Ketika bertugas tanggal 31 Juli 1965 ke Medan mengikuti perjalanan Pak Nas, Pierre menyempatkan diri menemui kekasih dan calon mertuanya.
Dalam pertemuan itu diputuskan bahwa pernikahan mereka akan dilangsungkan pada bulan November 1965.
Sebenarnya ada satu hal ganjil yang tidak pernah dilakukan Pierre. Selama ini siapa pun yang berulang tahun, dia selalu menyempatkan diri untuk menelepon, jika ia teralang tugas.
Tetapi pada tanggal 30 September itu ia tidak menelepon untuk mengucapkan selamat kepada ibu.
Seluruh makam ditutupi anggrek
Setelah diangkat dari sumur di Lubang Buaya dan dibersihkan, jenazah para Pahlawan Revolusi itu dikirim ke RS Gatot Subroto dan kemudian disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat di Jl. Merdeka Utara.
Pada tanggal 5 Oktober pemerintah mengirimkan pesawat untuk menjemput keluarga kami di Semarang.
Ketika melihat peti jenazah putranya, ibu menangis dan meratap, "Pierre, Pierre, mijn jongen, wat is er met jou gebeurd (Pierre, Pierre, anakku, apa yang terjadi denganmu)."
Setelah Pierre tiada, gairah dan kesehatan ibu semakin menurun. Dari pemeriksaan medis ternyata kemudian diketahui ibu mengidap kanker. la tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa putra tunggalnya itu sudah tiada.
Jika rasa penyesalannya datang, ia selalu mempersalahkan saya, yang dulu menyokong keinginan Pierre untuk menjadi tentara.
Begitu besar rasa kehilangannya, sehingga ibu sering membaca surat-surat yang pernah dikirimkan Pierre semasa belajar di Bandung maupun setelah bertugas. Semua surat itu dikumpulkan dan diurutkannya sesuai tanggalnya.
Keadaan ayah juga tidak jauh berbeda, tapi ia lebih bisa menguasai diri dan berusaha untuk menghibur ibu.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR