Advertorial
Intisari-Online.com – Para penonton atau pemeriah acara di berbagai program televisi tidak datang dengan sendirinya. Mereka dikelola koordinator profesional yang mencari nafkah dengan mengumpulkan orang.
Pernah menonton acara Dahsyat di layar kaca? Salah satu program andalan RCTI tersebut punya ciri khas, bintang tamu yang beraksi selalu dikelilingi para penonton. Mereka berpolah laiknya pemandu sorak. Berjoget-joget dan sesekali ikut menyanyi.
Beragam program acara dari berbagai stasiun televisi juga punya ciri sama. Mereka kerap mengandalkan pemandu sorak untuk memeriahkan acara.
Ada banyak sebutan bagi mereka yang khusus datang ke stasiun televisi untuk menjadi penonton lalu dibayar. Alay, audiens, atau crowd.
(Baca juga: Genius! Ayah Ini Dapat Ide Unik Agar Anaknya Mau Menyusu dan Tidak Rewel Saat Ditinggal Ibunya)
Tugas para penonton tersebut adalah mengikuti skenario yang sudah tersedia. Kadang-kadang hanya duduk manis mendengarkan pengisi acara. Atau, berjoget- joget dengan koreografi seragam. Sampai, kalau dibutuhkan, harus mau berteriak histeris untuk meramaikan acara.
Tak disangka, hal itu menjadi ladang pekerjaan baru. Selain bagi para pemandu sorak bayaran itu, juga untuk para pengelola jasa penyediaan penonton.
Agensi, biasa mereka disebut, bertugas menyediakan sumber daya manusia untuk berbagai genre program televisi, mulai dari acara pengajian, acara musik, acara realitas, hingga gelar wicara.
Sebenarnya ini bukan bisnis baru. Sejak stasiun televisi swasta mengudara di langit Indonesia, mereka mulai bermunculan.
Pada 2004 semakin marak dan terus menancapkan kukunya hingga saat ini. Maklum saja, meski kurang terpikirkan, bisnis ini ternyata menjanjikan keuntungan yang lumayan.
Dulunya juga penonton
Orang yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan para penonton ini disebut koordinator penonton. Pihak televisi biasanya hanya berhubungan dengan sang koordinator untuk memastikan ketersediaan penonton.
(Baca juga: Operasi Bertram: ketika Pasukan Inggris Melakukan Tipuan Perang untuk Mengecoh Nazi Jerman di Front Afrika)
Para koordinator, yang biasanya juga pemilik agensi, rata-rata mengawali karier sebagai penonton.
Seperti cerita Harsono Wahyudi, pemilik Harsono Management, yang kini memegang salah satunya adalah program Dahsyat. Mas Har awalnya menjadi penonton program Ngelaba-nya grup komedi Patrio di TPI (sekarang MNC) bersama Budi Anduk, Kiwil, Azis Gagap, dan Daus Sembako.
“Bedanya sekarang, mereka udah pada jadi di depan layar. Saya juga jadi, tapi di belakang layar lanjut ngurusin penonton,” katanya.
Rina Putri yang kini memiliki agensi bernama Herina Agency juga punya cerita serupa. Dia adalah penonton, salah satunya di program Realigi TransTV. Lama-lama Rina berpikir,
“Mengumpulkan orang untuk jadi penonton ini ternyata bisa jadi pekerjaan, ya.” Maka, dia membuat agensi dan kini sedang memegang program Kata Hati.
Proyek pertama Mas Har adalah program Kupas Masalah Islam Remaja pada 2004. Saat itu, dia langsung mendapat order menyediakan 150 orang. Sementara itu, order pertama Rina lebih sedikit yakni hanya mengumpulkan sekitar 10 orang.
Dari RT sampai ke mal
Segenap penjuru kota dijelajahi para koordinator penonton untuk mencari massa. Tempat pertama jelas lingkungan terdekat, yaitu sekitar rumah tinggal. Pola para koordinator ini ternyata sama, yakni mendatangi ketua Rukun Tetangga (RT) setempat.
Ketika permintaan semakin banyak, mereka punya cara lain untuk mengumpulkan orang. Contohnya, mendatangi sekolah jika yang dibutuhkan anak sekolah, atau ke majelis pengajian jika yang dibutuhkan ibu-ibu.
Ketika diminta mendapatkan penonton remaja, pada awal bisnis, Rina sempat bingung. Dia kemudian memutuskan ke mal.
“Mereka banyak yang mau, tapi banyak yang kabur satu-satu. Dikira saya mau jual orang,” cerita Rina. Namun, seiring waktu, para agensi ini tidak lagi mengalami kesulitan, termasuk ketika mendapat order permintaan berjumlah ribuan.
Kunci suksesnya adalah memperluas pergaulan. Pada akhirnya, ketika pergaulan sudah luas dan relasi terjalin, kerja sama dengan penyedia massa berskala lebih kecil bisa lebih mudah.
Penyedia massa berskala kecil yang tersebar di berbagai daerah ini biasanya disebut sebagai koordinator lapangan (korlap). Sejak dulu sudah marak, tapi karena tidak ada koneksi jadi sulit berkembang.
