Advertorial
Intisari-Online.com – Catatan perjalanan demi menyaksikan keindahan panorama dan gaya hidup, atau keunikan satwa liarnya, seharusnya serba terencana matang, seperti penuturan Oei Hong Kian.
Argentina yang seluas Eropa Barat dijuluki rakyatnya sebagai Negeri Enam Benua.
Negara di ujung selatan Benua Amerika ini memang berpanorama indah, juga banyak hal unik yang menarik minat wisatawan.
(Baca juga: Kambing Berwajah 'Iblis' Lahir di Argentina)
Sayangnya, cuaca di sana tak selalu bagus. Sering kali raja angin dan ratu taufan menerpa negeri ini.
Makanya dalam buku panduan, selalu dianjurkan agar pelancong mengenakan pakaian wol dua lapis. Itu pun ditambah jas kulit, serta jas hujan kedap udara.
Atas saran-saran itulah, kami berangkat ke Buenos Aires, tanggal 18 November 1994 dengan perlengkapan musim dingin.
Namun, begitu tiba di sana, cuaca malah terang benderang. Taman-taman penuh bunga.
Ibu kota Argentina itu semarak dan mengagumkan, terutama bulevar Avenico Nueve de Julio yang disebut-sebut terlebar di dunia.
Sungai lebar Rio de la Plata pun melengkapi ciri kota.
(Baca juga: Gancendo Meteorite, Meteorit Seberat 30 Ton Ditemukan di Argentina)
Paris di Selatan
Buenos Aires berjulukan Paris di Selatan.
Kota itu macam kota besar Eropa dengan bulevar, taman indah, pusat pertokoan, teater, gedung konser, dan kafe yang nyaman.
Bicarakan Argentina, pasti bicarakan juga dansa Tango.
Tarian yang katanya dansa budak yang gembira saat pembebasan, berkembang menjadi tarian berkelas dengan iringan lirik dan musik yang melankolis, sensual, agresif erotik.
Pengalaman saat duduk di taman San Telmo, sungguh nikmat sambil meneguk segelas anggur dan menyaksikan tarian eksotik itu.
Orang berkeliling di pojok taman, ikut bernyanyi dengan diiringi musik, sambil memberi semangat kepada penari.
Semuanya serba spontan. Penari pria mengenakan topi dan sepatu laken berkilap, khas setelan aksi orang Guapo.
Selain. itu ada lagi tempat yang menarik di Buenos Aires, Plaza de Mayo, yang penuh bunga dan pohon palem dengan gedung kolonial yang dulu menjadi jantung kota.
Tempat itu makin terkenal ke seluruh dunia, karena adanya aksi kaum ibu yang menuntut putra mereka yang hilang, saat kekuasaan rezim militer pada tahun 1977.
Di istana kepresidenan Casa Rosa, konon dari atas balkon istana itu, Eva Peron pernah berpidato di hadapan rakyatnya.
Jasad wanita penuh kharisma itu baru kembali ke Argentina, setelah berkelana ke Jerman dan Italia selama 16 tahun.
Kuburannya di tempat pemakaman Recoleta, sampai digali sedalam 9 m untuk menghindari penculikan.
Rupanya tidak hanya pemandangan dan seni yang menarik di Argentina. Makanannya pun unik.
Orang Argentina adalah pemakan daging terbesar di dunia. Di situ ada bistik 700 g yang disebut babybife.
Perkenalan pertama dengan daging terkenal itu di Restoran Las Nazarenas.
(Baca juga: Jutaan Kumbang Menyerbu Pantai Selatan Argentina, Beberapa Orang Menyebutnya sebagai Tanda Hari Kiamat)
Daging bakar seharga AS $30 untuk 4 orang, disajikan di atas piring logam khusus dengan arang membara di bawahnya.
Di atas daging setebal lengan itu, ditumpuk sosis dan macam-macam jeroan sapi. Sajian itu dinikmati dengan melahapnya dari daging lapisan atas sampai tandas ke bawah. .
Porsi seperti di atas amatlah besar. Setelah habis jeroan, daging yang paling bawah pun jadi terlalu lunak, karena terlalu lama digodok.
