Advertorial
Intisari-Online.com -Aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh para mahasiswa masih terus berlanjut hingga sore ini, Selasa (24/9/2019).
Demonstrasi untuk menentang sejumlah kebijakan publik tersebut terus berlangsung di sejumlah wilayah di Indonesia.
Perwaikikan mahasiswa di Jakarta memang sudah mendapat kesempatan bertemu dan berdiskusi dengan DPR, namun, hasilnya masih belum memuaskan.
Bahkan, mahasiswa sampai menyatakan "mosi tidak percaya" kepada para anggota dewan yang duduk di Senayan tersebut.
Baca Juga: Ibundanya Meninggal, SBY Sempat Tulis Sosok Habibah di Bukunya: 'Beliau Adalah Pengagum Bung Karno'
Nah, hampir 67 tahun, frasa "mosi tidak percaya" juga pernah bergema, bahkan bisa dibilang dengan sangat mencekam.
Bagaimana tidak, bayangkan saja mulai dari peralatan artileri, meriam, hingga tank semua mengarahkan "moncongnya" ke Istana Presiden.
Uniknya, demonstrasi yang melibatkan 30.000 di bawah pimpinan Abdul Harus Nasution tersebut justru dihadapi oleh Bung Karno seorang diri, dengan sangat tenang.
Berikut ini kisahnya.
Baca Juga: Bung Karno Pernah Dicemooh Mahasiswa Karena Berbusana Trendi
Bagi sebuah negara, militer tentu mempunyai fungsi sebagai garda terdepan dalam perlingungan terhadap kedaulatan.
Ketika negara mendapat ancaman dari negara lain, militer bertanggung jawab terhadap kedaulatan.
Saat Indonesia mulai berdaulat pada 17 Agustus 1945, bukan sebuah proses mudah untuk membentuk militernya sendiri.
Prosesi pembentukan Tentara Nasional Indonesia begitu panjang, melalui penggabungan beberapa gerakan, laskar, dan organisasi militer, baik buatan Belanda ataupun Jepang.
Tentunya tiap unsur itu mempunyai latar belakang dan pandangan yang berbeda-beda.
Hari ini 66 tahun yang lalu, bertepatan pada 17 Oktober 1952 terdapat peristiwa di Indonesia yang terjadi akibat perbedaan pandangan di internal militer Indonesia.
Dilansir dari dokumentasi Harian Kompas, campur tangan politik memang menjadikan persepsi militer terpecah menjadi dua.
Ada yang menginginkan rasionalisasi tentara sesuai fungsi. Di sisi lain, ada juga yang menginginkan tentara tetap memainkan fungsi ganda, dalam hal ini berpolitik, karena mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS).
Hal ini juga berdampak dengan munculnya tuntutan untuk membubarkan DPRS.
Baca Juga: Benarkah Tak Ada Sinergi antara Perjuangan Bung Karno dan Para Pemuda?
Militer berpolitik
Kondisi politik Indonesia pasca-pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 1949 memang belum sepenuhnya stabil.
Kabinet yang dibentuk silih berganti karena munculnya berbagai konflik politik.
Kondisi ini diperparah adanya sejumlah pejabat yang melakukan korupsi dan tindakan yang merugikan negara.
Keadaan itu membuat rakyat merasa geram dan menginginkan percepatan pemilihan umum untuk mengganti anggota parlemen.
Ketika itu memang banyak dari anggota militer yang menjadi pimpinan politik. Selain dari ranah militer, mereka memainkan peran dalam perpolitikan daerah.
Hal inilah yang membuat petinggi TNI saat itu, Abdul Haris Nasution untuk bisa merasionalisasi tentara dan mengurangi jumlahnya.
Ketika masalah itu sedang terjadi, muncul keinginan dari Kepala Staf Angkatan Perang Mayor Jenderal TB Simatupang dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel AH Nasution untuk mengembalikan tentara sesuai fungsinya.
Kondisi itu mendapat respons tak baik dari pihak Kolonel Bambang Supeno. Dia tak sependapat dengan AH Nasution.
Bambang Supeno bahkan menganggap kinerja AH Nasution tak baik.
Akhirnya, Supeno mengirimkan surat ke parlemen karena merasa tak puas dengan kepemimpinan AH Nasution.
Internal militer pun terpecah dan membawa masalah ini ke parlemen. DPRS ikut andil dalam masalah itu.
DPRS membuat beberapa mosi menyikapi masalah yang terjadi di internal TNI.
Kemunculan mosi ini yang menjadi sebuah persoalan karena dinilai terlalu intervensi terhadap masalah TNI. AH Nasution meluapkan ketidakpuasannya terhadap apa yang dilakukan parlemen.
Pada 17 Oktober 1952, para perwira militer bersama 30.000 demonstran melakukan unjuk rasa menuju Istana Merdeka.
Tank, meriam, dan persenjataan artileri bahkan dihadapkan menuju ke Istana Merdeka.
Namun, ini bukan untuk melakukan perlawanan, tetapi mereka hanya meminta parlemen dibubarkan dan konflik dalam tubuh militer segera diakhiri.
Meski begitu, Soekarno menilai tindakan ini merupakan makar karena menggunakan peralatan militer. Akhirnya, Presiden menemui demonstran.
Menurut Soekarno, parlemen tak begitu saja bisa dibubarkan karena dirinya bukanlah diktator yang bebas melakukan apa saja. Presiden membutuhkan pertimbangan dari berbagai pihak menanggapi usulan itu.
Soekarno menegaskan akan menyelidiki lebih besar keinginan rakyat dan segera mempercepat pemilu. Demonstran sekejap luluh mendengar penyataan dari Soekarno dan segera membubarkan diri.
Setelah peristiwa itu, Soekarno menemui delegasi militer yang datang. Imbasnya, AH Nasution yang ketika itu menjadi KSAD akhirnya diganti.
Namun, setelah dipecat AH Nasution malah aktif menulis. Salah satu karya yang dihasilkan adalah Pokok-pokok Perang Gerilya.
Menurut Harian Kompas, ini merupakan buku teks tentang seluk beluk perang gerilya yang sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Bahkan buku itu menjadi bahan pelajaran di Akademi Militer West Point AS.
Perselisihan di kalangan militer, terutama TNI Angkatan Darat sendiri dianggap selesai setelah disepakatinya Piagam Keutuhan AD, sebagai hasil pertemuan di Yogyakarta pada 25 Februari 1955.
(Aswab Nanda Pratama)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Peristiwa 17 Oktober 1952, Ketika Tank dan Meriam Mengarah ke Istana..".