Advertorial
Intisari-online.com - Haji Omar Said Tjokroaminoto pernah diundang memberikan amanat pada rapat dokter-dokter Jawa di Surabaya. Rapat untuk memprotes diskriminasi pemerintah kolonial. Dokter Jawa gajinya kalah besar dengan mantri jururawat Belanda.
Hadir juga dalam rapat tersebut polisi-polisi PID dan dokter Tarn, direktur Rumah Sakit CBZ Surabaya.
Giliran Pak Tjokroaminoto tiba. la naik mimbar dengan "... muka seperti singa, mata kanannya tidak berhenti berkejap-kejap, menandakan penuh buah pikiran dan isi dada yang hendak dilahirkan."
Hadirin menyambut riuh, rakyat di luar bergemuruh. Lalu sunyi, semua orang menahan napas. Apa yang hendak diamanatkan oleh pemimpin rakyat tersebut?
BACA JUGA:Inilah Gustave, si 'Monster' Buaya Raksasa Pembunuh 300 Manusia di Burundi
"Kalau tuntutan Saudara-saudara dokter Jawa bangsa kita yang saya pandang adil itu tidak dikabulkan oleh pemerintah, maka saya nasehatkan kepada Saudara-saudara dokter bangsa kita, supaya serentak meletakkan jabatannya sebagai budak yang tak berharga. Terjunlah di kalangan masyarakat, pimpinlah rakyat di desa-desa dan terimalah menjadi "dukun" rakyat dengan pembayaran setalenan tiap-tiap pasien.... Terjunlah jadi dukunnya rakyat kaum tani di desa-desa."
Hadirin bersorak menyambut sambil bertepuk tangan riuh dan berteriak, "Betul, betul, jadi dukun saja Mas Dokter, jangan khawatir kelaparan." Amanat Pak Tjokro tersebut sekaligus menunjukkan kepribadiannya. Cinta rakyat, anti penindasan dan berani blak-blakan.
Dan kata-kata itu diucapkan dengan suara baritonnya yang menurut F. Dahler, seorang tokoh Indische Partij, "membuat ribuan pendengarnya menjadi keranjingan, nggandul (bergantung) pada bibirnya, yakin dan bergelora hatinya."
Sosok Tjokroaminoto memang menarik. Tampangnya tinggi bregas (tangkas agak kasar). Kedua matanya terletak agak dalam, menerobos ke lubuk hati kalau sedang memandang. Dahinya lebar, bibirnya terkatup tebal dan keras. Kulitnya kuning.
Semakin mengkaji riwayat hidup tokoh nasional tersebut, semakin tampak kebenaran kata-kata Bung Karno, "Terutama sekali Tjokroaminoto termasuklah salah seorang guru saya yang amat saya hormati. Kepribadiannya menarik saya dan Islamismenya menarik saya pula, oleh karena tidak sempit."
H.O.S. Tjokroaminoto keturunan Kyai Ponorogo yang terkenal karena kealiman dan pesantrennya, yang kemudian kawin dengan seorang putri Sunan Paku Buwono II dari Surakarta. Ayahnya, Raden Mas Tjokroamiseno, Wedana Kleco, Madiun. H.O.S. putra kedua, saudaranya semua ada sebelas.
BACA JUGA:Misteri Janda Perawan Bung Karno
la lahir bersamaan dengan meletusnya Gunung Krakatau tanggal 16 Agustus 1883. Waktu kecil ia terkenal nakal. Adik-adik dan kawan-kawannya disuruh masuk ke dalam kurungan ayam atau ditunggangi sebagai kuda.
Sejak di sekolah dasar ia sudah jago berkelahi, kegemarannya main keroyok melawan anak-anak sekolah lain. Karena nakal, sering dikeluarkan dari sekolah. Tetapi berhasil juga ia menamatkan sekolah pangreh praja OSVIA sampai bagian II. Sebentar ia bekerja sebagai jura tulis Patih Ngawi, lalu merantau ke Surabaya. Ia bekerja pada Firma Kooy & Co, sambil belajar di HBS sore dan sejak waktu itu ikut dalam pergerakan Boedi Oetomo. Perkawinannya dengan Raden Ajeng Suharsikin, putri Patih Ponorogo, pada mulanya tak berhasil memberikan ketenangan jiwa. H.O.S. sering meninggalkan istrinya. Ini menimbulkan bentrokan dengan mertuanya, sehingga H.O.S. terpaksa pindah dari rumah mertuanya dengan meninggalkan istrinya yang sedang mengandung.
Ayah Suharsikin sampai pada keputusasaan. Putrinya harus cerai dari suami yang "... tak bertanggung jawab, tak keruan gerak hidupnya." Jawab putrinya, "Baik, saya taat. Tetapi seumur hidup saya tak mau lagi kawin. Karena dunia dan akhirat suami anakmu hanya Mas Tjokro semata."
Mencari H.O.S. pada waktu itu memang tidak mudah. Ia menjadi buruh Pelabuhan Semarang, mengembara mencari guru agama, bahkan juga bertapa di dalam gua. Setelah anaknya yang pertama lahir, seorang putri, baru dia kembali pada istrinya, yang diboyongnya pindah ke Surabaya.
