Advertorial
Intisari-Online.com - Mayjen Soeharto dilantik menjadi Panglima Mandala pada bulan Februari 1962 dan bertepatan dengan kandungan Ibu Tien Soeharto yang memasuki usia tiga bulan.
Saat itu Ibu Tien memang sedang mengandung anak yang kelima.
Sebulan sebelumnya Soeharto diangkat menjadi Deputi Wilayah Indonesia Timur menggantikan Mayjen Ahmad Yani.
Sebagai Panglima Mandala, ia harus menjalankan mandat Trikora yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno.
Baca Juga : Korowai, Suku di Pedalaman Papua yang Masih Doyan Makan Daging Manusia
Salah satu isi mandat itu adalah pengibaran Sang Merah Putih paling lambat 17 Agustus 1962 di tanah Irian Barat (Papua).
Berarti Sang Panglima hanya mempunyai waktu tujuh bulan untuk mengegolkan tujuan itu dan pada bulan ketujuh itu dipastikan Ibu Tien sudah melahirkan.
“Masya Allah,” begitu komentar Soeharto waktu itu.
Tapi memimpin operasi tempur sesungguhnya bukan merupakan hal yang baru bagi jenderal yang di masa mudanya sudah kenyang dengan dunia pertempuran ini.
Baca Juga : Fakta Egianus Kogoya, Pimpinan Kelompok Bersenjata Pembantai 31 Pekerja BUMN di Trans Papua
Selain pernah menjadi anggota KNIL dan HEIHO selama revolusi kemerdekaan, Soeharto juga perah memimpin pertempuran dalam Palagan Ambarawa dan Serangan Oemoem 1 Maret di Yogyakarta.
Berkat pengalaman tempur itu, Soeharto pun segera menyusun rencara operasi militer ke Irian Barat.
Soeharto lalu menyusun tiga rencana sekaligus yang kemudian disatukan.
Yaitu menyusun pasukan gabungan, membangun pangkalan, dan mempelajari medan yang akan digunakan untuk persiapan maupun untuk pertempuran.
Sebagai tambahan, ia juga mempelajari kekuatan Belanda.
Soeharto beranggapan perang akan berlangsung lama sehingga perlu dibentuk kawasan perang (battle field) untuk pembebasan Irian.
Sebagai mantan anggota KNIL dan pernah bertempur melawan pasukan Belanda selama Perang Kemerdekaan, Soeharto paham kali ini kekuatan militer Belanda pasti jauh lebih kuat dan pintar.
Apalagi militer Belanda yang berada di Irian Barat sering melakukan latihan perang secara rutin dengan NATO.
Baca Juga : Ada di Tengah Hutan Papua, Begitu Canggih dan Mewahnya Kota Kuala Kencana Milik PT Freeport
Latihan perang bersama itu yang jelas telah menjadikan kekuatan laut dan udara yang dimiliki oleh Belanda jauh lebih tangguh.
Pengalaman tenggelamnya kapal perang RI Matjan Toetoel di laut Aru akibat serangan kapal perang dan pesawat tempur Belanda membuat operasi militer yang dipimpin oleh Soeharto menjadi bersiko tinggi (high risk).
Dalam benak Soeharto, taktik operasi ini harus didahului oleh serangan infiltrasi melalui laut dan udara.
Pasukan yang harus diterjunkan dalam infiltrasi dipilih oleh Soeharto dari kesatuann-kesatuan khusus yang selama ini telah berpegalaman dalam menumpas aksi pemberontakan di tanah air seperti PRRI/PERMESTA dan pemberontakan di kawasan Sumatera.
Taktik mendaratkan pasukan secara diam-diam dan kemudian melancarkan pegintaian dan perang gerilya itu bertujuan untuk menarik perhatian Belanda sehingga mengerahkan pasukan intinya untuk menyambut infiltran itu.
Soeharto yakin berkat kemampuan pasukan khusus seperti RPKAD dan PGT (Pasukan Gerak Tjepat) AURI, Belanda akan mengerahkan ribuan pasukan untuk menghadapinya.
Ribuan pasukan yang berhasil diikat itu membuat konsentrasi kekuatan pasukan Belanda terpecah dalam waktu yang cukup lama.
