Advertorial
Intisari-Online.com -Konflik antara Israel dan negara-negara Arab di tahun 1948 tidak bisa dicegah untuk berkembang ke peperangan terbuka.
Bagaimanapun juga, dua kubu yang saling berseteru sudah menyiapkan pasukan serta persenjataan dalam jumlah yang besar.
Untuk menghadapi serangan dari negara-negara Arab, warga Yahudi juga sudah menyiapkan diri dengan membentuk sejumlah organisasi pertahanan.
Mereka juga membentuk pemerintahan darurat yang dipimpin oleh David Ben Gurion.
(Baca juga:Ni Nengah Widiasih: Kalau Gagal, Ya, Coba Lagi! Kalau Jatuh, Ya, Bangun Lagi!)
(Baca juga:Luar Biasa! Bermodal Satu Tangan, Mantan Nelayan Ini Borong 5 Emas dan Pecahkan 3 Rekor ASEAN)
Tujuan pembentukan pemerintahan yang bersifat sementara ini adalah agar semua organisasi pertahanan orang-orang Yahudi berada dalam satu garis komando kemiliteran yang dinamai Palmach.
Dengan kedua belah pihak yang berseteru saling menyiapkan diri untuk menghadapi perang besar itu, setiap gesekan kecil di wilayah Palestina kadang telah menciptakan pertempuran dalam skala besar.
Hingga situasi yang paling ditunggu-tunggu pun tiba.
Pada 14 Mei 1948 mandat Inggris atas wilayah Palestina berakhir dan warga Yahudi pun segera memanfaatkannya.
Dua belas jam sebelum mandat berakhir Ben Gurion telah memproklamirkan lahirnya negara Israel.
Berdirinya negara baru itu hanya dalam tempo satu jam langsung diakui oleh AS dan disusul pengakuan Uni Soviet tiga hari kemudian.
Sebaliknya negara-negara Arab langsung berang dan merasa kecolongan.
Ben Gurion memang sengaja mengambil momentum menjelang habisnya mandat Inggris atas Palestina.
Sebab jika kemerdekaan Israel diproklamirkan setelah penarikan pasukan Inggris akan sangat riskan, mengingat negara-negara Arab sudah beberapa kali mengancam akan menyerang wilayah Palestina begitu Inggris pergi.
(Baca juga:Sadis, Mahasisiwi Ini Tega Buang Bayi yang Baru Dilahirkannya Lewat Jendala di Lantai 5 Asramanya)
(Baca juga:(Video) Mengerikan, Seekor Anjing Liar Gondol Bayi Baru Lahir Untuk Dijadikan Makanan Anak-anaknya)
Pasukan dari negara-negara Arab memang melancarkan serangannya begitu Inggris mengumumkan pelepasan mandatnya atas Palestina.
Empat resimen pasukan Legiun Arab Yordania yang sebelumnya merupakan pasukan tempur Sekutu dalam PD II masuk ke Palestina.
Tujuan pasukan itu adalah menguasai Yerusalem, Nablus, dan Ramallah.
Pada saat yang sama pasukan Mesir juga bergerak menuju Gaza sementara pasukan tempur asal Lebanon bergerak ke arah selatan ke wilayah berpantai.
Sedangkan pasukan Suriah masuk dari arah timur untuk merebut wilayah Galilea.
Pasukan Suriah ini akan berjuang bahu-membahu bersama pasukan Irak untuk menguasai wilayah pantai Laut Tengah.
Serbuan pasukan negara-negara Arab itu memang sudah dinanti oleh pasukan Israel dan di atas kertas kekuatan pasukan Israel memang tidak sebanding.
Kemampuan tempur kedua pasukan yang sama-sama veteran PD II dan strategi tempur antara kedua musuh yang berseteru itulah yang akan menentukan jalannya peperangan.
Pertempuran akhirnya meletus dengan hebatnya.
Pasukan Israel yang berada di bawah satu komando berusaha keras menguasai wilayah-wilayah terdekat sambil menahan gempuran pasukan negara-negara Arab yang datang dari berbagai penjuru.
Pasukan Israel berusaha keras merebut kota Yerusalem tapi berhasil digagalkan pasukan Legiun Arab.
Tapi pasukan Israel berhasil memukul mundur pasukan Irak yang berusaha menguasai kawasan pantai di Laut Tengah.
Sebaliknya pasukan Suriah yang bertempur mati-matian akhirnya berhasil menguasai wilayah Mishmar Haryaden.
Ditinjau dari sudut pandang militer, pertempuran antara pasukan Israel melawan negara-negara Arabh cukup berimbang.
Pasukan Arab bahlan terkejut karena ternyata tidak bisa menaklukkan pasukan Israel dalam waktu singkat.