Kalau mau coba, sebaiknya pesan jeroan terpisah sebagai makanan pembuka, baru pilih dagingnya sesuai selera. Supaya lebih nikmat, santapan itu diiringi dengan tegukan anggur.
Perjalanan di Argentina makin berkesan, saat kami tiba di perbatasan Argentina - Brasil. Di tengah hutan tropis terlihat air terjun Iguazu, dengan tinggi serta lebar dua kali air terjun Niagara di AS.
Air terjun selebar 3 km itu mencurahkan air sebanyak 1.800, m3 setiap detiknya, lewat 275 riam yang jatuh dari ketinggian 70 m.
Di dunia ini ada tiga air terjun besar. Yang terbesar air terjun Victoria, sedangkan yang terkenal air terjun Niagara.
Namun yang terindah adalah Iguazu! Ny. Roosevelt, ibu negara AS, hanya menulis dua kata dalam buku tamu air terjun Iguazu, "Poor Niagara!"
Dari kamar Hotel International Iguazu, suara derasnya air terjun memekakkan telinga, sampai-sampai musik ruangan tak terdengar.
Percikan air terjun besar itu, di pagi dan sore hari membiaskan awan berwarna merah jambu setinggi 200 m.
Di sisi Sungai Rio Iguazu, pelancong dapat berjalan-jalan di sepanjang tepiannya.
Di kaki air terjun, dari berbagai sudut pandang dapat disaksikan keindahan massa air yang tumpah ke bawah.
Sinar matahari pun sering membehtuk pelangi indah. Inilah yang disebut perjalanan 1.000 m paling indah di dunia.
Sedangkan dari Iguazu Superior, air terjun dapat ditonton dari atas.
Semua panorama air terjun Iguazu itu berada di daratan Argentina. Namun Brasil berhak menjual air terjun itu sebagai aset panorama indah.
Dalam perjalanan kembali dari Puerto Canoas, kami menyeberang bagian atas Rio Iguazu menuju puncak batu karang dekat Garganta del Diablo alias Devil's Throat, yang terletak di tengah-tengah badai air terjun.
Pemandangannya begitu megah, spektakuler, dan indah. Setibanya di hotel, kami memesan surubi untuk makan malam.
Menurut pramusaji, itulah hidangan ikan sungai yang lezat. Ikan yang semula berbobot 70 kg, rasanya mirip daging ikan tombro atau kancra dari tanah air!
Singa laut berjemur
Dari Iguazu perjalanan diteruskan ke Peninsula Valdes.Tujuan kami ke Patagonia yang luasnya melebihi Jerman, tetapi penduduknya sedikit sekali.
Argentina menganggap bagian selatan Rio Colorado semacam Siberia. Makanya sebagai insentif, pekerja di daerah yang serba sepi itu menerima gaji lebih besar daripada upah pekerja bagian utara.
Kedengarannya sebagai suatu paradoks, namun kenyataannya, setiap orang Argentina mau ke Patagonia yang dianggap sebagai negeri dongeng.
Mereka bangga dengan daerah kosong yang jauh dari tetangga. Kami pun tiba di satu-satunya lapangan terbang di Peninsula Valdes, Trelew.
Mobil sewaan menembus jalan aspal mulus dan sepi yang membelah stepa, seperti garis monoton gundul tanpa rumah, manusia, atau binatang.
Setelah 88 km, kami membelok ke Peninsula Valdes. Terlihat satu dua domba kesepian. Selanjutnya perjalanan 70 km sampai Desa Puerto Piramides ditempuh dalam kesunyian.
Tidak ada kendaraan yang berpapasan.
Konon setiap tahunnya, di teluk itu berkunjung ratusan paus untuk berkembang biak. Jadi tekad kami mernang mau "berburu" kawanan paus besar itu.
Kami kemudian menyewa kapal. Untung sekali, karena selain berjumpa dengan kawanan paus, kami juga sempat melihat beberapa paus betina mempunyai anak.
Rombongan mamalia berbentuk ikan ini, mengelilingi dan menyusup di bawah kapal tanpa peduli.
Mereka bermain-main, meloncat dengan anaknya di dalam air, bahkan kadang-kadang menyemburkan air.
