Advertorial

Benda Mati Bisa Bergerak Tanpa Sebab? Di Bali Ada Praktik Magis yang Mampu Menjawab Pertanyaan Itu

Moh Habib Asyhad

Editor

Dalam suatu upacara khusus hewan kurban yang sudah dipanggang, bisa ayam (siap) atau babi (celeng), mampu berlari ke mana saja setelah dimasuki roh dewa.
Dalam suatu upacara khusus hewan kurban yang sudah dipanggang, bisa ayam (siap) atau babi (celeng), mampu berlari ke mana saja setelah dimasuki roh dewa.

Intisari-Online.com – Praktik magis itu diberi nama ngusabha bukaka.

Dalam suatu upacara khusus hewan kurban yang sudah dipanggang, bisa ayam (siap) atau babi (celeng), mampu berlari ke mana saja setelah dimasuki roh dewa.

Wartawan Intisari I Gede Agung Yudana dan A. Hery Suyono pernah menyaksikan upacara tersebut pada 1992 yang lalu.

Dan berikut laporan mereka:

***

Pelataran Pura Gunung Sekar, Sangsit Dangin Yeh, Desa Sangsit, Kecamatan Sawan, Buleleng, Bali, setiap sasih kelima (bulan kelima penanggalan Bali) seakan berubah jadi lautan merah-putih.

(Baca juga:Gunung Agung Meletus, Setengah Triliun Rupiah pun Berpotensi Melayang)

(Baca juga:Erupsi Gunung Agung: Apakah Debu Letusan Gunung Berapi Berbahaya Bagi Pesawat Terbang?)

Halaman pura yang letaknya lebih tinggi dari jalan raya dipenuhi warga setempat yang mengenakan sepatu, kaus kaki, pakaian, kain, dan destar putin, serta berselendang merah menyala.

Mereka tumpah ruah di sana untuk melaksanakan upacara ngusabha bukaka celeng.

Upacara ini merupakan salah satu bentuk acara ngusabha (baca: ngusabe) yang diadakan oleh setiap subak di Bali, yakni perarakan bukaka (hewan panggang - ingkung) oleh warga desa.

Tujuannya, sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Sang Pencipta atas keberhasilan panen. Atau, untuk keselamatan padi yang ditanam, supaya tidak terserang hama dan penyakit.

Menurut Jero Gde Bandesa, salah seorang pemangku (pemuka agama) di Desa Sangsit, istilah bukaka berasal dari kata embukaka yang berarti binatang terpanggang. Ada dua macam ngusabha, yakni ngusabha bukaka siap (ayam) dan celeng (babi).

Ngusabha bukaka siap diselenggarakan hanya oleh warga subak Sangsit Dauh Yeh (Dusun Beji), sedangkan ngusabha bukaka celeng oleh keluarga besar subak Sangsit Dangin Yeh. Meski keduanya sama-sama bernama ngusabha bukaka, tapi ternyata satu sama lainnya sangat berlainan, bahkan terkesan "bermusuhan".

Sama-sama dewa single

Ngusabha bukaka siap, upacaranya hanya berlangsung di dalam Pura Beji yang merupakan pura subak terbesar di Bali. Dipimpin oleh seorang pemangku, bukaka siap diusung mengelilingi pura tiga kali oleh warga subak setempat diikuti oleh pelaku upacara lainnya. Semuanya berlangsung khusuk tanpa ada yang kesurupan segala macam.

Sebaliknya ngusabha bukaka celeng terasa lebih magis apalagi terkadang perarakan bukaka berhiaskan janur yang menyerupai burung garuda raksasa ini berlangsung jauh ke pelosok-pelosok desa, bahkan rutenya sampai 30 km ke luar pura subak milik warga Sangsit Dangin Yeh.

Oleh warga Sangsit Dauh Yeh iring-iringan bukaka celeng diharamkan melewati dusun mereka. Menurut kepercayaan mereka, Dusun Beji dilindungi oleh Dewi Sri yang mereka gambarkan berparas cantik. Dewi ini jualah yang mampu memberkati setiap usaha mereka menanam padi.

