Intisari-Online.com - Setelah Perang Saudara AS berakhir, militer AS mulai disibukkan oleh program pembangunan. Mereka melakukan perluasan permukiman imigran kulit putih, peternakan, pertanian, dan membangun jaringan kereta.
Proyek pembanguan rel kereta api yang masuk jauh ke pedalaman AS itu ternyata mendapat halangan dari suku-suku Indian Amerika. Hal itu lantaran banyaknya tanah leluhur yang terancam perluasan jaringan, juga mengancam lahan berburu mereka.
Konflik bersenjata kerap terjadi antara militer AS dan para petarung dari berbagai suku Indian. Masa ini biasa disebut dengan American Indian Wars, 1775-1842.
(Baca juga: Petaka Gettysburg, Sisi Brutal Perang Saudara AS yang Menelan Korban 51.000 Jiwa dan 3.000 Ekor Kuda)
Suku-suku Indian yang masih tinggal terpencar di seluruh daratan AS secara perlahan mulai tersingkir karena kalah dalam teknologi persenjataan dan strategi tempur.
Demi efektivitas operasi militer, pemerintah AS kemudian melaksanakan program relokasi terhadap suku-suku Indian dan sering dilaksanakan secara paksa.
Tujuan relokasi: menempatkan orang-orang Indian di lahan reservasi sehingga gerak-gerik mereka bisa terkontrol. Selain itu, secara militer keinginan orang-orang Indian untuk melancarkan serangan bisa diminimalkan.
Militer AS pada massa itu memang memilih tidak bertempur melawan Indian secara frontal mengingat banyaknya korban yang jatuh.
Militer AS secara psikologis juga sedang jenuh bertempur setelah melewati Perang Saudara AS dan sejumlah kampanye militer melawan suku-suku Indian.
Tapi bagi kaum Indian yang tinggal di lahan reservasi mirip kamp konsentrasi, jelas merupakan siksaan tersendiri karena aktivitas mereka terbatas,
Khususnya aktifitas berburu dan kebiasaan tinggal secara nomaden yang terjadi di setiap musim serta selama ini telah menjadi pola hidup mereka.
Dalam kondisi yang makin tertekan dan ruang geraknya terbatas sejumlah suku Indian di lahan reservasi pun melakukan pemberontakkan dengan cara berpindah ke lahan di luar kawasan reservasi.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR