Intisari-Online.com – Indonesia kembali berduka.
Pada Sabtu (22/12/2018) malam terjadi tsunami di Selat Sunda dan menghantam sejumlah daerah seperti Banten dan Lampung.
Hingga hari ini, Selasa (25/12/2018), sudah 300 orang lebih dikabarkan tewas dan puluhan lainnya hilang.
Dilansir dari CNN pada Selasa (25/12/2018), ratusan korban tersebut meninggal ketika tsunami melanda dan tidak ada tempat berlindung di dekatnya.
Baca Juga : Selamat dari Tsunami Banten, 29 Orang Ditemukan di Tengah Lautan dan 1 Orang di Tengah Pulau
Sederhananya, mereka tidak tahu gelombang setinggi 0,9 meter tersebut akan datang.
Jika sejumlah tsunami lainnya terjadi karena gempa bumi, seperti di Aceh 2004 dan Palu – Donggala September 2018, kali ini diduga dari gunung berapi Anak Krakatau.
CNN menjelaskan bahwa Indonesia belum memiliki sistem peringatan dini yang efektif selama bertahun-tahun.
Tulisan CNN bukannya tanpa alasan, sebab warga Indonesia masih ingat tsunami yang melanda pulau Sulawesi pada Jumat (29/9/2018) lalu.
Saat itu, lebih dari 2.000 orang tewas setelah tsunami dan gempa bumi melanda Palu dan Donggala, Sulawesi Barat.
Semua korban mengatakan mereka tidak sadar bahwa setelah gempa, tsunami akan datang.
Sama halnya seperti bulan Juli dan Agustus, serangkaian gempa bumi melanda wilayah Lombok utara, memicu tanah longsor dan bangunan runtuh yang menewaskan lebih dari 400 orang.
Pada hari Senin (24/12/2018), Presiden Indonesia Joko Widodo memerintahkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geologi (BMKG) untuk membeli detektor tsunami yang dapat memberikan peringatan dini kepada masyarakat.
Jokowi, panggilan akrabnya, mengklaim tsunami yang melanda akhir pekan berada di luar kemampuan Indonesia untuk memprediksi.
"Biasanya itu didahului oleh gempa bumi. Itu sebabnya penduduk dan pengunjung di pantai Carita, Labuan, dan pantai Tanjung Lesung dan Sumur (daerah yang kena tsunami Banten) tidak siap untuk melarikan diri," kata Jokowi.
Penulis | : | Mentari DP |
Editor | : | Tatik Ariyani |
KOMENTAR