Hari Radio Nasional: Perebutan Pemancar Radio, Salah Satu Perjuangan Terberat para Pejuang Setelah Proklamasi

Ade Sulaeman

Penulis

Sejak tersiarnya berita bahwa Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada tentara Serikat pada tanggal 14 Agustus, gedung siaran di jalan Medan Merdeka Barat di jaga keras oleh Kenpeitai.

Intisari-Online.com – Pada tanggal 17 Agustus 1945 suasana di gedung-gedung studio Jakarta sangat tegang.

Sejak tersiarnya berita bahwa Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada tentara Serikat pada tanggal 14 Agustus, gedung siaran di jalan Medan Merdeka Barat di jaga keras oleh Kenpeitai.

Juga dua gedung studio lainnya yaitu di jalan Merdeka Selatan (tempat gedung telekomunikasi) dan di Prapatan Gambir telah siap menghadapi segala kemungkinan.

Petang hari tanggal 17 Agustus itu juga terlihat seorang di belakang kompleks tudio Merdeka Barat. Hati-hati ia mendekati pagar tembok belakang.

Pada saat Kenpeitai lengah, cepat-cepat ia memanjat tembok, turun di halaman gedung siaran lantas menuju kamar studio.

(Baca juga: Hari Radio Nasional: Suatu Kala saat Mendengarkan Radio Bisa Berakibat Hukuman Berat)

Itu almarhum Sjachrudin, wartawan kantor berita “Domei", yang datang menyampaikan teks Proklamasi Kemerdekaan kepada pegawai-pegawai radio yang pada tanggal 17 Agustus itu dijaga keras dan tidak diperbolehkan keluar masuk studio.

Pada siang hari beberapa mahasiswa telah mencoba menyampaikan teks proklamasi ke gedung siaran.

Tapi tiap-tiap kali kepergok tentara Jepang. Dan baru sore hari itu penjagaan Jepang berhasil diterobos.

Dengan ini pada djam ± 19.00 teks Proklamasi yang pagi itu diucapkan oleh Soekarno-Hatta di jalan Pegangsaan Timur, hanya melalui pengeras suara pada jam ± 19.00 dapat disiarkan melalui radio.

Waktu itu tidak mungkin menggunakan pemancar-pemancar siaran dalam negeri karena kerasnya penjagaan.

Dan pemancar untuk siaran luar negeri di zaman Jepang telah digunakan oleh Markas Besar Balatentara Jepang untuk berhubungan dengan tentaranya yang tersebar di seluruh Indonesia dan memberikan instruksi-instruksi berhubung dengan kapitulasi.

Entah sampai dimana siaran pertama dari Jakarta tentang Proklamasi itu dapat didengar, sekalipun para pegawai teknik telah mencoba menyalurkan siaran itu melalui pemancar keluar negeri yang terletak di Bandung.

Siasat penggunaan pemancar oleh pegawai muda jawatan radio Jakarta segera diketahui oleh Jepang. Dua orang yang dianggap bertanggung jawab yaitu Bachtar Lubis dan Jusuf Ronodipuro, diminta pertanggunganjawaban

Timbul perdebatan sengit. Petugas Jepang tidak dapat menahan marahnya dan telah menghunus samurainya. Tinggal mengayunkan.

Untung tepat pada saat itu Tomobachi, Pemimpin Umum Radio Jepang di Jawa masuk kamar. Dia ini menginsjafi bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia telah menjadi kenyataan.

(Baca juga: Dari “Badak dan Ikan” hingga “Sehabis Cukur”: Inilah Kesalahan Konyol Request Lagu di Radio yang akan Mengocok Perut Kita)

Berkat perantaraannya pertumpahan darah dapat dihindarkan.

Berita proklamasi segera sampai di daerah-daerah. Di Surabaya misalnya, Jumat jam 12.00 tanggal 17 Agustus itu juga harian “Suara Rakjat" telah dapat menyerahkan bulletin istiniewa berisi naskah Proklamasi.

Tapi Kenpeitai yang tetap waspada berhasil menyitanya. Radio Surabaya diawasi agar tidak dapat menyiarkan naskah Proklamasi itu.

Namun pada malam harinya Raio Surabaya toh dapat menyiarkannya yaitu di dalam siaran berita bahasa Madura.

Di Semarang Proklamasi Kemerdekaan disiarkan pada hari Jumat siang hari dari masjid. Persiapan untuk siaran ini dapat berlangsung cukup aman karena disangka siaran rutin seperti pada hari-hari Jumat biasa.

Ketika tiba waktunya hubungan dengan masjid, semua pendengar terkejut yang pertama-tama keluar dari radio bukannya suara adzan ataupun kotbah tetapi “Proklamasi 17 Agustus".

