Advertorial
Intisari-oline.com - Seringkali juga kita mendapat resep obat berbentuk puyer dari dokter anak. Alasannya, jenis obat yang dibutuhkannya banyak sehingga perlu digerus menjadi satu demi kepraktisan pengonsumsian.
Jika kita mengalami hal seperti itu, cobalah tolak dengan halus. Atau, obat puyernya jangan langsung ditebus.Mengapa?
Dengan meminta dokter tidak meresepkan obat puyer setidaknya kita telah melindungi anak kita dari penggunaan obat yang tidak rasional/berlebihan atau polifarmasi.
Sebab, ketika obat diberikan dalam bentuk puyer, umumnya orangtua sulit mengetahui jumlah obat yang terkandung di dalamnya.
BACA JUGA:Petir Terganas di Dunia Ada di Indonesia Lo! Ini Dia Lokasinya
Puyer terkait erat dengan polifarmasi. Sebungkus puyer bisa berisi lebih dari tiga obat (kebanyakan lebih dari lima obat tapi ada juga kasus bayi yang mendapat puyer berisi 15-21 obat!).
Satu jenis obat saja bisa menimbulkan efek samping, apalagi banyak obat.
Padahal kapan sih anak butuh banyak obat? Penyakit harian anak tidak butuh banyak obat.
Salesma cuma butuh parasetamol. Diare (kecuali yang berdarah) hanya memerlukan cairan (ASI, oralit).
Sementara itu, sakit berat seperti ginjal, leukimia, kelainan jantung, dll memang butuh banyak obat. Tapi, anak yang menderita sakit berat sejauh ini persentasenya kecil.
Meski begitu, masih banyak yang berpendapat bahwa puyer adalah obat terbaik buat anak Indonesia.
Sebab jika anak butuh banyak obat, puyer bisa menjadi alternatif karena harganya jadi lebih murah.
BACA JUGA:Satu Bulan Sebelum Serangan Jantung, Tubuh Memberikan 6 Tanda Ini
Ada pula yang beragurmentasi puyer is the best karena bisa didesain individual.
Akan tetapi, sebuah workshop yang disponsori WHO sama sekali tidak merekomendasikan penggunaan puyer.
Obat yang dibuka dari bungkusnya, digerus sendiri, lalu dibagikan ke masing-masing kertas pembungkus tanpa ditimbang tentu saja rentan menghadirkan kesalahan.
Sebut saja bagaimana perhitungan farmakokinetiknya? Bagaimana interaksi obatnya? Bagaimana sterilitasnya? dll.
Ternyata, negara-negara berkembang peserta workshop WHO itu hanya Indonesia yang masih mengaplikasikan puyer.
Bahkan, Tanzania, negara yang jauh lebih miskin dari Indonesia, puyer sudah tidak ada.
BACA JUGA:Kisah Nyata Perempuan yang Sejauh Ini Sudah Tidur dengan 1.000 Lelaki
(Disadur dari bukuIntisari Seri Kesehatan Anak: Q & A Smart Parents For Healthy Children, karya Dr. Purnamawati S. Pujiarto SpAK,MMPed)