Advertorial
Intisari-Online.com – “Pernikahan adalah sebuah buku yang halaman pertamanya dibuka dengan puisi dan halaman berikutnya berisi prosa," kata Beverly Nichols, seorang pujangga Inggris.
Tak aneh jika hari pernikahan dianggap sebagai salah satu hari paling istimewa dalam hidup setiap orang. Pada hari itu, segala sesuatu haus istimewa, termasuk baju yang dikenakan. Hari itu rakyat jelata berdandan ala pangeran dan putri kerajaan.
Dari masa ke masa, model gaun pengantin terus berkembang. Tapi ada satu hal yang tetap. Apa pun modelnya, semua jenis busana pengantin umumnya meniru busana kebesaran kaum bangsawan setempat.
Di Jawa misalnya, pasangan pengantin berdandan seperti keluarga keraton.Tak peduli kelas sosialnya.
Sutiyem, yang setiap hari pergi ke pasar memakai jarik lusuh, saat di pelaminan mengenakan kebaya dan bersanggul layaknya putri raja.Sedangkan Partono, yang setiap hari pergi ke sawah memakai celana usang, di hari istimewa itu mengenakan blangkon dengan keris di pinggang tak ubahnya putra mahkota.
BACA JUGA:Tahukah Anda Para Pembenci Durian, Ternyata Durian Punya Banyak Manfaat Bagi Kesehatan
Semua model busana pengantin di setiap masyarakat dipengaruhi oleh agama dan budaya setempat. Tapi dari sekian banyak model busana pengantin, tampaknya yang paling populer adalah pakaian pengantin ala masyarakat Barat.
Pria memakai setelan jas lengkap. Sedangkan wanita memakai gaun putih khas putri kerajaan Inggris.
Adalah Ratu Victoria, Ratu Inggris, yang membuat warna putih menjadi warna favorit gaun pengantin.
Saat menikah dengan Pangeran Albert tahun 1840, ia mengenakan gaun putih dengan rancangan cantik yang membuat para wanita bermimpi untuk bisa mengenakan gaun serupa saat menikah.
Gaun model putri Inggris ini tidak statis, tapi terus berubah mengikuti perkembangan zaman. Meski putih menjadi warna favorit, warna-warni lain tetap punya penggemar di kalangan tertentu.
Termasuk dalam budaya Barat yang masih diwarnai kepercayaan tentang adanya hubungan antara warna gaun pengantin dan kehidupan rumah tangga.
Kata kepercayaan itu, hanya warna putih yang melambangkan segala jenis kebaikan. Dengan warna perlambang kesucian itu, saat berada di pelaminan, para mempelai berharap mereka dikelilingi oleh peri-peri cinta yang datang dari surga.
Setelah era Vicoria, tiap dasawarsa biasanya muncul model baru gaun pengantin. Mulai dari model rok yang serupa tabung kerucut, lengan yang menciut di ujungnya, hingga korset di pinggang yang membuat lingkar perut jadi susut sehingga mempelai kelihatan ramping.
Sekitar tahun 1870-an, tren gaun gaya Victoria berkembang dengan dua ciri khas, yaitu cadar dan "buntut" yang dibiarkan menyapu lantai saat mempelai wanita berjalan.
BACA JUGA:Petir Terganas di Dunia Ada di Indonesia Lo! Ini Dia Lokasinya
Sebagai busana hari istimewa, gaun pengantin punya fungsi utama, membuat mempelai wanita tampak jauh lebih mempesona dari biasanya. Apa pun modelnya, gaun pengantin tak pernah kehilangan fungsi ini. Dengan bra khusus, mempelai wanita yang berdada rata bisa tampak montok.
Dengan model sepatu dan gaun khusus, mempelai yang kurang tinggi bisa kelihatan semampai. Yang berbadan gendut bisa tampak jadi sintal. Bahkan, dengan pakaian khusus, pinggul yang tepos pun bisa tampak berisi.
Saking pentingnya fungsi ini, sering unsur kenyamanan dinomorduakan. Karena harus tampil cantik luar biasa, tak jarang mempelai perempuan sampai sulit berjalan. Bagi mereka, tak apalah sedikit susah bergerak asalkan di hari itu mereka bisa tampil cantik jelita bak bidadari yang baru turun dari pelangi.
Toh menjadi pengantin cuma sekali seumur hidup. Jika mungkin, gaun itu harus bisa membuat semua undangan tak henti berdecak kagum dan berseru,"Amboi, cantiknya! (Emshol)
BACA JUGA:Jamblang, Si Ungu yang Kandungan Antioksidannya Tinggi dan Cocok untuk Penderita Kencing Manis