Sebagai akibat kerasnya penjagaan Jepang, di beberapa kota lain datangnya berita proklamasi agak lambat.

Sebetulnya juga di situ kalangan radio telah mengadakan persiapan-persiapan untuk menguasai instalasi siaran, terutama sejak mereka melalui radio rahasia mendengar BBC dan Radio Amerika mulai tanggal 26 Juli 1945 sampai 11 Agustus berulang-ulang mengumumkan syarat-syarat penyerahan kepada Jepang.

Tapi kewaspadaan Jepang menggagalkan usaha-usaha itu.

Di Yogyakarta kristal-kristal pemancar diambil semua oleh Jepang, hingga siaran radio di kota itu lenyap dari udara.

(Baca juga: Unik, Stasiun Radio Ini Membuat Program Khusus untuk Anjing yang Kesepian. Seperti Apa Isi Acaranya?)

Di Solo pada tanggal 18 Agustus kepala siaran Jepang memberitahukan kepada Maladi (kini Menteri Olahraga) dan Soetardi bahwa Jpang telah kalah.

Hari berikutnya tanggal 19 Agustus sudah ada perintah dari Hoso Kanrityoku Jakarta (Kepala Jawatan Radio) bahwa siaran-siaran harus dihentikan.

Perintah yang diberikan oleh Kepala Jawatan Radio Jepang di Jakarta itu berasal “dari Markas Besar Tentara Serikat di Timur Jauh”, — perintah yang ditanda tangani oleh Lord Louis Mountbatten.

Isinya: siaran-siaran radio semuanya harus dihentikan untuk sementara waktu – artinya menunggu perintah lebih lanjut dari kekuasaan Sekutu.

Nampak gawatnya situasi. Kita telah memproklamirkan kemerdekaan. Tapi tentara Jepang masih memegang senjata lengkap “untuk menjaga keamanan di Indonesia".

Kemudian akan datang Inggris yang akan menduduki Indonesia atas nama Sekutu dan menyerahkannya kepada Belanda, yang merasa berhak atas Indonesia.

Mengingat pentingnya radio antuk memelihara hubungan antara Pemerintah dan rakyat dalam perjuangan pejuang-pejuang kita segera bertindak.

Di Jakarta dengan dipelopori oleh “Pak Karbol” yaitu almarhum Dr. Abdulrachman Saleh (beliau kemudian gugur dalam kapal terbang bersama pahlawan Adisutjipto di Yogyakarta) mereka mempersiapkan pemancar-pemancar ilegal.

Tak lama kemudian “Radio Indonesia Merdeka” telah melayang di udara dari sebuah rumah di Gondangdia.

Dari tempat rahasia ini, yang dicari-cari oleh musuh, pemimpin-pemimpin kita menyampaikan pidato-pidatonya kepada rakyat Indonesia.

“Studio” lain terletak di Gedung Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sekarang. Dari tempat ini diadakan hubungan kawat dengan pemancar PTT di Bandung, alat yang terkuat pada waktu itu.

Berkat peralatan yang disiapkan secara mendadak ini “the Voice of Free Indonesia” dapat berkumandang di luar negeri.

Siaran-siaran “liar” ini diketahui oleh Kenpeitai Jepang. Tapi usaha mereka untuk menemukan pemancar-pemancarnya tak berhasil.

Juga di daeran-daerah telah bangkit kesadaran bahwa Pemerintah perlu segera menguasai radio.

Pada akhir bulan Agustus, Maladi, kepala jawatan radio di Solo mengirimkan surat-surat kepada pimpinan bangsa Indonesia di radio Semarang, Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Jakarta.

Maksudnya mengajak mengadakan rapat bersama di Jakarta, yang harus dihadiri oleh segenap perwakilan dari studio-studio di Jawa. Rapat akan diselenggarakan pada tanggal 11 September.

Setibanya di Jakarta wakil-wakil dari berbagai kota itu menuju ke tempat kediaman Mr. Utoyo.

Diputuskan untuk mencoba menghadap Presiden. Pagi-pagi tanggal 11 September mereka menuju Pegangsaan Timur. Usaha gagal karena Presiden kebetulan sangat sibuk dan tidak mungkin menerima.

Delegasi radio diberl nasehat untuk menghadap Sekretaris Negara A.G. Pringgodigdo S.H. yang kebetelan pada sore hari tanggal 11 September itu juga akan mengadakan pertemuan dengan wakil-wakil organisasi publisitet di Pejambon, gedung Deparlu sekarang.

