Advertorial

Zimbabwe: Dulu Gemah Ripah Loh Jinawi, Sekarang Hancur-hancuran

Moh Habib Asyhad

Editor

Intisari-Online.com -Pada masanya, Zimbabwe pernah menjadi lumbung pangan Afrika. Tak hanya itu, negara ini juga dikenal sebagai penghasil berlian kesohor.

Tapi itu dulu. Sekarang negara ini sedang porak-poranda lantaran kesalahan manajemen industri, kekurangan pangan, dan jatuhnya nilai mata uang.

Negara ini juga hancur karena korupsi yang merajalela.

Presiden Robert Mugabe disebut-sebut sebagai aktor utama kehancuran tersebut.

(Baca juga:Dialah Yacouba Sawadogo, 30 Tahun Menghijaukan Gurun Gersang di Afrika Barat)

(Baca juga:China Hapus Utang, Yuan Jadi Mata Uang Resmi Zimbabwe)

Baru-baru ini pimpinan militer telah mengambilalih negara itu dengan aksi yang nampak seperti kudeta, dengan mengerahkan tank di jantung ibu kota, dan menempatkan Mugabe sebagai tahanan rumah.

Mugabe dikabarkan telah mengundurkan diri karena terus mendapatkan desakan, bahkan dari partai yang dibentuknya, Zanu-PF.

Mugabe telah berkuasa di negeri itu selama hampir empat dekade. Ia juga disalahkan atas keterpurukan ekonomi di Zimbabwe.

Bagaimana negara ini menuju kehancurannya?

1980-an

Awalnya, Mugabe terpilih menjadi perdana menteri pertama dari sebuah negara yang baru merdeka pada 1980, setelah menghabiskan waktu bertahun-tahun di penjara.

Ia dipuji banyak orang karena mirip Nelson Mandela, yang mampu memimpin negaranya dari cengkeraman kolonial.

“Dia selalu mempunyai sikap populis, berarti dia ingin bekerja demi kepentingan terbaiknya, tapi tidak semestinya hal tersebut diterapkan dalam ekonomi,” kata seorang manajer saham di bursa Afrika, Funmi Akinluyi.

Mugabe dikenal dunia internasional dari sisi inisiatifnya di bidang pendidikan dan kesehatan.

Pada masa ini, bangsa ini terus menumbuhkan ekspor produk manufaktur dan pertanian.

Zimbabwe terkenal dengan produksi tembakau. Dalam setahun, cuaca di sana sangat mendukung untuk pertanian.

1990-an

Momen politik Mugabe pada tahun-tahun ini mulai memudar.

Kritik terus mengalir kepadanya karena menggunakan kekejaman dan penyuapan untuk mempertahankan kekuasannya.

Secara konsisten, dia menyangkal telah berbuat sesuatu yang salah.

Robert Mugabe saat bertemu dengan petinggi militer Zimbabwe
Kesalahan manajemen Mugabe dalam sektor pertanian menjadi titik balik malapetaka perekonomian di Zimbabwe.

Pemerintah mengeluarkan reformasi lahan untuk mengakhiri kepemilikan pertanian selama puluhan tahun oleh bangsa kulit putih.

Mugabe menerbitkan Undang-Undang Pembebasan Lahan pada 1992 yang memungkinkannya untuk memaksa pemilik tanah menyerahkan lahannya.

Pada 1993, Mugabe mengancam akan mengusir pemilik tanah yang keberatan dengan peraturan tersebut.

2000-an

Pada 2000, Mugabe memaksa 4.000 petani kulit putih untuk menyerahkan lahan mereka.

Hasil produksi pertanian di Zimbawe tumbang dalam satu malam.

“Saat itu pasokan pangan langsung menurun. Orang-orang kelaparan,” kata Akinluyi.

Perubahan itu diikuti masa panen yang buruk dalam dua tahun dan musim kering menyelimuti Zimbabwe, menjadikannya negara dengan tingkat kelaparan terburuk dalam 60 tahun terakhir.

Di tengah kekurangan stok kebutuhan dasar yang kronis, bank sentral menggenjot mesin cetak uangnya untuk membiayai impor.

Hasilnya, inflasi merajalela.

Pada puncak krisis, harga di Zimbabwe meningkat dua kali lipat setiap 24 jam.

Ekonom Cato Institute memperkirakan inflasi bulanan melonjak hingga 7,9 miliar persen pada 2008.

Pengangguran melonjak tajab, fasilitas layanan publik bangkrut, dan perekonomian menyusut 18 persen pada 2008.

Zimbabwe memutuskan untuk tidak menggunakan mata uangnya, dolar Zimbabwe, sehingga transaksi dilakukan dalam dolar Amerika Serikat, rand Afrika Selatan, dan 7 mata uang lainnya.

(Baca juga:Mick Fanning, Bertempur Melawan Serangan Hiu saat Mengikuti Kejuaraan Selancar Dunia di Afrika Selatan)

(Baca juga:Bukannya Digiring, 500 Gajah Afrika Ini Terpaksa Direlokasi ke Habitat Baru Menggunakan Helikopter)

2010-an

Mugabe mulai merespons sanksi internasional pada 2010 dengan mengancam akan merebut semua investasi milik negara barat di negara tersebut.

Ancaman itu membuat calon investor kian menjauh.

Pemerintahan Mugabe telah mengalihkan fokusnya dari pertanian ke pertambangan.

Dia juga memerintahkan semua penambang berlian untuk menghentikan aktivitas dan meninggalkan area tambang.

Rencananya, sebuah entitas yang dikelola negara akan mengambialih operasi pertambangan.

Kini, Zimbabwe sedang berjuang untuk mendapat kucuran dana segar dari negara lain, setelah industri ekspor utama tercekik.

Akhir tahun lalu, negara tersebut mulai mengeluarkan surat utang yang dihargai 1 dolar AS, dalam upaya mengurangi kekurangan uang tunai.

Akinluyi mengatakan situasi saat ini sangat memprihatinkan, sebab Zimbabwe memiliki banyak potensi.

“Mereka memiliki berlian, batu bara, tembaga, bijih besi. Mereka punya sumber daya,” katanya.

“Saya pribadi berpikir keadaan akan cepat membaik dengan orang yang tepat berkuasa.”

(Artikelnya sudah tayang di Kompas.com dengan judul "Malapetaka Tumbangnya Zimbabwe, Negara Kaya Pangan dan Berlian")

Artikel Terkait