Dengan demikian Belanda akan meninggalkan posisi lowong pertahanan di kota-kota, utamanya seperti Biak dan Holandia (Jayapura).
Baca Juga : Kronologi Pembantaian 31 Pekerja PT Iskara di Trans Papua Oleh OPM, Jenazah Belum Bisa Diambil
Soeharto sempat dicemooh ketika menggunakan pasukan terbaiknya dari RPKAD, PGT dan RAIDER PARA sebagai infiltrant.
Namun ia berkeras dan sekali lagi menegaskan bahwa pasukan khusus tersebut bisa bertempur dalam kondisi ektrem dan mengikat pasukan musuh untuk waktu lama di tempat-tempat yang terpisah.
Soeharto sebenarnya pernah diperintahkan utuk mengebom sebuah kapal Belanda demi sebuah misi politik oleh Mohammad Yamin dann Presiden Soekarno.
Namun Soeharto menolak karena hal itu bisa meningkatkan kewaspadaan Belanda dan membuat siasat perangnya kocar-kacir.
Kemugkinan besar kapal perang yang menjadi target untuk ditenggelamkan adalah kapal induk HNLMS Karel Doorman.
Pesawat khusus untuk menghantam Karel Doorman, yakni enam Tu-16/KS memang telah disiapkan.
Tapi selama melaksanakan terbang patroli, pesawat-pesawat tempur pengintai AURI belum pernah menemukan Karel Doorman saat berlayar hingga konflik Irian Barat usai.
Akibatnya armada Tu-16/KS pun gagal menenggelamkan Karel Doorman.
Sebagai pukulan penutup, Soeharto menyiapkan operasi amfibi gabungan yang diberi nama Operasi Djajawidjaja.
Sasaran utama operasi ini adalah Biak yang merupakan jantung pertahanan Belanda.
Jika Operasi Djajawidjaja berhhasil digelar, ini akan merupakan operasi pendaratan amfibi besar-besaran dan sekaligus perang besar yag berlarut-larut.
Korban besar pun diperkirakan akan jatuh mengingat Pantai Biak dipertahankan oleh marinir Belanda yag sudah memiliki pengalaman tempur.
Pukulan terakhir ini harus benar-benar berhasil dan telak karena, ujar Soeharto, “Kita tidak punya pasukan cadagan lagi!”
Soeharto mengharapkan tanggal 12 Agustus 1962. Biak sudah harus bisa dikuasai.
Untuk itu ia menghitung mundur mulai H-8 demi menggerakkan seluruh pasukannya menuju tempat rendezvouz di Teluk Peleng, Kepulauan Banggai.
Soeharto sendiri ikut berlayar bersama kapal patroli milik Kepolisian RI.
Jika serangan itu jadi dilaksanakan, Soeharto berandai-andai akan seperti pertempuran saat Jepang menggempur Rusia di Wladiwostok tahun 1904.
Saat itu Jepang mendapat kemenangan gilang-gemilang dan menjadi bangsa Asia pertama yang berhasil mengalahkan bangsa Eropa dalam perang modern.
Baca Juga : Sadis! 31 Pekerja BUMN Dibunuh Karena Ambil Foto Tentara Pembebasan Papua Saat Upacara
Namun serangan itu tidak jadi dilaksanakan karena situasi politik yang semakin kondusif bagi Indonesia.
Akhirnya penyelesaian dengan jalan politik menjadi pilihan.
Bagi keluarga Soeharto, saat-saat persiapan mnggempur Belanda di Irian itu juga membawa berkah tersendiri karena usia kandung Ibu Tien yang makin tua.
Tanggal 15 Juli 1962, Ibu Tien Soeharto melahirkan anak kelima mereka yang kemudian diberi nama Hutomo Mandala Putra.
Keberhasilan Soeharto sebagai Panglima Mandala juga berpengaruh besar pada karier militernya.
Tak lama kemudian Soeharto menjabat sebagai Pangkostrad dan berperan besar dalam penumpasan G-30-S-PKI.
(Agustinus Winardi)
Baca Juga : Hebat, Sri Mulyani Berhasil Selamatkan Uang Negara Rp1,2 Triliun dari Tommy Soeharto