Advertorial
Intisari-Online.com -Sejarah Prancis dalam Perang Dunia II tidak bisa dilepaskan dari sosok legendaris sekaligus kontroversial Henri Philippe Petain.
Dilahirkan pada 24 April 1856 di Pas de Calais sebagai anak seorang petani, Petain akhirnya lulus dari Akademi Militer Saint-Cyr yang terkenal.
Dia pertama kali ditugaskan pada pasukan yang baru dibentuk bernama chasseurs alpins.
Tapi karier awalnya bertumbuh lamban.
Sewaktu menjadi instruktur pada sekolah peperangan Ecole de Guerre, Petain baru memperoleh perhatian.
(Baca juga:Gara-gara Telat Lakukan Ini, Puluhan Ribu Pasukan Jepang Mati Sia-sia saat Perang Dunia II)
Teorinya mengenai dampak daya tembak sejalan dengan konsep mengenai serangan total yang dikenal degan all out attack.
Sewaktu perang pecah, ia berpangkat kolonel dan memimpin resimen ke-33.
Di medan perang ia menunjukkan kehebatannya dan mendapat pangkat brigjen pada akhir Agustus 1914.
Suksesnya dalam berbagai pertempuran terus melejitkan kariernya sebagai panglima lapangan.
Petain hampir saja berhasil mendobrak pertahanan terkuat Jerman di Vimy Ridge pada Mei 1915 ketika serangan Jerman yang dipimpin Falkenhayn menunjukkan tanda akan merebut kota-benteng Verdun.
Ia menilai situasinya memang serius namun belum kritis. “Ils nepasseront pas!”. Mereka tidak boleh lewat!
Itu adalah kata-kata Petain yang terkenal yang ditujukan untuk Jerman.
Sekalipun dalam keadaan sedang sakit, dia mampu membuat sistem logistik yang amat menentukan bagi pertahanan di kawasan Verdun.
Sistem logistik dengan kendaraan bermotor ini kemudian dikenal sebagai la voie sacre alias jalanan yang suci.
Berkat ketenangannya dalam memimpin, Petain berhasil menyatukan kekuatan dan semangat pasukan Prancis.
Sehingga meskipun korbannya besar, mereka tetap mampu bertahan, bahkan menggagalkan serangan besar Jerman tersebut.
Karena itulah Petain dihormati sebagai Pahlawan Verdun.
Ia kemudian menjadi Panglima Tentara Prancis menggantikan Jenderal Foch yang diangkat sebagai Panglima Sekutu pada Maret 1918.
Dalam masa-masa akhir perang, peranan Petain semakin penting di front barat.
Seusai perang, ia diangkat sebagai Marsekal Prancis atas jasa-jasanya dan menduduki beberapa jabatan publik, seperti Menteri Peperangan dan Dubes di Spanyol.
Tatkala Perang Dunia II pecah, Marsekal Petain dipanggil pulang dari Madrid. Ia diminta membentuk pemerintahan baru Prancis pada Mei 1940.
Petain yang sudah berusia 84 tahun harus melakukan negosiasi dengan pasukan penyerbu Jerman dan Italia.
Karena sudah uzur dan mulai pikun, Petain mungkin tidak tahu bahwa posisinya hanyalah sebagai “pemerintahan boneka”.
Akibatnya dirinya dianggap sebagai kolaborator Jerman, apalagi sesudah ibukota Vichy juga diduduki Jerman pada November 1942.
Sesudah PD II selesai, Petain diadili dan dihukum mati dengan tuduhan ‘penghianatan’.
Akan tetapi oleh Jenderal Charles de Gaulle, bawahannya di Verdun, hukumannya diubah menjadi seumur hidup.
Marsekal Petain meninggal di sebuah vila di Port-Joinville pada 23 Juli 1951 dalam usia 97 tahun.
(Baca juga:Demi Tembak Seorang Jenderal Vietcong, Sniper Ini Merayap Sejauh 2,5 Km Selama 4 Hari)