Segala usaha akan mereka lakukan agar sang dewi tetap bersinggasana di dusun mereka.

(Baca juga:Menyedihkan, Masih Sudikah Kita Berenang di Pantai Bali Bersama Tumpukan Sampah Seperti Ini?)

Sebaliknya, pelindung Dusun Sangsit Dangen Yeh adalah dewa bermuka buruk. Karena sama-sama masih single, dewa ini katanya berkeinginan untuk "memperistri" Dewi Sri.

Karenanya, setiap kali berlangsung upacara ngusabha bukaka celeng yang rutenya melewati Dusun Beji, warga Beji menganggap Sang Dewa berusaha menculik dewi yang dicintainya.

Kalau sampai upaya itu berhasil, bencana akan menimpa dusun itu, panen tidak akan berhasil baik.

"Di sini kepercayaan itu masih kuat, meski secara logika hampir tak mungkin," tutur Gde Nesa Wibawa, pemuda Dusun Beji. "Kalau sampai ke sini dikhawatirkan dewi yang di sini diambil. Jadi otomatis panen di sini tidak berhasil," tambahnya.

Itulah sebabnya, kalau rute pelancongan bukaka celeng melewati Pura Beji, warga Dusun Beji akan mati-matian menghalaunya. Bahkan, pernah sampai terjadi "perang batu" hingga darah pun mengucur dari tubuh para pengusung.

"Jadi dihalau biar dari Timur langsung ke Barat, tidak ke Utara (ke Dusun Beji, Red). Sampai sekarang juga begitu, bahkan dijaga polisi," jelas Wibawa.

Sebaliknya, warga Sangsit di luar Dusun Beji justru sangat mengharapkan kedatangan si bukaka celeng.

"Kepercayaannya, kalau bukaka itu sampai masuk ke sawah seseorang, walaupun padi itu diinjak-injak, nanti hasilnya akan luar biasa. Itu sudah berulang kali terjadi demikian, sehingga sekarang menjadi keyakinan para petani. Sekarang kalau ada upacara ngusabha bukaka, (mereka) berharap (sawah mereka) dilewati. Istilahnya, Dong bethara nyidaang jeng meriki betharane margi, dimohon pada beliau supaya lewat sawahnya," jelas I Made Pasek, kasie Kebudayaan Depdikbud Kab. Buleleng.

Ayam perjaka babi berjambul

Persiapan upacara ngusabha bukaka memerlukan waktu beberapa hari. Yang perlu dilakukan dalam persiapan di antaranya melasthi (penyudan) di segara (pantai), mengambil air suci di empelan (mata air), serta minta restu di pura segara dan beberapa pura subak.

Suasana magis mulai terasa tiga hari menjelang hari "H" upacara. Saat itu para pemandu ngusabha melakukan upacara menuntun. Mereka mencari tahu pada sang batara rute yang bakal dilaluinya selama prosesi perarakan berlangsung.

Lalu, sehari sebelum pelaksanaan, sarana upacara utama berupa babi panggang mulai disiapkan.

Pada ngusabha bukaka celeng, babinya cuma dipanggang sebelah (matang sebelah). Menurut Ketut Suprana, warga Desa Sangsit, pemanggangan separuh tubuh ini merupakan perlambang kehidupan manusia yang berlangsung di atas subha dan asubha karma (perbuatan baik dan buruk).

Bagian yang matang melambangkan kebaikan dan yang mentah keburukan. Namun, untuk bukaka siap, ayam dipanggang merata. Pemanggangan hanya penerusan tradisi belaka, tanpa ada yang mengetahui makna dan tujuannya.

