Advertorial
Intisari-Online.com -Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Kemaritiman pada 14 Juli 2017 yang lalu mengumumkan mulai diterbitkannya peta baru NKRI.
Ada beberapa perubahan pada peta tersebut, menyusul telah disepakatinya beberapa persetujuan batas wilayah dengan negara-negara tetangga.
Di peta terbaru itu tampak wilayah Indonesia terkesan semakin meluas.
(Baca juga:Peta Matematika Ini Membuktikan bahwa Semua Teori Matematika Benar-benar Bisa Dipraktikkan)
(Baca juga:Peta Dunia yang Selama Ini Kita Gunakan Ternyata 'Bohong')
Pertambahan luasnya wilayah Indonesia khususnya di kawasan perairan jelas menguntungkan. Pasalnya potensi sumber daya laut yang dieksplorasi seperti ikan dan minyak juga bertambah.
Peta baru NKRI itu juga menunjukkan bahwa semangat untuk menjaga pulau-pulau terluar yang sesungguhnya merupakan pulau terdepan menjadi lebih serius.
Tapi penambahan luas NKRI berdasar peta yang baru juga akan menimbulkan tantangan ke depan terutama dari sisi keamanan.
Sejak China berdasarkan latar belakang historis mengklaim jalur perairan di kawasan Laut China Selatan (LCS) sebagai wilayahnya maka sengketa di LCS pun langsung pecah.
Selain memicu konflik dengan negara-negara di kawasan Asia-Pasifik, klaim China atas LCS juga akan memicu konflik dengan Indonesia terkait Laut Natuna yang kini diberi nama Laut Natuna Utara.
Sebelumnya Laut Natuna yang merupakan jalur dari LCS telah diklaim China sebagai wilayahya. Kini dengan penambahan luas di Laut Natuna yang menjadi milik Indonesia, China dipastikan tidak akan tinggal diam.
Perluasan wilayah NKRI sesuai peta yang baru memang harus segera diikuti oleh kekuatan militer untuk menjaganya. Setiap hari harus ada patroli rutin secara terpadu menggunakan pesawat-pesawat militer dan kapal-kapal perang.
Tujuan patroli itu selain untuk menjaga wilayah terdepan NKRI dari pelanggaran batas wilayah juga untuk mencegah aksi penangkapan ikan dan penambangan minyak secara ilegal.
Dalam patroli perbatasan wilayah laut misalnya, kapal-kapal Indonesia secara rutin harus melakukan patroli bersama dengan kapal-kapal perang negara tetangga.
Jumlah kapal perang yang sedang melakukan patroli perbatasan ada aturan tersendiri. Misalnya jika Malaysia menurunkan dua kapal perang untuk patroli maka Indonesia juga harus menurunkan dua kapal perang dan mereka harus melakukan patroli secara terkoordinasi.
(Baca juga:Bahaya, Beginilah Cara Pesawat Asing Masuk Wilayah Indonesia Tanpa Ketahuan)
(Baca juga:Pemberontakkan PRRI, Peperangan Berdarah yang Berakhir dengan Pengampunan Demi Utuhnya NKRI)
Jika kapal-kapal perang RI kerap absen saat patroli maka karena kapal-kapal perang Malaysia yang justru sering patroli, mereka lama-kelamaan bisa mengklaim pulau terdepan RI sebagai wilayahnya.
Kejadian pengklaiman pulau terdepan NKRI oleh Malaysia gara-gara ketidakmampuan NKRI menjaga pulau terdepannya sudah terjadi, yakni hilangnya pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia.
Jadi intinya penambahan luas wilayah NKRI berdasar peta terbaru sangat menguntungkaan.
Tapi jika NKRI tidak bisa menjaga wilayah-wilayah terdepan menggunakan pesawat-pesawat TNI AU dan kapal-kapal perang TNI AL yang harus hadir selama 24 jam, maka hasilnya malah bukan untung tapi buntung.
Maka peningkatkan jumlah pesawat, kapal perang, pangkalan udara, pangakalan AL, pangkalan radar dan penambahan markas militer di wilayah perbatasan memang harus ditingkatkan.
Upaya itu memang sudah diusahakan oleh pemerintah RI seperti pembangunan pangkalan AL di Natuna yang kualifikasinya seperti AL AS (US Navy) di Pearl Harbour, Hawai.
US Navy memang bisa mengendalikan perairan di Asia-Pasifik dari Perl Harbour dan jika bisa ditiru oleh Indonesia akan menjadi langkah yang luar biasa.