan ini diterbitkan, nilai jualnya menjadi lebih mahal lagi.

Kenapa bisa semahal itu harga sesosok jenglot yang bentuknya amburadul, dengan rambut acak-acakan dan kulit tubuhnya sudah keriput put — tidak seperti kulit bintang iklan sabun kecantikan?

“Justru yang kaya gitu yang mahal harganya,” kata si abdi dalem.

Menurut cerita rakyat di sana, jenglot berasal berasal dari sosok orang sakti mandraguna yang telah meninggal dunia.

(Baca juga: (Foto) Usai Menyantap Induknya, Singa Ini Lakukan Hal Tak Terduga pada Seekor Bayi Kera)

Karena pengaruh ilmu kesaktian yang dinamai Betara Karang, jasad orang sakti itu tidak akan rusak dimakan bakteri pengurai bangkai.

Jasad itu hanya menyusut seiring waktu. Semakin kecil jasadnya, jenglot diyakini makin sakti dan otomatis makin tinggi pula harga jualnya. Jenglot seperti itu diyakini bisa membuat pemiliknya cepat kaya.

Di Kota Udang itu daya tarik jenglot sampai melampaui daya tarik pemilihan kepala daerah.

Sedemikian hebohnya urusan jenglot, seorang warga pernah melakukan penipuan dengan membuat jenglot palsu dari adonan tepung roti yang dibentuk menyerupai jenglot, lengkap dengan rambut dan taring menyeringai serta mata yang bisa mengeluarkan sinar merah.

Tujuannya bukan untuk dijual, tapi untuk menarik pengunjung. Setiap pengunjung diharuskan membayar tiket masuk seharga beberapa ribu rupiah.

Mereka ditipu oleh promosi gencar yang dilakukan oleh “iven ogenaiser” bahwa jenglot yang satu ini matanya bisa mengeluarkan sinar.

Kehebohan ini sampai mengundang polisi untuk turun tangan memeriksa. Setelah jenglot itu diperiksa, ternyata yang dikatakan sebagai mata jenglot itu hanya sepasang lampu LED berkelir merah. Alamak!

Cerita tentang tuyul juga tak berbeda jauh. Makhluk berwujud anak kecil berperawakan mini berkepala plontos ini banyak dipelihara orang juga demi kekayaan.

Agar bisa menjalankan tugasnya mengumpulkan uang secara supranatural, tuyul butuh makan atau bahasa sononya disebut sesajen.

Mau tidak mau si empunya wajib memenuhi selera makanan atau minuman favorit kesukaan piaraannya. Konon para makhluk gaib punya selera yang berbeda. Tuyul suka minum susu.

Jenglot lebih menyeramkan, konon ia suka minum darah manusia. Walah!

Kita tentu saja bebas untuk percaya atau tidak dengan keberadaraan makhluk-makhluk supranatural ini.

Sekalipun saat ini sudah zaman teknologi layar sentuh, fakta mengatakan, kepercayaan ini masih hidup di masyarakat.

Cerita tentang babi ngepet, tuyul, jenglot dan sejenisnya masih banyak beredar.

Mudah-mudahan dengan masuknya internet ke pelosok pedesaan, masyarakat bisa semakin pandai dan lebih tertarik membuka Google untuk bertanya tentang cara bertani atau beternak ikan lele daripada sekadar menonton jenglot. (Anton – Intisari Desember 2011)

(Baca juga: Realita Bekerja di Kapal Pesiar: Saat Beban Kerja Tidak Semanis Gajinya!)

Artikel Terkait