Kini korlap-korlap tersebut telah bekerja sama dengan agensi yang lebih besar. “Misalnya, di Kedoya, ada Ibu Sofi. Di Bekasi, ada ibu ini. Di Cileduk, ada lagi siapa. Ya, yang penting saling menguntungkan saja,“ terang Mas Har.
Tidak ada standar khusus dalam merekrut para pemeriah acara. Semuanya serba standar. Hanya saja, setidaknya cukup ekspresif, enak dipandang, mudah beradaptasi dengan segmen acara, dan profesional.
Kriteria lebih spesifik justru datang dari pihak televisi. Lain genre program, lain pula jenis penontonnya. Misalnya, Pesbukers di ANTV membutuhkan penonton yang ramai dan bisa diajak berbalas-balasan lelucon dengan pengisi acara.
Mel’s Update lebih membutuhkan audiens yang berpenampilan menarik. Atau, Mantap membutuhkan remaja bersemangat.
Mereka bekerja dan dibayar. “Kadang-kadang kita dapat cemoohan. Alay disebutnya. Sebutan alay‚ ’kan jadi momok sekarang. Akhirnya saya bilang, ‘Jangan takut dipanggil alay. Itu hanya ejekan buat ngata-ngatain orang. Yang penting kita betul-betul kerja, cari makan, buat bantu orangtua, buat sekolah.’ Akhirnya, mereka bersemangat lagi,” ucap Mas Har.
Jangan salah sangka, pola kerja para pemeriah acara ini juga profesional. Pembagian honor berdasarkan kelas. “Misalnya, kalau Rp20 ribu, biasa saja. Kalau kelas B Rp50 ribu, yang lebih bagus penampilannya. Kalau eksklusif, ibu-ibu arisan, atau anak-anak yang cantik seperti figuran, kelasnyabeda lagi. Kira-kira Rp75 ribu- Rp100 ribu,” urai Mas Har.
Sementara, Yasmin Sanad Manajer Corporate Communication ANTV, menunjuk angka, “Budget sekitar Rp30 ribu-Rp75 ribu, tergantung kelas.”
Cukup untuk hidup
Dari waktu ke waktu, bukannya menyusut, jumlah agensi yang ada justru bertambah banyak. Setidaknya hal itu membuktikan bahwa ladang pengelolaan pemeriah acara bisa untuk sandaran hidup. Padahal, dulu, Mas Har sempat ragu untuk menyeriusi usahanya.
Untunglah, teman-temannya yang lebih dulu sukses di bidang hiburan, seperti Akrie, Parto, dan Eko Patrio tak pernah berhenti menyemangatinya.
“Udah, loe bisa hidup di sini. Banyak kerjaan, kok. Tapi jangan kaki satu. Loe harus nyemplung, mengabdi, dan loyal,” kata Mas Har menirukan ucapan salah satu personel Patrio.
Seperti juga pekerjaan-pekerjaan lain, kunci utama menggeluti bidang ini adalah kemauan bekerja keras. “Kerja keras dulu, setelah itu baru bisa dinikmati hasilnya,” tegas Mas Har.
Setali tiga uang dengan Rina. Baginya, pekerjaan ini jauh lebih menjanjikan daripada sekadar hanya jadi penonton.
Sampai kapan profesi ini akan ada? Rasanya, selama masih ada banyak stasiun televisi yang membutuhkan penonton untuk meramaikan program mereka, profesi ini masih akan terus hidup.
“Selama masih ada permintaan dari pihak TV, saya sih bakal terus kerja begini,” kata Mas Har santai.
Dari alay bisa jadi artis
Jarang ada yang menduga bahwa profesi sebagai penonton bayaran juga memiliki jenjang karier. Kemungkinan untuk “naik kelas” itu ada. Asal, si penonton rajin, disiplin, dan profesional.
Seperti Ponima Sari. Awalnya, dia sekadar penonton, mengikuti banyak acara di bawah Harsono Management. Namun, kini posisinya adalah motor penggerak para penonton Dahsyat. Sari sendiri lebih senang menyebut dirinya leader.
Setiap agensi pasti memiliki motor penggerak. Tugas mereka adalah menggerakkan penonton untuk lebih ramai, ekspresif, dan bersemangat.
Dari motor penggerak, mereka punya kesempatan untuk menjadi pelawak, figuran sinetron, hingga model iklan. Itu pun jika tidak menyia-nyiakan kesempatan casting di mana-mana.
Sari mengakui, berkat Dahsyat, dia bisa kenal dengan Olga Syahputra. Dari kenal-kenal itu, dia sering diajak syuting untuk program pribadi Olga, Catatan Si Olga di ANTV.
(Ditulis oleh: Astri Apriyani dan Rusman Nurjaman. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari Extra Profesi 2012)
(Baca juga: Inilah 5 Kasus Perceraian yang Paling Aneh di Dunia, Salah Satunya Bercerai Karena Burung Beo)