Dari Pegangsaan Timur 56 delegasi menuju ke Studio Jakarta. Pada waktu petugas-petugas radio itu sedang berunding di sana, datang panggilan dari Kepala Bagian Umum Jepang, Okonogi. Maladi diminta saat itu juga menghadap di kantornya.

Okonogi marah-marah tanya, mengapa mereka berani datang di Jakarta dan mengadakan pertemuan dengan semua orang dari daerah tanpa izin terlebih dahulu dari hosokyoku-tjo masing-masing.

Dijawab Maladi: Nasib bangsa Indonesia terletak di tangan bangsa Indonesia sendiri.

Pemerintah Jepang sudah tidak mungkin lagi membantu bangsa Indonesia. Pegawai radio perlu diatur kedudukannya dalam Pemerintah Republik Indonesia.

Inilah sebabnya maka mereka berkumpul di Jakarta, pusat Pemerintahan Republik. Para petugas-petugas radio tidak minta izin dulu untuk berkonferensi karena waktu mendesak.

Beberapa hari lagi tentara Inggris akan datang di Jakarta. Ditegaskan pula bahwa mereka akan membentuk Persatuan Republik Radio Indonesia dan persatuan ini akan menuntut supaya semua pemancar Hosokyoku di semua tempat diserahkan kepada persatuan itu.

Di luar dugaan Okinogi menjadi tenang dan menghargai maksud-maksud para petugas radio. Ia malahan memberikan uang Rp200 untuk keperluan konferensi itu.

Tapi ia mengatakan bahwa sukar untuk menyanggupi penyerahan pemancar-pemancar. Namun ia tambahkan, “Tetapi baiklah tuan-tuan nanti malam datang di rumah saya untuk bercakap-cakap lebih lanjut.”

Panggilan Okinogi ternyata tidak mempunyai akibat seperti yang mereka takutkan. Rencana konferensi dapat dipertahankan. Atas persetujuan semua yang hadir “Pak Karbol” diminta memimpin konferensi itu.

Jam 17.00 sore delegasi Radio menuju ke Pejambon, menemui Sekretaris Negara seperti telah mereka rencanakan pagi itu.

Atas nama kawan-kawan Dr. Abdulrachman Saleh menyampaikan rencana-rencana para petugas radio, untuk mempersembahkan Radio Republik Indonesia kepada Presiden dan Pemerintah RI guna perhubungan dengan rakyat dalam perjuangan yang akan datang.

RRI minta bantuan pemerintah sambil menunggu keputusan Pemerintah mengenai status jawatan radio. Pemerintah menerima baik rencana-rencana itu dan menyanggupi segala bantuan.

Dari Pejambon delegasi menuju ke rumah Okinogi. Pembicaraan tidak membawa hasil sebab menurut petugas Jepang itu, “semua pemancar-pemancar dan alat-alat Hoso Kyoku sudah didaftar dan daftar itu sudah di tangan Komando Sekutu di Singapore.”

Jam 23.30 malam delegasi meninggalkan rumah Okinogi. Dia masih mengucapkan: Selamat Berjuang.

Rombongan petugas-petugas radio itu lalu menuju rumah Adang Kadarusman di Menteng Dalam. Tepat jam 24.00 tengah malam rapat dibuka oleh Dr. Abdulrachman Saleh.

Hadir wakil-wakil dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Purwokerto. Tidak hadirnya Surabaya dan Malang mudah dipahami berhubung dengan situasi gawat di waktu itu dan kesukaran teknis surat-menyurat dan komunikasi.

Rapat berlangsung sampai jam 6.00 pagi. Semua sepakat bahwa tanggal 11 September ditetapkan sebagai berdirinya Radio Republik Indonesia.

Suasana revolusi dan kemungkinan terjadinya pertempuran-pertempuran dengan Jepang, Inggris, atau Belanda mengilhami bagian pertama dari Tri Prasetia yang dibuat pada hari itu, ialah “menyelamatkan segala alat siaran radio dari siapapun yang hendak menggunakan alat tersebut untuk menghancurkan Negara kita; dan membela alat itu dengan segala jiwa-raga dalam keadaan bagaimanapun dan dengan akibat apapun.”

Antara lain diputuskan bahwa setiap studio berkewajiban mengusahakan agar semua pemancar dan alat-alat Hoso Kyoku diserahkan kepada RRI, “Pertama dengan jalan berunding dan kedua dengan jalan lain”.

Dalam rangka perjuangan masing-masing studio harus “mencari tempat di luar kota untuk dijadikan tempat-tempat perjuangan selanjutnya. Tempat-tempat itu harus “strategis”, dapat terhindar dari serangan-serangan musuh dan sebaiknya di pegunungan.”

