Advertorial
Intisari-Online.com - Salah satu persoalan kota besar di negara berkembang seperti Jakarta adalah polusi kendaraan. Sistem transportasi yang belum sempurna membuat penduduknya memilih menggunakan kendaraan pribadi untuk mobilitasnya. Bahkan tanpa memiliki garasi pun mereka nekat membeli mobil.
Namun tanpa mereka sadari, dalam kabin kenyamanan itu mereka menciptakan mesin pembunuh yang pelan-pelan membunuh tak hanya dirinya sendiri tapi juga orang lain. Seperti yang dikemukakan oleh Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), tercatat lebih dari 50% warga Jakarta menderita penyakit akibat terpapar pencemaran udara. Kualitas udara di Jabodetabek memasuki level tidak sehat sejak awal 2017.
Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin menjelaskan bahwa di Jakarta sendiri, 58,3% warganya menderita sakit akibat terpapar pencemaran udara sehingga harus membayar biaya berobat mencapai Rp51,2 triliun. Sebuah jumlah yang lebih dari cukup menutup defisit tahun 2018 yang diperkirakan di kisaran angka Rp16 triliun.
Nah, salah satu penyumbang polusi udara itu adalah asap kendaraan bermotor yang masih menggunakan bahan bakar minyak. Salah satu upaya pemerintah untuk menanggulangi bahaya polusi itu adalah dengan menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 20/2017 tentang Penerapan Baku Mutu Emisi Kendaraan pada 10 Maret 2017 lalu.
Lewat Peraturan Menteri tadi, Indonesia mulai menerapkan standar emisi Euro 4 untuk kendaraan roda empat atau lebih.
Pada awalnya, pemerintah menyatakan bahwa mulai pertengahan September 2018 para pabrikan mobil harus sudah mulai menghentikan kegiatan memproduksi kendaraan berstandar bahan bakar Euro-2. Namun kemudian diundur sebulan untuk kendaraan berbahan bakar bensin dan gas. Sementara kendaraan berbahan bakar diesel diberi waktu lebih lama untuk transisi ke standar Euro-4, yakni paling lambat mulai 7 April 2021.
Apa itu Euro 4?
Baca Juga : Awalnya Bahan Bakar Minyak Adalah Obat Luka dan Pembasmi Kutu, Kok Sekarang Fungsinya Berbeda Ya?
Sistematis dan jelas
Euro 4 dan juga Euro 2 sering kita lihat tertempel pada badan bus-bus pariwisata. Kata ini merujuk pada standar emisi dari European Automobile Manufacturers Association (ACEA). Pada 1990 Uni Eropa menyadari bahwa pertumbuhan industri otomotif yang terus meningkat secara global (pada 1970 jumlah mobil dunia mencapai 250 juta unit, meningkat menjadi 500 juta unit pada 1986, dan menembus angka 1 miliar unit pada 2010) membuat udara menjadi kotor. Dari asap kendaraan itu keluar zat beracun seperti karbon dioksida (CO2), nitrogen oksida (NOx), karbon monoksida (CO), dan volatile hydro carbon (VHC).
Jika keempat partikel gas buang ini terus dikeluarkan dari kendaraan bermotor, maka akan menimbulkan efek negatif bagi lingkungan dan manusia. Terlebih jika sampai melebihi ambang batas normal, udara yang kita hirup sehari-hari akan semakin mengandung banyak racun.
Uni Eropa menjadi kawasan yang pertama kali peduli dengan emisi gas buang kendaraan yang ramah lingkungan. Namun, bukan hanya Eropa saja yang menetapkan standar emisi kendaraan. Amerika dan Jepang juga memiliki standar emisi tersendiri. Akan tetapi, rumusan yang ditetapkan Eropa dinilai lebih baik dan tepat untuk lingkungan serta mudah diaplikasikan. “Sistematis dan tahap-tahap pencapaiannya jelas,” kata Remigius Choerniadi Tomo (Manager Technical and Fuel Retail Marketing PT Pertamina)
Uni Eropa menetapkan standar emisi kendaraan pertama kali di tahun 1992 dengan nama Euro 1. Pada saat itu, mobil yang berbahan bakar bensin wajib menggunakan katalis. Hal sama berlaku untuk mobil diesel serta mobil berukuran kecil dan besar. Setelah itu standar emisi itu diperbaiki hingga menjadi Euro 6 pada 2014.
Lalu, apa untungnya menerapkan standar emisi seperti Euro 4 untuk kendaraan? Pertama, jelas lebih ramah lingkungan. Semakin tinggi standar Euro yang ditetapkan, semakin kecil batas kandungan gas CO2, NOx, CO, volatile hydro carbon (VHC), dan partikel lain yang berdampak negatif pada manusia ataupun lingkungan pada emisi mesin kendaraan.
