Hari Pahlawan: 10 Fakta Pertempuran Surabaya 10 November 1945 yang Belum Terceritakan

Ade Sulaeman

Penulis

Pertempuran Surabaya tidak hanya soal penyobekan bendara Belanda di hotel Yamato dan pidato Bung Tomo. Masih banyak cerita yang bisa digali.

Intisari-Online.com -Selamat Hari Pahlawan. Apa yang ada di benak kita saat ditanya tentangPertempuran Surabaya 10 November 1945?

Sebagian besar akan menjawab penyobekan bendera Belanda di Hotel Yamato (sekarang Majapahit) dan pidato Bung Tomo yang berapi-api.

Tapi kita lupa, bahwa pertempuran pertama pasca-proklamasi kemerdekaan RI ini bukan soal dua hal itu saja.

Berikut cerita-cerita yang belum banyak diketahui khalayak terkait perang beda kekuatan itu.

Baca Juga : Hari Pahlawan: Ratmi B-29, Dikenal Sebagai Pelawak, Tapi Kok Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata?

Pertama,pertempuran Surabaya ini menjadi salah satu pertempuran yang paling tidak ingin diingat oleh Pasukan Sekutu, terlebih Inggris.

Bagaimana tidak, di kota inilah pasukan elite Inggris dipaksa mengibarkan bendera putih dan meminta bantuan pimpinan musuh (Republik) untuk menghentikan peperangan.

Kedua,Inggris tidak hanya kehilangan satu, tapi dua jenderal: Brigadier General Aubertin Walther Sother Mallaby dan Brigadier General Robert Guy Loder Symonds.

Ketiga, korban pertempuran ini memakan korban sekitar 20 ribu di pihak Republik dan 1.500 dipihak sekutu. Angka pastinya belum diketahui hingga sekarang.

Baca Juga : Hari Pahlawan: Saat Surabaya Disebut 'Kota Neraka' oleh Tentara Inggris Selama Pertempuran 10 November

Keempat, tewasnya Brigjen Mallaby disebabkan oleh kesalahpahaman. Dalam sebuah sosialisasi gencatan senjata, Mallaby menaiki mobil Buick milik Residen Surabaya, Sudirman.

Tanpa sepengetahuannya, tiba-tiba sebuah granat melayang dan mengenai mobil tersebut.

Mallaby tewas seketika. Tapi ada versi lain yang menyebut Mallaby tewas ditembak di tempat dari jarak dekat.

Kelima,Selain melibatkan Tentara Keamanan Rakjat, tentara Hizbullah, dan Sabilillah, pertempuran ini juga melibatkan TKR Chunking yang terdiri atas warga Tionghoa di Surabaya.

Keenam,jika Bung Tomo menggunakan radio untuk menggelorakan semangat arek Surabaya, seorang gadis Tionghoa, melalui radio yang dikelola komunitas Tionghoa setempat, berpidato menggunakan bahasa Inggris, meminta bantuan kepada Pemerintah Republik Tiongkok untuk membantu rakyat Surabaya.

Ketujuh, saat perang meletus, Bung Tomo justru ditawan oleh laskar.

Usut punya usut, penawanan itu adalah instruksi dari Cak Mus alias dr. Mustopo, Pemimpin Markas Besar Tentara Jawa Timur, untuk melindungi Bung Tomo yang dianggap sebagai orang penting.

Baca Juga : Hari Pahlawan: Kisah para Pahlawan yang Harus Bersemayam Tanpa Makam

Kedelapan, dalam sebuah orasinya, alih-alih mengutuk, Cak Mus justru memuji tentara NICA dan Sekutu.

Begini bunyi orasinya: “NICA, NICA, NICA, jangan mendarat. Inggris, kamu jangan mendarat.

Kalian tahu aturan Inggris, kalian pintar, sudah sekolah tinggi. Kalian tahu aturan, jangan mendarat!”

Kesembilan,untuk melawan tentara Sekutu, Bung Tomo dan pemuda lainnya aktif melobi Jepang untuk menyerahkan senjata.

Pada satu kesempatan, seorang bekas tentara Jepang ogah menyerahkan bayonetnya. Baginya yang seorang juru masak, bayonet itu sangat penting.

Bayonet itu biasa digunakannya untuk memasak. Tidak kehilangan akal, Bung Tomo menyuruh salah seorang pemuda untuk mencari sebilah pisau dan ditukarkan dengan bayonet itu.

Kesepuluh, saat pertempuran terjadi, banyak pemuda dari laskar-laskar yang ada di Surabaya belum tahu cara melempar granat.

Mereka tidak paham kalau sebelum dilempar, granat harus dicabut picunya terlebih dahulu.

Gambaran ini pernah disinggung sekilas oleh Imam Tantowi dalam filmnyaMerdeka atau Mati: Soerabaia 45.

(Moh Habib Asyhad)

Baca Juga : Hari Pahlawan: Kisah Pahlawan Tanpa Makam di Indonesia

Artikel Terkait