Tentang istri yang setia tersebut, Bung Karno pernah menulis, "Pada saat saya menyatakan hormat dan terima kasih kepada Tjokroaminoto, saya tak mau melupakan Ibu Tjokro yaitu istri Pak Tjokro, seorang wanita yang sungguh luas hati dan luhur budi. Beliau pun meninggalkan kesan yang dalam di kalbu saya."
BACA JUGA:7 Desa Ini Tersembunyi di Tempat yang Tak Terbayangkan, Salah Satunya Ada di Kawah Gunung Berapi
Bung Karno menikah dengan Siti Oetari, putri sulung Tjokroaminoto. Perkawinan yang tidak berlangsung lama. Mereka kemudian bercerai setelah Bung Karno meninggalkan Surabaya untuk melanjutkan studi ke Bandung.
Enam tahun Bung Karno diasuh oleh Bu Tjokro yang menerima pelajar-pelajar HBS menumpang di rumahnya, sehingga rumah tersebut terkenal menjadi semacam asrama, Internat Suharsikin. Bung Karno, Drs. Hermen Kartowisastro, Dr. Sampurno, Alimin, Muso, Abikusno, semuanya lama tinggal di internat tersebut.
Bu Tjokro mengerti perjuangan suaminya dan membantu sepenuhnya antara lain dengan berdiri menyelenggarakan rumah tangga sendiri. Karena dari seorang pejuang seperti suaminya, tidak banyak yang dapat diharapkan di bidang materi.
Tiga orang utusan Sarekat Islam dari Solo pada bulan Mei 1912 bertamu ke rumah Pak Tjokro di Surabaya. Mereka mengadakan pembicaraan mendalam tentang program organisasi. Pak Tjokro tertarik akan sifat kerakyatannya, "... mengangkat derajat rakyat agar menimbulkan kemakmuran, kesejahteraan dan kebesaran negeri."
Apalagi jiwa penggeraknya adalah api Islam yang menjala di dada rakyat. Kontan Pak Tjokro menyanggupi. Dalam waktu hanya dua bulan Sarekat Islam Surabaya sudah beranggotakan lebih dari 2.000 orang.
Untuk pertama kalinya Pak Tjokro tampil di depan umum pada Kongres Sarekat Islam I di Kebun Raya Surabaya yang dihadiri oleh ribuan orang. Pimpinan Kongres diserahkan kepada Tjokroaminoto.
Dengan tampangnya yang bregas, pandangan matanya yang tajam, bibirnya yang mengatupkan kemauan keras dan keahliannya berpidato, dia adalah benar-benar pemimpin rakyat yang diharapkan. Di depan ribuan rakyat tersebut dia berkata," Apabila rakyat sudah bangun dari tidurnya, tidaklah ada sesuatu yang dapat menghadapi pergerakannya."
Hal ini juga diakui oleh pihak Belanda. Tentang Kongres Sarekat Islam pertama itu, Encyclopedie van Nederlands Indie menulis:
"Kongres SI pertama ini adalah sebagai suatu wahyu bagi pergaulanhidup di Hindia. Pemuka-pemuka perhimpunan sedang menempatkan dirinya di antara pemerintah dan anak negeri, menurunkan derajat kebesaran pemerintah untuk menetapkan kebesarannya sendiri. Mereka mulai sadar akan tali perhubungan antara mereka itu bersama."
"The Uncrowned King of Java", raja Jawa tanpa mahkota telah lahir.
Tjokroaminoto pada bulan Maret 1913 terpilih menjadi Ketua Sarekat Islam dalam Kongres II di Solo.SI benar-benar pergerakan rakyat. Unsur nasionalisme, Islamdan kemudian marxisme masuk ke dalamnya.
Tokoh-tokoh seperti Semaun, Darsono, Tan Malaka pernah menjadi anggota Sarekat Islam. Tetapi kemudian terpaksa keluar, karena SI melarang keanggotaan rangkap. Ketiga pemuka tersebut di samping menjadi anggota SI juga anggota Indische Sociaal Democratische Vereniging yang kemudian berubah jadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Birnie adalah seorang Belanda, pengusaha perkebunan. Sehabis mendengarkan pidato Tjokroaminoto dan Abdul Muis dalam Volksraad, dia tertegun dan langsung bertanya, "Zijn ze werkelijk Javanenl" - Benarkah mereka itu orang-orang Jawa?
BACA JUGA:Jalan Sunyi Jenderal Hoegeng, Jalannya Para Pemberani
Bukan hanya lincah danberwibawa dalam suara, tetapi revolusioner dalam isi. Sebab tahun 1918 Tjokroaminoto berpidato di sidang Voksraad, "Jika pemerintah tidak hendak mengindahkan segala tuntutan itu dalam waktu lima tahun, maka Sarekat Islam sendiri yang kelak akan melaksanakannya."
Yang dituntut adalah perubahan Volksraad menjadi perwakilan rakyat yang sebenar-benarnya. Bersama-sama Boedi Oetomo, Insulinde, ISDP, Pak Tjokro membentuk Radicale Concentratie, penyusunan kekuatan bersama untuk memaksakan kehendak.
Dan ketika kehendaknya tak dipenuhi karena pemerintah kolonial tidak melaksanakan November Belofte, Pak Tjokro menyatakan keluar dari Volksraad. (JakobOetama)
BACA JUGA:Inggit Garnasih, Kartini Terlupakan Di Belakang Soekarno