Advertorial
Intisari-Online.com - Plastik menjadi salah satu temuan terpenting dalam peradaban manusia.
Sayangnya, kesadaran tentang bijak menggunakan plastik masih rendah terutama di negara berkembang seperti Indonesia.
Tumpukan sampah plastik di Indonesia bisa mencapai 16 persen dari total sampah nasional yang terus meningkat sejak 2011.
Alhasil, sampah plastik kerap dibuang ke laut, Indonesia bahkan menempati peringkat kedua sebagai negara yang terbanyak membuang sampah ke laut.
Baca Juga: Lagi, Kualitas Udara Jakarta Hari Ini Jadi yang Terburuk di Dunia
Kondisi ini banyak menggerakkan aktivis lingkungan menyadarkan masyarakat hingga pemerintah.
Tentu, keterlibatan semua pihak diperlukan untuk meningkatkan kesadaran penggunaan plastik.
“Sekarang pencegahan sampah itu harus paling gede,” ujar Agus Supriyanto, Kepala Seksi Bina Peritel Direktorat Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam Diskusi “Bersama Ciptakan Kebaikan untuk Bumi”.
Agus menambahkan, “Selain pemerintah, konsumen alias masyarakat juga harus ikut andil mengurangi produksi sampah plastik.”
Diskusi yang digelar National Geographic Indonesia dan Danone AQUA turut mengundang komunitas peduli lingkungan dan menghadirkan Jessica Hanafi, penggagas Life Cycle Indonesia.
Ia mengungkap fakta bahwa barang yang dikonsumsi akan meninggalkan emisi dari life cycle –siklus hidup.
“Pada saat kita mempunyai barang, kita harus berpikir bahwa barang ini terbuat dari apa, dari mana, berapa lama masa penggunaannya, hingga nantinya akan menjadi apa di akhir masa penggunaannya.”
Jessica mengajak masyarakat untuk melihat life cycle barang-barang sebelum dibeli atau digunakan.
Yang perlu diperhatikan yakni bahan mentah yang digunakan, proses produksinya, distribusi, penggunaan, hingga ketika barang tersebut habis dikonsumsi.
Baca Juga: Biasanya Tidak Berharga, Sampah Plastik di Kota Ini Justru Bisa Untuk Membeli Seporsi Makanan
Selain mengenali daur hidup barang, Jessica juga menyebut masyarakat bisa melihat eco-label pada kemasan untuk memeriksa keramah lingkungan produk tersebut.
Tentu saja, plastik menjadi salah satu produk tidak ramah lingkungan.
Apalagi plastik sekali pakai semisal botol minum, kantung plastik, bungkus permen, dan sebagainya.
Sampahnya menggunung dan belum terurus dengan baik.
“Tidak sedikit fenomena dampak sampah tak terolah dan berdampak langsung terhadap lingkungan,” ujar Edi Susilo selaku Kepala Bidang Jejaring Inovasi Pariwisata Bahari Kemenkomaritim dalam diskusi yang sama.
Menanggapi masalah ini, lahirlah #BijakBerplastik yang dicetuskan Danone-AQUA sejak 2018.
”Bijak berplastik adalah komitmen sekaligus movement yang kita luncurkan tahun lalu untuk mendukung pemerintah mengatasi permasalahan sampah, khususnya sampah plastik yang masuk ke lautan,” jelas Karyanto Wibowo, Sustainable Development Director Danone Indonesia.
Melalui gerakan ini, AQUA berkomitmen untuk mengumpulkan lebih banyak plastik dari yang mereka gunakan pada 2025.
Gerakan #BijakBerplastik ini bersandar pada tiga pilar yakni collection (pengumpulan sampah plastik), education (mengedukasi publik tentang kegiatan reduce, reuse, dan recycle (3R) hingga mengembangkannya ke sekolah-sekolah), dan innovation (meluncurkan kemasan botol AQUA life yang terbuat dari 100% plastik daur ulang).
“Saya melihat bahwa di masa depan, bisnis itu harus berujung kepada kebaikan, business for good. Memang sangat menantang, tapi ini sudah menjadi komitmen kami dalam mengatasi masalah sampah,” ungkap Karyanto.
Media juga turut berperan penting dalam kolaborasi pengentasan masalah plastik.
Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia mengingatkan peran media dan komunitas.
“Kolaborasi antara media, konten, dan pelaku (yang terlibat dalam penanganan sampah plastik) itu tujuan akhirnya adalah changing behavior."
"Mimpi besarnya buat kami adalah perubahan perilaku,” ujar Didi.
Kolaborasi yang disebut Didi juga diamini Edi.
Ia menjelaskan ada beberapa kegiatan penanganan sampah yang telah dilaksanakan Kemenkomaritim bersama beberapa komunitas.
“Kita bersinergi. Di mana posisi komunitas, di mana posisi kementerian, lembaga, dan sebagainya. Kita berkolaborasi dan bersinergi,” ujarnya.
Diskusi ini juga mengundang beberapa komunitas.
Salah satu anggota komunitas yang hadir, Fahri, mengaku tertarik datang karena ingin bersilaturahmi dengan komunitas-komunitas lainnya dan ingin tau apa gebrakan Aqua selanjutnya.
“Selama ini, kan, baik di kota, di gunung, di laut, sampah terbanyak itu plastik."
"Plastik itu identik dengan Aqua. Jadi pingin tau apa langkah ke depan Aqua sebagai, ya, bisa dibilang penyumbang sampah (plastik) terbanyak,” ujarnya.
Fahri juga menganggap diskusi ini interaktif dan bagus karena banyak pihak yang terlibat, termasuk Kementerian.
Ia berharap diskusi semacam ini harus lebih sering diadakan sebagai sarana edukasi dan pertukaran gagasan baik mengenai lingkungan. (Ananda Putri/Nat)
Baca Juga: Dampak Sampah Plastik Kian Mengerikan, Garam dan Ikan Teri Sudah Terbukti Mengandung Mikro Plastik