Advertorial

Bukan dari Bung Karno, Ternyata dari Sinilah Istilah 'Jas Merah' Berasal

Ade S

Editor

Bukan Bung Karno yang menciptakan dan mengenalkan istilah 'jas merah' yang merupakan akronim dari 'jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah'.
Bukan Bung Karno yang menciptakan dan mengenalkan istilah 'jas merah' yang merupakan akronim dari 'jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah'.

Intisari-Online.com -Anda tentu tak asing dengan akronim yang kemudian menjadi sebuah istilah umum "jas merah", sebuah akronim dari "jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah".

Lalu, siapa nama yang akan langsung teringat ketika istilah tersebut muncul?

Rasanya hampir seluruh orang Indonesia, akan menyebut nama Presiden Indonesia Pertama, Soekarno.

Sebab, selama ini, Bung Karno lah yang diyakini sebagai sosok yang membuat sekaligus mengenalkan istilah 'jas merah".

Baca Juga: 3 Calon Kuat Ibu Kota Baru Indonesia dan Fakta Kota Palangkaraya, Kota yang Diinginkan Bung Karno Jadi Ibu Kota Baru

Namun, benarkah Bung Karno yang menjadi pembuat istilah "Jas Merah?

Sejarawan Rushdy Hoesein justru menyatakan bahwa istilah tersebut bukan berasal dari Bung Karno.

Kok bisa? Bukankah pidato Bung Karno berjudul"Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sedjarah!" menjadi awal dikenalnya istilah "Jas Merah"?

Untuk menemukan jawabannya, mari kita simak ulasan berikut ini.

Baca Juga: Tugu Soekarno, Saksi Bisu Impian Bung Karno Pindahkan Ibu Kota Indonesia ke Palangkaraya

Ternyata, menurutRushdy, Jenderal AH Nasution pernah menjelaskan bahwa istilah "Jas Merah" merupakan judul yang diberikan oleh Kesatuan Aksi 66.

"Menurut AH Nasution, 'Jas Merah' adalah judul yang diberikan Kesatuan Aksi 66 terhadap pidato Presiden, bukan judul yang diberikan Bung Karno," kata Rushdy dalam bedah pidato Bung Karno di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Rabu, (15/5/2019), seperti dilansir INTISARI dariAntara.

Dalam pidato yang dibacakan oleh Bung Karno pada 17 Agustus 1966 tersebut, menurutRushdy, bahkan istilah "jas merah" tak pernah disinggung sekalipun.

Bung Karno sendiri memberi judul"Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sedjarah!" pada pidatonya sebagai upaya untuk mempertahankan garis politik yang dibuatnya.

Saat itu, Bung Karno memaparkan tentang kondisi Indonesia yang menurutnya berada dalam kondisi genting selama beberapa tahun.

Selain itu, Bung Karno juga banyak menyinggung mengenai betapa konflik sesama anak bangsa semakin meruncing.

Bung Karno menggambarkan betapa Indonesia, selama 21 tahun merdeka, mengalami banyak dinamika, romantika, bahkan juga dialektika.

Sementara itu, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta Suyatno, pidato itu sendiri menjadi pidato kepresidenan terakhir Bung Karno sebelum dirinya dilengserkan oleh Orde Baru.

Baca Juga: Kisah Pilu Bung Karno di Akhir Kekuasaan, Sekadar Minta Nasi Kecap Buat Sarapan pun Ditolak

Dalam kesempatan yang sama,penulis Roso Daras berharap munculnya upaya untuk menjembatani pemikiran-pemikiran Bung Karno dengan generasi muda Indonesia saat ini.

"Harus ada penafsiran terhadap pidato-pidato dan karya-karya Bung Karno dalam konteks kekinian sehingga generasi muda bisa memahami Bung Karno," kata penulis "Aktualisasi Pidato Terakhir Bung Karno, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah" itu, masih dilansir dariAntara.

Roso menilai, generasi muda harus diajak untuk memahami pemikiran para pendiri bangsa, tak hanya Bung Karno, tapi juga Bung Hatta, Tan Malaka atau Sutan Syahrir.

Baca Juga: Jokowi dan Prabowo Berebut 'Hati' Kaum Muda: Bung Karno Malah Pernah Dicemooh Pemuda Gara-gara Berpakaian Trendi

Artikel Terkait