Penulis
Intisari-Online.com – Sekarang kedengarannya memang mustahil, tetapi pernah ada zamannya mendengarkan radio merupakan pekerjaan subversif yang bisa dihukum berat.
Machfudi Mangkudilaga menceritakan pengalamannya dengan radio bungkam.
Setiap bulan September kita memperingati Hari Radio, karena pada bulan September 1945 Radio Republik Indonesia secara resmi mulai berkumandang di udara.
Untuk kita sekarang radio merupakan suatu hal yang biasa, yang sudah memasyarakat sampai ke desa-desa.
Kita dengan leluasa — tergantung kapasitas radionya tentu — dapat mendengarkan siaran radio yang kita sukai, entah itu Radio Republik Indonesia, radio swasta atau siaran dari luar negeri, seperti Radio Beijing, Moskwa, Australia, Belanda dan sebagainya.
Tetapi pernah kita tahu bahwa terdapat suatu keterbatasan dalam mendengarkan siaran radio- di Indonesia.
Jika kita membuka-buka buku penerbitan dokumentasi yang diedit oleh Prof.Dr. I.J. Brugmans dan Dr. H.J. de Graaf, yaitu Nederlandsch — Indie onder Japanse bezetting (Hindia Belanda di Bawah Pendudukan Jepang) dari Rijksinstituut voor Oorlogsdocumentatie Amsterdam (Lembaga Dokumentasi Perang di Amsterdam), dapat kita baca bahwa pemerintah Jepang berusaha- sejak mulainya pendudukan untuk mengisolasi Indonesia dari siaran-siaran luar negeri, dengan harapan agar siaran mereka sendiri tidak diimbangi oleh siaran lain.
Saya sendiri ingin menambah fakta yang tersebut dalam buku penerbitan dokumen di atas dengan pengalaman yang saya alami sendiri mengenai pembatasan penerimaan radio pada zaman Jepang itu.
Ketika Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942 saya masih kanak-kanak dan tinggal di kota Garut.
Pemerintah militer Jepang memerintahkan untuk mengumpulkan semua radio yang ada di kota Garut dan sekitarnya di suatu rumah bekas seorang Belanda yang telah ditawan.
Rupanya jumlah radio di kota Garut dan sekitarnya demikian "banyaknya", sehingga dapat terkumpul di satu rumah!
Selanjutnya yang ditugaskan untuk melaksanakan perombakan pada radio-radio itu adalah Bapak Yusuf, yang pada zaman Hindia Belanda menjadi dealer radio Philips dan Erres untuk kota Garut dan dengan demikian dipegawainegerikan, entah secara honorer atau tetap!
Saya tadi memakai kata perombakan, karena tiap radio dibuat sedemikian rupa (istilahnya pada waktu itu disegel), sehingga kita tidak mungkin mendengarkan lagi siaran luar negeri.
Jadi hanya dapat mendengarkan siaran-siaran pada gelombang antara 50 dan 130 meter, yaitu gelombang di mana siaran-siaran dalam negeri disiarkan dan barang siapa yang mencoba membuka segel itu dapat dihukum mati!
Hal ini disebutkan juga dalam buku Brugmans.
Tiap pemegang radio mempunyai surat izin memegang radio dan di muka rumah tiap pemegang izin radio dipasang papan kecil, kira-kira 15 cm panjangnya dengan huruf Katakana Jepang yang berjudul Ra Ji Yo disertai nomor surat izinnya, sehingga kita bisa mengetahui di rumah mana yang ada radio.
Hal itu berlaku terus hingga bulan Agustus 1945.
Setelah proklamasi kemerdakaan orang-orang secara spontan memutuskan segel itu, sehingga orang dapat mendengarkan dengan leluasa siaran-siaran, baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Pembatasan mendengarkan siaran radio saya alami lagi pada zaman, Dwikora, tahun enam puluhan, yaitu ketika Radio Malaysia secara resmi dilarang untuk didengarkan.
Tetapi pada waktu itu tidak diambil tindakan-tindakan yang nyata. Pernah pada tahun 1964 saya berdinas di Yogyakarta, di suatu kampung dan yang kedengarah dari rumah-rumah penduduk hanya siaran Radio Malaysia.
Ketika kita menghadapi Belanda dalam persoalan Irian Barat, maka Radio Hilversum (Belanda) tidak pernah dilarang.
Demikian juga BBC (Radio Inggris) selama Dwikora. Demikianlah beberapa pengalaman tentang pembatasan mendengarkan radio yang pernah terjadi di Indonesia ini.
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1983)