Advertorial

Gerindra Ingin Nilai Tukar Rupiah Kembali Jadi Rp6.500 Seperti Zaman Habibie, Ekonom Sebut Itu Tak Rasional

Ade S

Editor

Keinginan Fraksi Partai Gerindra agar rupiah kembali kurs Rp6.500 per dollar AS dinilai tak rasional oleh ekonom.
Keinginan Fraksi Partai Gerindra agar rupiah kembali kurs Rp6.500 per dollar AS dinilai tak rasional oleh ekonom.

Intisari-Online.com -KeinginanFraksi Partai Gerindra agar rupiah kembali kurs Rp6.500 per dollar AS dinilai tak rasional oleh ekonom.

Permintaan tersebut disampaikan saatPemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bertemu untuk menyepakatipembicaraan pendahuluan asumsi makro Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020.

Salah satu asumsi yang muncul untuk tahun depan adalahnilai tukar rupiah dipatok dalam rentang Rp 14.000-Rp 14.500 per dollar Amerika Serikat (AS).

Baca Juga: Benarkah Rupiah Melemah karena Kerusuhan? Sri Mulyani Berikan Penjelasan

Kendati begitu, Fraksi Partai Gerindra menyatakan keinginan agar pemerintah mampu memperkuat nilai tukar rupiah ke level yang jauh lebih kuat dari itu.

"Fraksi Partai Gerindra meminta pemerintah untuk menguatkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS seperti masa kepemimpinan Presiden Habibie,” ujar Anggota Badan Anggaran DPR Johny Kenedy Aziz saat membacakan paparan, Senin (8/7) lalu.

"Di mana kurs dapat berubah dari Rp 16.600 per satu dollar AS, menjadi Rp 6.500 per satu dollar AS."

Baca Juga: Nilai Tukar Rupiah Melemah, Indonesia Justru Masuk Daftar Negara dengan Risiko Krisis Moneter Paling Kecil

Ekonom Samuel Sekuritas Indonesia Ahmad Mikail Zaini menilai, permintaan anggota dewan tersebut tidak rasional.

Pasalnya kondisi perekonomian saat ini jauh berbeda dengan masa kepemimpinan presiden RI ketiga itu.

“Waktu itu setelah krisis nilai tukar rupiah memang jatuh drastis dari level Rp 2.000 an ke Rp 16.600, hampir 600%,” ujar Mikail, Rabu (10/7).

"Jadi, memang wajar kalau setelahnya rupiah kembali lagi menguat karena sudah sangat undervalue."

Selain itu, pada era Presiden Habibie, pemerintah juga melakukan restrukturisasi utang secara besar-besaran.

Menurut Mikail, itu tidak terlepas juga dari dukungan lembaga kreditor internasional dan perbankan global yang bersedia melakukan penjadwalan ulang dan rationing ulang atas kredit-kredit sindikasi pemerintah Indonesia.

Baca Juga: Nilai Tukar Rupiah Dekati Rp15 Ribu, Ini 7 Perbedaan Kondisi Ekonomi 1998 dan 2018

Maklum, pada masa itu, Indonesia masih lebih banyak melakukan utang secara bilateral maupun multilateral.

“Kalau sekarang, utang pemerintah sebagian besar dalam bentuk surat berharga dan diperjualbelikan di pasar obligasi,” lanjut Mikail.

"Kondisinya sangat ditentukan oleh pasar sehingga tidak mungkin bisa seperti dulu dengan mudah melakukan restrukturisasi."

(Grace Olivia)

Artikel ini sudah tayang di Kontan.Co.Id dengan judul "Fraksi Partai Gerindra minta kurs rupiah Rp 6.500, mungkinkah?".

Baca Juga: Penjelasan Ini Coba Jelaskan Alasan Nilai Tukar Rupiah Menguat dalam Dua Hari Ini

Artikel Terkait