Menetapkan standar emisi yang terbaru juga memberi keuntungan bagi produsen mobil terutama mobil-mobil Eropa. Selama ini produsen mobil menyesuaikan mesin kendaraan yang akan dijual di sebuah negara sesuai dengan standar emisi yang berlaku di negara tersebut. Sehingga produsen tidak perlu menyesuaikan kendaraan mereka apabila Indonesia (misalnya) telah mengikuti standar emisi terbaru.
Dengan menetapkan standar emisi Euro 4 dan 5 juga akan memiliki dampak pada pasar low emission vehicle. Apalagi kendaraan dengan emisi yang lebih rendah juga dikenal lebih hemat bahan bakar. Hemat dan ramah lingkungan menjadi sebuah paduan yang menguntungkan penggunanya.
Baca Juga : Hebat! Pria Asal Surabaya Ini Bisa Mengubah Sampah Plastik Jadi Bahan Bakar Minyak
Belum ada paksaan
Efek dari penerapan standar emisi tersebut adalah penyesuaian kualitas BBM. Contohnya, Euro 1 mengharuskan mesin berfungsi dengan bensin tanpa timbal. Sedangkan Euro 2 untuk mobil diesel harus menggunakan solar dengan kadar sulfur di bawah 500 parts per million (ppm). Tentu untuk Euro 4 kriterianya lebih ketat, yakni kadar sulfur di bawah 50 ppm.
Menindaklanjuti Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan standar dan mutu (spesifikasi) Bahan Bakar Minyak (BBM) setara standar Euro 4, melalui penyaluran bensin (gasoline) RON 98 yang dipasarkan di dalam negeri. Pertamina sebagai salah satu pemasok bahan bakar di Indonesia pun siap memasarkan bahan bakar setara Euro 4, yakni Pertamax Turbo. Salah satu penanda bahan bakar Euro 4 adalah kandungan sulfur maksimal 50 part per million (ppm).
“Untuk bensin, Pertamina sudah mempunyai kilang pengolahan bensin yang setara dengan Euro 4, tidak sama persis ya, sejak tahun 2017, di Balongan, Indramayu, Jawa Barat. (Tapi) kebutuhan akan bahan bakar setara Euro 4 di Indonesia itu masih sedikit. Banyak outlet SPBU kami yang penjualannya minim sekali. Padahal Pertamina sudah invest banyak untuk menambah outlet di seluruh Indonesia,” kata Remigius.
Diharapkan pemakaian bensin setara Euro 4 ini akan mulai naik karena mobil-mobil yang diproduksi di Indonesia, atau mobil-mobil yang masuk dan dipasarkan di Indoensia, mulai 10 Oktober 2018, khusus mesin bensin, emisi gas buangnya harus sudah mengikuti standar emisi gas buang setara Euro 4. Untuk mencapai tujuan itu, para perekayasa di pabrikan mobil tentu sudah merancang mesin kendaraan tadi agar mampu menghasilkan emisi gas buang sesuai dengan standar emisi setara Euro 4.
Tentu, kondisi ideal tadi akan tercapai jika pasokan bahan bakar yang masuk mesin – dan juga pelumasnya – sudah mengikuti standar Euro 4. Jika tidak, efektivitas mesin dalam menghasilkan emisi gas buang setara Euro 4 akan turun. Lebih parah lagi, seperti yang dikatakan instruktur senior Safety Defensive Consultant Indonesia (SDCI) Sony Susmana kepada Okezone.com, cepat atau lambat mesin akan rusak. Pada kendaraan mewah, kerusakan itu bisa dalam hitungan bulan. Sementara pada mobil-mobil murah, kerusakan bisa dalam hitungan tahun.
Akan tetapi kenyataan di lapangan bisa berbeda. Mobil-mobil dengan standar emisi Euro 4 masih banyak yang membeli bahan bakar dengan spesifikasi di bawah Euro 4. Hanya demi memperoleh selisih harga. Belum adanya “paksaan” untuk menggunakan bahan bakar yang sesuai melalui mekanisme warranty bisa jadi mereka melakukan hal itu.
“Saya belum melihat ada warranty yang mengaitkan antrara penggunaan bahan bakar dengan kerusakan mesin. Belum ada efek pemaksa bagi pemilik mobil untuk menggunakan bahan bakar Euro 4. Sehingga pemakai mobil ini sering abai. Harusnya ada mekanisme bagi pemakai mobil yang tidak menggunakan bahan bakar setara Euro 4 tidak akan mendapatkan warranty jika terjadi kerusakan mesin mobilnya,” jelas Remigius.
Jalan untuk meminimalkan polusi asap kendaraan nyatanya masih panjang membentang.