Utang Besar para Pejelajah Dunia pada Cengkih dan Pala Maluku, yang Dibayar dengan Cara Menyakitkan

Ade Sulaeman

Penulis

Dengan peta-peta yang lebih baik, penjelajah samudra abad ke-15 dan ke-16 mencari rute pelayaran menuju legenda itu.

Intisari-Online.com - Jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa di Nusantara, para pedagang Cina sudah mencapai Kepulauan Rempah di Maluku.

Mereka datang untuk membeli cengkeh sejak sekitar abad ke-3 SM—mungkin bisa jauh sebelumnya.

Sementara itu cengkeh mulai populer di Eropa baru pada abad ke-8.

Mereka memanfaatkannya baik sekedar pewangi, bahan campuran pengawet makanan, maupun obat.

Perdagangan cengkeh telah berpusat di Malaka selama beratus-ratus tahun sebelum akhirnya Portugis menguasainya pada 1511.

(Baca juga: Cengkih, Emas Cokelat Asli Indonesia)

Kalau perdagangan cengkeh Nusantara telah populer sejak dua ribu tahun lalu, pala tampaknya baru sohor pada 400 tahun silam.

Suatu ketika pada abad ke-17 harga buah pala sontak melejit di pasar Eropa.

Penyebabnya, seorang dokter di Elizabethan, Kota London, telah mengumumkan bahwa pala merupakan satu-satunya penyembuh penyakit radang paru-paru (pneumonic plague).

David Parry dalam buku pengantar Exhibition of Antiquarian Maps and Prints of Indonesia, berpendapat bahwa pala pernah menjadi komoditi termewah di pasar Eropa pada saat itu.

Kabarnya, tingkat balik modalnya berlipat hingga 32.000 persen!

(Baca juga: Cengkih Rokok: Lahir Dari Keisengan)

Pandangan kartografi tentang Asia pertama kali muncul dalam Geographia karya Ptolemaeus pada abad ke-2.

Dia merupakan seorang geografer, tetapi bukan penjelajah.

Pemeriannya tentang Asia, bahwa kawasan itu tidak dapat ditembus oleh penjelajah Eropa karena lautan yang mengelilinginya.

“Penemuan besar selama dua dekade antara 1492 dan 1512 mengubah persepsi manusia tentang bumi dan menandai lahirnya kartografi Renaisans,” demikian tulis Parry.

Penjelajahan dan pemetaan daerah baru telah didokumentasikan oleh Portugis.

(Baca juga: Ternyata Masyarakat Romawi Kuno Menggunakan Rempah Indonesia)

Sayangnya banyak peta yang tak terselamatkan—dan musnah.

Peta-peta karya kartografer masa itu menunjukkan wilayah Asia dengan garis pantai yang lebih akurat dan proporsi yang mendekati geografi sesungguhnya.

Rempah di Kepulauan Maluku telah membangkitkan pengembangan terhadap sejarah dan kartografi dunia.

Dengan peta-peta yang lebih baik, penjelajah samudra abad ke-15 dan ke-16 mencari rute pelayaran menuju legenda itu.

Sebut saja Bartolomeus Diaz, Fransisco Serrão, Ferdinand Magellan, Francis Drake.

(Baca juga: Dari Daging Jerapah Sampai Rempah-rempah Khas Indonesia, Ditemukan Sisa-sisa Makanan di Kota Pompeii)

Mereka berlomba-lomba untuk mencapai lokasi itu lewat kemampuan sumber daya manusia dan teknologi dalam bidang kartografi yang lebih baik.

Dalam perkembangannya, salah satu disiplin dalam ilmu bumi tersebut memadukan geografi, astronomi, survei, seni dan teknologi pembuatan peta atau globe.

Karya kartografer telah menjadi dokumen ilmiah, bahkan boleh dikategorikan hasil seni dan budaya yang menandai peradaban manusia.

Tak semua penjelajah mencapai daerah tujuannya.

Christoffa Corombo—atau lebih populer dengan sebutan Christopher Colombus—yang awalnya bertujuan ke Kepulaun Rempah, namun justru menyasar ke kawasan Amerika Selatan.

Atau, Ferdinand Magellan yang tewas saat pertempuran di Filipina dan tak pernah menjejakkan kakinya di Kepulauan Rempah.

Rempah telah membawa perubahan dalam peradaban dunia.

Berkat rempah pula banyak muncul nama penjelajah kampiun dan para pedagang masyhur.

Kartografer sohor dan penjelajah samudra Eropa berhutang budi kepada cengkih dan pala Maluku.

Dan, mereka telah membayar lunas dengan kolonialisme—babak baru tentang penderitaan dan pencerahan bagi pribumi.

(Mahandis Yoanata Thamrin)

Artikel ini sudah tayang di nationalgeographic.co.id dengan judul "Kartografi Dunia Berutang Kepada Rempah Maluku".

Artikel Terkait