Perjalanan ke hotel masih 70 km lagi. Jalanan rupanya tidak diaspal, tetapi ditutup kerikil. Tak heran jika kaca depan semua mobil di sana berlubang atau retak, akibat berbenturan dengan kerikil.
Setelah setengah jam berjalan, udara mulai gelap. Namun binatang mulai bermunculan. Ada mam, kelinci besar Patagonia, dan dua quanako. Sayang, terlalu gelap untuk dipotret.
Pukul 21.00 keadaan betul-betul gelap. Untunglah kami melihat titik sinar mercu suar yang membimbing kami ke Hotel Hosteria Punta Delgada.
Hotel itu berada di puncak batu karang di ujung tenggara semenanjung.
Cuaca berubah sama sekali. Suhu dingin dan angin kencang sampsi menghajar pintu mobil kami.
Cuaca Patagonia memang mengerikan. Namun di hotel kami dimanjakan dengan makan malam yang lezat.
Tetapi esok paginya, matahari bersinar cerah. Kami dapat melihat pemandangan indah ke koloni singa laut besar di pantai.
Bahkan kami bisa turun berbaur dengan binatang itu.
Pantainya memang berkarang. Namun di beberapa cekungan dengan air biru tua, tampak beberapa ekor singa laut berenang sambil mencari makan.
Kalau sudah kenyang, mereka tertatih-tatih menuju jalur pasir lebar untuk berjemur sinar matahari.
Kami bisa jalan-jalan di antara binatang itu dan membuat foto dengan tenang. Tetapi rasa waswas ada juga.
Singa laut bisa melahap gurita atau pinguin. Jadi, ada baiknya menjauh dari rahangnya yang kuat.
Namun rupanya mereka hanya memperhatikan sesamanya, sambil sesekali bertengkar. Hanya kalau merasa terganggu karena kami terlalu dekat, mereka berteriak sambil membuka moncongnya lebar-lebar.
Sore hari perjalanan diteruskan ke arah utara semenanjung, ke Caleta Valdes dan Punta Norte, tempat pengembangbiakan singa laut dan gajah laut.
Sementara keesokan harinya perjalanan diteruskan 388 km ke arah selatan ke Punta Tombo. Di situ ada tempat pengembartgbiakan pinguin Magellan yang terbesar di Amerika Selatan.
Jumlahnya lebih dari 500.000 ekor. Sungguh pengalaman menarik, berada di antara pasangan pinguin yang sedang mengeram dan mengurus anak.
Banyak asap
Keesokan harinya, kami meneruskan perjalanan ke Tanah Api atau Tiera del Fuego yang terkenal dengan angin ributnya.
Kami terbang menuju ibu kota Ushluaia yang terletak di ujung selatan dunia. Letaknya di pinggir Terusan Beagle, sebelah selatan Tanah Api.
Dari pesawat terlihat kota kecil di dalam tanah cekungan yang indah, dikelilingi gunung salju. Untung udara cerah dengan suhu 21°C.
Cuaca indah secepatnya dimanfaatkan. Kami naik kapal ke Terusan Beagle yang pernah dilintasi Magellan.
Menurut sejarah, saat itu Magellan melihat asap mengepul di mana-mana (dari dapur orang Indian). Makanya Magellan menamai daerah itu Tanah Api.
Di daerah Tanah Api, bersantap malam di luar merupakan seni. Kesibukan mempersiapkan hidangan, lebih-lebih di musim dingin yang panjang, amat menarik dan berkesan.
Perillada, daging domba bakar, dan centoIla, kepiting raja berwarna oranye, merupakan sajian utama.
Dari Ushluaia perjalanan diteruskan ke Calafate dengan pesawat terbang dari Rio Callegos. Kami mendarat di situ pukul 17.00 ketika cuaca buruk. Hujan lebat dan udara dingin sekali.
Inilah cuaca Patagonia yang asli. Kami harus naik minibus sejauh 350 km untuk sampai ke hotel.
Kami sampai di hotel pukul 23.00. Setelah makan malam panas dan anggur lezat, kami pergi tidur.
Dalam hati, kami takut cuaca buruk merusak rencana. Soalnya, besoknya kami akan berangkat ke gletser Perito Moreno yang megah.