Membacakeputusan-keputusan ini kita teringat kepada perebutan pemancar dan studio di beberapa kota. Antara lain dari tangan Jepang pada tanggal 27 September – jadi dua minggu sesudah rapat di Jakarta, di mana Surabaya tak dapat hadir.

Dengan diantar 300 pegawai hosokyoku yang bersenjata bambu runcing, kelewang, dan aneka macam senjata rajam, Soekiman (kini Kepala Jawatan RRI dan TVRI seluruh Indonesia) memasuki ruangan Mormoto, Kepala jawatan radio Jepang di Surabaya.

Ia menyodorkan naskah serah-terima. Mula-mula Morimoto menolak, tapi karena merasa terancam, akhirnya ia menyerah juga. Sore hari jam 18.00 “Radio Republik Indonesia” di Surabaya telah mengumandang di udara.

Sesudah Sekutu mendarat datang lagi gangguan-gangguan. Pada suatu hari datang Rapwi, semacam barisan palang merah internasional dalam tentara Sekutu.

Mereka minta pemancar di jalan Embong Malang. Katanya untuk berhubungan dengan pangkalan udara Kemayoran Jakarta.

Segera ribuan orang menuju Embong Malang untuk menghalang-halangi tindakan Rapwi yang secara paksa telah mengeluarkan pemancar dari pintu gedung.

Menghadapi ribuan rakyat akhirnya Rapwi mundur. Dengan tegas RRI menandaskan, boleh Rapwi mengambil pemancar, tapi harus minta izin dulu dari pemerintah RI.

Soekirman mengantarkan mereka ke tempat kediaman Pak Soedirman residen Surabaya waktu itu. Di jalan mampir di “Oranye Hotel” di jalan Tunjungan, karena Rapwi “mau memberitahukan dulu komandannya.”

Di Hotel seorang anggota Rapwi memperkenalkan diri sebagai Letnan de Balc. Dalam Rapwi ternyata ada militer-militer Belanda. Segera hal itu diberitahukan kepada Residen Surabaya.

Mendengar ini rakyat marah. Terjadi “peristiwa bendera”. Ribuan rakyat menyerbu Oranye Hotel, memanjat tiang bendera dan merobek lapisan terbawah dari bendera merah-putih-biru. Seorang Belanda Mr. Ploegman, tewas.

Untuk sementara keadaan tenang sampai tanggal 28 Oktober. Pada hari itu serombongan tentara Gurkha mendatangi rumah Soekirman, kepala RRI Surabaya.

Ia dipaksa mengikuti mereka ke studio di Simpang. Soekirman dipaksa menyerahkan semua kunci-kunci studio. Alat-alat dimatikan. Semua pegawai disuruh pulang. Hanya Pak Soekirman ditahan.

Tapi melalui pintu belakang ia berhasil melarikan diri.

Tapi sebelum peristiwa itu RRI telah melakukan tindakan-tindakan persiapan untuk menjamin siaran-siaran. Tanggal 28 Oktober jam 3 siang studio Simpang dikuasai Gurkha.

Dua jam kemudian jam 5 sore pemancar dan studio di Limbong Malang telah memancarkan suara RRI.

Tak lama kemudian studio di Simpang dibakar rakyat. Waktu api menjilat-jilat ke udara, nampak sebuah kapal terbang melayang-layang di atas kota.

Itu pesawat Presiden Soekarno yang datang di Surabaya untuk memerintahkan cease-fire antara Sekutu dan rakyat, yang telah menjepit pos-pos terdepan tentara Inggris.

Penghentian tembak-menembak tidak lama berlangsung. Sekutu berkhianat. Tanggal 10 November mereka mengadakan serangan besar-besaran dari Tanjung Perak dengan kapal terbang dan meriam-meriam dari laut.

Perjuangan revolusi di Surabaya mulai menghebat. Pemancar diungsikan ke Patemon. Sepanjang Mojokerto, Bondowoso.

Mengenai RRI Jawa Timur pantas dicatat pemancar-pemancar gerilya yang dibawa dari gubug satu ke gubug lain di daerah pegunungan Wilis.

Masih banyak lagi pemancar-pemancar “liar” semacam itu di Jawa. Antara lain “Kyai Balong”, yaitu pemancar gerilya yang ditempatkan di sebuah rumah gedeg di tengah-tengah rumpun-rumpun bambu di desa Balong, daerah gunung Lawu.

Wakil pemerintah Belanda di PBB sekitar awal revolusi pernah berkata, bahwa Republik Indonesia hanya “Republik Mikrofon”.

Pernyataan ini menggambarkan betapa besarnya peranan Radio Republik Indonesia dalam menegakkan Republik yang pada tanggal 17 Agustus 1945 itu kita proklamirkan.

(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 1965)

Artikel Terkait