Advertorial
Intisari-Online.com – John F. Kennedy (JFK) pemah bertanya kepada dokter pribadinya, Janet Travell, “Dalam seratus tahun terakhir, setiap presiden AS yang terpilih pada tahun yang habis dibagi 20 selalu meninggal di dalam tugas. Bagaimana, nih?”
Ternyata firasatnya benar. la dibunuh 25 tahun yang lalu.
Entahlah, apakah JFK sempat memikirkan kematian ketika pesawatnya mendarat di Dallas, Texas, pada tanggal 22 November 1961.
Bersama Jackie, Wakil Presiden Lyndon Johnson dan istri, ia ke sana untuk memperbaiki perpecahan dalam tubuh Partai Demokrat Texas.
(Baca juga:Ni Nengah Widiasih: Kalau Gagal, Ya, Coba Lagi! Kalau Jatuh, Ya, Bangun Lagi!)
(Baca juga:Luar Biasa! Bermodal Satu Tangan, Mantan Nelayan Ini Borong 5 Emas dan Pecahkan 3 Rekor ASEAN)
Soalnya, mereka sedang ancang-ancang mempersiapkan kampanye pemilihan presiden berikutnya (tahun 1964).
Sesuai dengan rencana, JFK, Jackie, Johnson dan lain-lainnya berkonvoi dengan limusin terbuka ke Dallas Trade Market.
Di sana ia akan berpidato dalam acara makan siang. JFK duduk di belakang sebelah kanan berdampingan dengan Jackie.
Gubernur Texas John B. Connaly dan istrinya berhadapan dengan mereka. Massa menyambut di sepanjang jalan dengan bersorak-sorai.
Ini tidak berarti agen-agen rahasia bisa santai. Justru Dallas terkenal padat dengan penentang berat pemerintahan Kennedy.
Di Jalan Dealey Plaza, mendekati jalan bebas hambatan, (waktu setempat menunjukkan pukul 12.30) mendadak ada tiga tembakan.
JFK terkulai. Connaly pun tertembak.
Tembakan ketiga merobek separuh bagian belakang kepala JFK.
“Kami melihat rambut dan lain- lainnya melambung ke udara,” ujar seorang ajudan presiden.
(Baca juga:Dokumen Rahasia Pembunuhan John F. Kennedy Akhirnya Dirilis, Beberapa Diblokir Donald Trump)
Darah membasahi gaun Jackie yang berwarna merah jambu. Limusin ngebut ke rumah sakit terdekat.
Seorang perawat yang ketika itu bertugas di kamar operasi bercerita, betapa sulitnya melepaskan besi penopang punggung yang biasa dikenakan JFK.
Jackie tetap tinggal di dalam kamar operasi. Dokter melubangi tenggorokan JFK untuk memasukkan pipa oksigen.
Dadanya diberi kejutan-kejutan supaya otot-otot jantungnya aktif kembali.
Namun, akhirnya tubuh John F. Kennedy, presiden AS yang ke-35 dan yang termuda, diselubungi dengan seprai putih.
Jackie melepaskan cincin kawinnya dan memasangnya di jari JFK.
Ambulans membawa jenazah JFK ke lapangan terbang. Air Force One pun sudah menanti.
Seorang ajudan dari angkatan udara yang turut membantu mengangkat peti itu masih ingat, peti itu jauh lebih berat dari yang disangkanya.
la juga mengambil topi Jackie, lalu diam-diam membersihkan percikan otak JFK yang masih melekat di topi itu. Ketika mengembalikan topi, ia melihat gaun Jackie belepotan darah.
"Ini darah Jack (JFK). Saya tidak akan membersihkannya," kata Jackie. "Biar mereka tahu apa yang mereka perbuat pada suami saya."
(Baca juga:John F. Kennedy, Pahlawan Perang yang Nyaris Tewas di Lautan Setelah Dihantam Kapal Perang Jepang)
Seperti Lincoln
Senator Stuart Symington sedang berpidato di depan sebuah panitia senat tentang neraca pembayaran ketika mendengar bahwa presiden ditembak orang.
Ia melihat bagaimana Bobby (Robert Kennedy) mendadak terhenyak di kursi, kemudian pelan-pelan membereskan berkas-berkasnya dan beranjak ke luar.
Ted Kennedy sedang memimpin Senat ketika mendengar berita ltu. Ketika ia tiba di Gedung Putih, orang-orang sudah bertangisan. Pembagian tugas segera dilakukan.
Bobby mendampingi Jackie. Ted pulang ke Hyannis untuk menemani ibunya dan memberi tahu ayahnya.
(Baca juga:Kabar Bahagia, Donald Trump Izinkan Pengungkapan Dokumen Pembunuhan John F. Kennedy)
Ada pesan dari Ny. Kennedy bahwa ia ingin Gedung Putih diatur persis sama seperti ketika jenazah Presiden Lincoln dibaringkan di sana.
Ketika pesawat mendarat, Bobby sudah berada di lapangan terbang. Sesuai dengan permintaan Jackie, semua personil yang membantu berasal dari Angkatan Laut.
Ini karena menurut Jackie, suaminya sangat cinta pada angkatan laut (dalam Perang Dunia II, ia bertugas di Angkatan Laut). Ambulans Angkatan Laut membawa jenazah ke rumah sakit angkatan laut untuk diautopsi.
Ketika jenazah tiba di Gedung Putih, Jackie minta peti dibuka lagi. Begitu melihat jenazah, Bobby langsung jatuh pingsan.
Malam itu, di lantai atas Gedung Putih, Bobby menangis tersedu-sedu dan berkata, “Kenapa Tuhan, kenapa?”
Sedihnya, ia sendiri tewas ditembak orang pada bulan Juni 1968, di Los Angeles, ketika berkampanye untuk pencalonan presiden dari partai Demokrat.
(Pernah dimuat di Majalah Intisari edisi November 1988)