Advertorial
Intisari-online.com - Beberapa waktu lalu BPJS kesehatan mengumumkan bahwa peserta BPJS tidak perlu membayar beberapa persen dari total pengobatan alias tidak sepenuhnya gratis.
Hal tersebut dikarenakan bahwa, BPJS mengalami defisit keuangan.
Berita bahwa anggaran BPJS selalu defisit alias tekor, rasanya bukan hal yang baru.
Sudah sejak 5 tahun terakhir ini, pemerintah, meski sudah menggelontorkan dana, tetap saja kurang.
Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Sigit Priohutomo mengatakan, defisit BPJS Kesehatan merupakan permasalahan yang pelik.
Dia melihat, defisit bukan hanya perihal meningkatnya orang yang menderita penyakit kronis.
Tetapi juga karena masalah struktural di antaranya rendahnya kolektif iuran, baru 54% atau 107 juta peserta yang rutin membayar dari total 199 juta peserta BPJS yang terdaftar.
Jika dirupiahkan angka tersebut setara dengan Rp3,4 triliun.
Sigit menyarankan agar BPJS lebih aktif dan tegas dalam mengejar mereka para peserta BPJS yang belum membayar.
"Sekalipun ini di manage oleh CEO yang super, ini pasti akan defisit," kata Sigit, seperti dikutip dari Intisari-Online.com (25/05).
Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo menyarankan agar BPJS tegas menyikapi peserta yang menunggak.
Seharusnya, BPJS tidak memberi pelayanan kesehatan kepada mereka yang belum membayar iuran.
Kemenkeu pun berencana meminta presiden menerbitkan perpres yang mengatur soal kewajiban membayar iuran premi.
"Orang sakit terus diobati, terus dia tidak bayar premi, itu benar gak? No premi no claim seharusnya."
"Nanti akan ada perpres-nya (Peraturan Presiden) kalau anda sakit belum bayar premi tidak akan diterima," kata Mardiasmo.
Karena defisit anggaran yang juga belum selesai-selesai, BPJS Kesehatan merilis dua kasus penyakit yang dianggap paling menghabiskan dana besar.
Apalagi kalau bukan penyakit kronis yang kini tren dialami penduduk Indonesia.
Sebelumnya BPJS Kesehatan membatasi pasien yang ingin operasi melahirkan sesar, operasi katarak, serta fisioterapi.
Tidak semuanya ditanggung JKN-KIS, karena terlalu besar menghabiskan anggaran pemerintah.
"Dengan adanya pemeriksaan BPKP ada pelayanan berlebihan."
"Dari semua data, kita tidak cuma lihat dua (kasus penyakit) itu."
"Ini harus ditindaklanjuti," ucap Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan Maya Amiarny Rusady, saat ditemui di Kantor BPJS Kesehatan, Jakarta Pusat baru-baru ini kepada awak media.
Maya menambahkan, untuk mayoritas penyakit yang dianggap boros menghabiskan anggaran yakni segala bentuk penyakit kronis, contohnya jantung dan gagal ginjal.
Misalnya hemodialisa (cuci darah) untuk pasien gagal ginjal, bahkan setiap hari ada yang baru.
Jumlah pasien JKN-KIS yang melakukan hemodialisa selama tahun 2014-2017 sebesar 1.322.307 orang, dengan jumlah kasus 9.438.744 dengan total biaya perawatan sebesar Rp10.735.062.857.909.
"Kalau data penyakit banyak ada 10 besar tertinggi."
"Secara nasional rawat jalan itu penyakit kronis, kalau rawat inap juga ada," sebutnya.
Agar tidak boros dan mencegah kecurangan, BPJS Kesehatan bakal mengimplementasikan sistem fingerprint.
Meskipun dua tahun sebelumnya sistem ini sudah diterapkan di rumah sakit, khususnya poli hemodialisa.
"Diharapkan penggunaan sistem digital seperti fingerprint, efektif dipakai dalam validasi data."
"Kalau 2 tahun lalu pelayanan hemodialisa, tahun ini semoga bisa semua penyakit di semua FKTP" pungkas Maya. (Soesanti Harini Hartono/Grid Health)
Artikel ini pernah tayang di Grid Health dengan judul BPJS Tekor, Ini 2 Penyakit yang Paling Boros Habiskan Anggaran
Baca Juga: Cara Mengobati Biduran Secara Alami Tanpa Obat Kimia tapi Tetap Manjur