(Baca juga:Jalan di Bali Dibangun Menggunakan Aspal dari Limbah Plastik, di India Sudah Dilakukan Sejak Dua Tahun yang Lalu)

Ayam yang digunakan harus siap biengkuning (ayam berbulu merah kekuningan), jantan, supit gunting (masih perjaka), berkaki kuning, dan berjengger. Ayam merah kekuningan melambangkan Dewa Brahma, supit kuning melambangkan kesucian.

Sementara untuk bukaka celeng, babinya harus ber-jambot (berjambul), bertaring, berbulu hitam mulus (tak boleh ada bulu warna lain barang selembar pun). Berbulu hitam mulus tanpa "noda" ini melambangkan kesucian.

Menurut I Made Pasek, babi merupakan simbol Wisnu (nama Tuhan dalam manifestasinya sebagai pemelihara alam semesta). Wisnu juga pemberi air.

"Katanya, Dewa Wisnu itu warna saktinya hitam. Jadi (semuanya) dihubungkan dengah ilmu filsafat. Wisnu (melambangkan) air, simbolnya hitam. Jadi babi itu harus hitam. Di samping itu, Wisnu juga melambangkan pertiwi atau bumi. Bumi dan air itulah kehidupan petani," tutur Pasek.

Percikan air sakti

Sebelum bukaka diusung pada hari yang telah ditetapkan, (biasanya sehari setelah dilangsungkannya ngusabha bukaka siap) para pemandu upacara meskam (mandi suci) di Pancuran Mas.

Tempat ini berupa tanah tandus yang dulunya memiliki mata air dan diberi pancuran. Tapi kini mata air itu sudah tidak ada. Belakangan mandi suci cuma dilakukan secara simbolis sebagai syarat untuk penyucian para pemangku.

Di Pura Gunung Sekar, para pramu subak (pengusung bukaka) mebakti (melakukan persembahyangan) dulu. Kemudian mereka lari mengambil bukaka di Pura Pasek yang letaknya sekitar 500 m dari Pura Gunung Sekar.

Bukaka yang telah disiapkan segera mereka usung ke Pura Gunung Sekar. Di pura ini sang bukaka diupacarai oleh pemimpin upacara. Setelah mendapat percikan tirta, bukaka celeng itu seakan-akan kemasukan roh sang batara, hidup dan memiliki kekuatan magis.

Para pemikul pun harus metiria (baca: metirte, mendapatkan percikan tirta) sebagai tanda penyucian diri yang bisa membuat mereka intrance (kesurupan).

Begitu pemangku yang memimpin upacara memberi isyarat dimulainya arak-arakan, sekitar 40 orang yang bertindak sebagai pramu subak segera mengusung bukaka celeng melewati rute yang telah ditetapkan dan diikuti oleh warga lainnya.

Para pemikul yang sebagian besar kawula muda tersebut menjalankan tugasnya dalam keadaan tidak sadar. Usungan bukaka tersebut dibawa berlari dari pura Gunung Sekar menuju jalan raya untuk selanjutnya meneruskan pelancongan menuruti kemauan sang bukaka.

Sepertinya tak masuk akal, mereka mampu mengusung bukaka seberat 1 ton tersebut sambil berlarian. Padahal, dari pura ke arah jalan raya menurun cukup curam.

"Dari sana mereka terus lari. Coba kalau kita lari sendiri, pasti nggak mampu. Dari atas ke bawah, terus ke atas lagi sambil mengusung bukaka dengan kecepatan tinggi," tutur Bandesa. Padahal dari pura ini menuju ke jalan raya harus melewati turunan dengan kemiringan sekitar 30°.

"Makanya jangan coba-coba ikut memikul kalau belum diperciki tirta. Pasti akan cedera," jelas Pasek. Pada upacara beberapa tahun lalu, kabarnya pemah ada anggota pengusung yang jatuh dan terluka. Darah mengalir deras dari lukanya.

Tapi ia seperti tak merasakan apa-apa dan tetap mampu meneruskan tugasnya. Dalam keadaan sadar, jelas kecelakaan itu bakal menimbulkan rasa nyeri berat. Tapi hal itu tak bakal dirasakan siapa pun yang mengusung si celeng panggang.