Serbuan gencar yang dilakukan dari berbagai arah bahkan berhasil ditahan pasukan Israel.
Keunggulan Israel memang terletak pada strategi tempur yang berada di bawah satu garis komando.
Sedangkan strategi tempur negara-negara Arab komandonya berdasarkan masing-masing negara. Kondisi ini membuat mereka kesulitan berkoordinasi saat tiba masa genting.
Akibat peperangan pun menjadi berkepanjangan dan memaksa PBB turuntangan. Mereka mengirimkan mediator bernama Count Bernadotte.
Gencatan senjata pun berhasil dicapai pada 18 Juli 1948.
Bernadotte berusaha memanfaatkan waktu damai itu seoptimal mungkin.
(Baca juga:Mengerikan, Wanita Ini Robek Testis Pacar dengan Gigi. Alasannya Bikin Geleng-geleng)
(Baca juga:Sadar Bangsa Yahudi dan Bangsa Arab Tak Dapat Bersatu, Inggris pun ‘Bagi Dua’ Palestina)
Ia segera mengusulkan penyelesaian masalah secara permanen dengan memberikan seluruh wilayah Nagev kepada Arab sedangkan Galilea untuk Israel.
Usulan itu ternyata ditolak baik oleh Israel maupun pihak Arab. Negara-negara Arab kali ini justru bukan khawatir terhadap Israel tapi Yordania.
Berkat kekuatan pasukannya,Yordania memang potensial untuk menguasai Galilea.
Saat itu Israel menunjukkan sikap menolakknya karena faktanya pasukan Israel sanggup melawan negara-negara Arab.
Sebagai akibat perang, orang-orang Arab Palestina banyak yang kabur menjadi pengungsi.
Secara politik dan militer, orang Israel bahkan makin yakin jika mereka bisa menjadi negara homogen(satu suku saja).
Misi perdamaian yang sedang diemban Bernadotte akhirnya kandas di tengah jalan.
Pada September 1948, mobil yang ditumpanginya yang sedang melintas di kota Yerusalem diserang kelompok militan Yahudi.
Bernadotte pun gugur. Peran Bernadotte kemudian digantikan oleh diplomat asal AS bernama Ralph Bunce.
Kehadiran Bunce jelas untuk menghindari dirinya terbunuh seperti Bernadotte mengingat militan Israel tidak mungkin berani menyerang warga AS.
Tapi untuk urusan pembagian wilayah dan perang, orang Israel ternyata tidak mau menggubris usulan Bunce.
(Baca juga:Tidak Pernah Cek Kehamilannya, Wanita India Ini Melahirkan Bayi Kembar Siam yang Jantung dan Hatinya Menyatu)
(Baca juga:Misteri Kubah Batu Yerusalem: Sumur Jiwa, Pusat Dunia, dan Tempat Disimpannya Tabut Perjanjian)
Dengan gigih Bunce terus mendesak agar peperangan dihentikan selamanya tapi orang Israel menolak.
Maka pada Oktober di tahun yang sama, perang antara Israel dan negara-negara Arab pun berkobar kembali.
Dalam peperangan tersebut, pasukan Israel ternyata mampu mengungguli pasukan Mesir sehingga sebagai pasukan penyerang yang terpukul mundur, pasukan Mesir justru mulai berperang di wilayahnya sendiri.
Pemerintah Mesir jelas merasa malu karena posisi pasukan Israel saat itu sudah mulai menyiapkan diri untuk memasuki wilayah Mesir sementara tidak ada bantuan dari pasukan negara-negara Arab.
Yang datang membantu justru militer Inggris karena banyaknya kepentingan di Mesir.
Berkat ancaman intervensi Inggris, pasukan Israel pun membatalkan niatnya untuk memasuki wilayah Mesir.
Atas intervensi PBB, gencatan senjata pun kembali dilakukan.
Kendati tidak jadi memasuki wilayah Mesir yang menjadi simbol bahwa pasukan Israel telah memenangkan perang, pertempuran antara Israel dan negara-negara Arab yang pertama kali itu telah berhasil meningkatkan rasa percaya diri militer Israel.
Peperangan juga telah membuat lebih dari 800 ribu warga Arab Palestina mengungsi.
Lebih dari itu, sejumlah wilayah Palestina yang semula dihuni warga Arab kini berhasil dikuasai Israel.
Jumlah warga Arab Palestina yang memilih mengungsi dan ditampung negara-negara Arab itu lebih banyak dibandingkan jumlah total warga Yahudi yang saat itu menghuni Israel.
Peperangan yang berkobar di tahun 1948-1949 itu bahkan berhasil melahirkan Angkatan Perang bagi militer Israel yang makin terorganisir untuk menghadapi peperangan berikutnya bernama Israel Defence Force (IDF).