Sungguh tidak bisa dipercaya, cuaca keesokan harinya cerah. Dengan melewati danau menuju ke Peninsula Magellanes, semenanjung di Lago Argentino, sampailah kami berhadapan dengan gletser.
Gunung bersalju terus mendekat. Setelah melewati tanjakah terjal dan belokan di kiri jalan ada pemandangan indah, massa es luas yang mendapat es dari beberapa gletser di Pegunungan Andes yang turun ke Lago Argentino.
Di sebelah kanan jalan, pada sebuah bukit berdiri hotel kami, Convista al Glaciare.
Sebuah kapal sudah menunggu untuk berkeliling danau. Perkenalan pertama dengan gletser besar itu bukan main.
Celah-celah biru terang seperti dalam cerita dongeng, berada di antara massa putih.
Dari kapal kami menatap gletser yang menjulang tinggi. Pemandangan seperti itu tak kami temui, baik di Eslandia maupun Alaska.
Kehebatan massa es bisa dinikmati dengan baik. Lebarnya 3 km, tingginya 70 m dan di tengahnya bercabang.
Sungguh merupakan atraksi paling hebat di Argentina dan seluruh Amerika Selatan.
Perito Moreno itu salah satu dari beberapa gletser yang masih tumbuh. Lidahnya yang di tengah tumbuh 1 m per hari.
Kalau balok es patah, lahir gunung es. Hal itu diiringi suara gemuruh hebat.
Anehnya, terjadi letusan seperti tembakan pistol. Suara gemuruh itu pun tergantung pada besarnya patahan es.
Selama kapal melewati cabang utara Lago Argentino, kami melewati gunung es besar dan spektakuler.
Sayangnya, gara-gara gunung es itu juga, perjalanan ke gletser Upsala yang masif tidak kesampaian.
Mereka memblokir jalan tembus, sehingga kami harus puas hanya sampai gletser Onelli yang lebih kecil.
Di semenanjung ini, kami melihat burang kondor yang dijuluki raja dari Andes. Dengan rentang sayap sampai 3 m, burung pemangsa terbesar ini melayang tinggi di angkasa dengan anggunnya.
Santiago sebelum pulang
Tanggal 2 Desember, kembali kami menempuh 388 km ke Puerto Natales di Chile, untuk melihat taman terindah di Amerika Selatan.
Dalam perjalanan, kami mampir ke monumen nasional Cueva Milodon, sebuah gua tempat ditemukannya fosil mamalia raksasa pemakan tanaman.
Di. gua itu ada replika aslinya. Dari gua prasejarah, perjalanan diteruskan sampai taman tujuan utama kami, Parque Nacional Torres del Paine yang mempunyai danau berwarna hijau toska yang luas, sungai bening, gletser, dan hutan yang dikelilingi gunung tinggi.
Karena keindahannya, daerah ini diprompsikan menjadi reservat biosieer. Guanaco, randu, burung kondor, dan flamingo hidup optimal dalam lingkungan yang alami.
Keindahan gletser yang masih perawan di Chile, cocoknya bagi pendaki gunung.
Tiga pilar granit di Torres de Paine menjulang setinggi 2.000 m di atas stepa. Biasanya pilar itu bersembunyi di balik awan.
Pada cuaca bagus seperti saat itu, gletser ini memberi ciri khas pada keseluruhan taman. Inilah Patagonia Chile.
Selain taman-taman itu, sebagian Patagonia Chile praktis tidak bisa dijamah.
Sebelah utaranya terletak Danau Chile. Dari Puerto Montt, kami membuat tur indah, bergantian naik bus dan kapal, mengelilingi dan melintasi Lago Liangquihe dan Lago Todos los Santos di Chile, serta melintasi Lago Nahuel Nuapi ke Bariloche di Argentina.
Yang amat berkesan adalah gunung api yang ditutupi salju. Pemandangan yang dramatis, apalagi kami menyewa pesawat terbang.
Dari udara kelihatan dimensi ekstra indah dari daerah itu.
Pada malam terakhir sebelum pulang, kami jalan-jalan di pusat pejalan kaki Santiago. Sambil minum.es krim soda, kami memperhatikan orang yang sibuk berbelanja untuk hari Natal.
Setelah perjalanan yang sempurna ini, kami pun pulang untuk menyambut tahun baru.
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Februari 1996)