Tahun 1990, I Made Pasek bersama tiga orang tamu, seorang dokter Indonesia dan dua orang dokter dari Jerman, mengaku juga melihat ada seorang pengusung yang mendadak pingsan. Salah seorang pemangku menyatakan, ia pasti tidak minta tirta.

Oleh dokter, pengusung yang tak sadarkan diri itu diperiksa, temyata masih dalam keadaan normal. Belum sempat dokter mengambil tindakan, si pemangku mengambilkan tirta dan memerciki pemuda itu dengan tirta.

Seketika itu pula cowok 20-an tahun itu sadarkan diri. Begitu ditanya, ternyata ia mengaku belum menerima percikan tirta sebelum mengusung bukaka.

MesM ada "korban", pelancongan si bukaka babi mesti diteruskan. Rute yang bakal dilaluinya pun tidak selalu sama setiap tahunnya, tergantung kehendak sang dewa.

"Kadang-kadang sampai ke Pengastulan (Seririt), Sawan, Air Saneh, Singaraja, Belagung, dan Segara. Itu tergantung permintaan beliau," tutur Bandesa. Ke mana saja ia bergerak diikuti oleh penduduk desa.

Pelancongan bisa saja berlangsung hingga malam hari kalau rute yang diwangsitkan sangat jauh. Pengusungnya tetap orang-orang itu juga, dan tidak diperkenankan diganti orang lain selain anggota pemikul.

Pelancongan bukaka celeng akan berakhir di Pura Pasek. Di pura subak ini para pengusung kembali diperciki tirta. Mereka pun kembali sadarkan diri. Sudah pasti, terkurasnya tenaga selama pelancongan baru mereka rasakan. Tubuh pun menjadi lemas karena kenyel (capek).

Merah Putih Mengusir Musuh

Upacara ngusabha bukaka dulunya berakar dari kegiatan latihan perang yang dilakukan warga Sangsit dalam upaya menghadapi serangan dari luar. Menurut Bandesa, pada abad ke-15, kira-kira tahun 1468 datang Batara Sakti Bawu Rauh atau Dang Hyang Dwijendera di Bali.

Perjalanannya sampai di Dusun Beji, Sangsit. Sang Batara disambut gembira masyarakat dan dibuatkan pelinggih (tempat persemayaman) yang diberi nama Rura Kawuh.

Pura yang menghadap ke Timur ini kemudian beberapa kali berubah nama jadi Pura Medulu Kawuh, Pura Wong Aya, lalu terakhir (hingga sekarang) bernama Pura Pasopati.

Suatu ketika sang Batara hendak kesah (pergi) ke Batur (Gunung Agung). Dalam perjalanannya, tiba-tiba saja sekar (bunga) yang dibawanya jatuh di satu tempat. la pun turun untuk mengambilnya kembali. Masyarakat di sana menyambutnya dan membuatkan sebangun pura untuknya.

Kemudian, ketika hendak melanjutkan pengembaraan ke Gunung Agung, ia memberi nama pura itu, Pura Gunung Sekar. Sampai sekarang nama pura ini tak berubah.

Dari Batur, sang Batara memerintahkan rakyat Sangsit melakukan latihan perang untuk menghadapi kemungkinan datangnya penjajah yang bakal mengusik ketenteraman mereka.

Diperintahkan pula agar latihan dilakukan setiap tahun, yang temyata mampu membangkitkan jiwa kepatriotan warga Sangsit.

"Di sinilah satu-satunya daerah yang paling antikolonial Belanda," tutur Bandesa.

Selanjutnya kegiatan rutin ini berkembang menjadi bentuk upacara bukaka ayam dan celeng hingga sekarang. Untuk mengungkapkan keberanian atas kebenaran mereka waktu itu, . seluruh peserta ngusabha bukaka celeng mesti berpakaian wama merah (berani) dan putih (suci atau benar).

(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 1992)

Artikel Terkait