Penulis
Intisari-Online.com - Negara Myanmar yang saat ini sedang mendapat perhatian dunia internasioal terkait sikap rasialis pemerintahannya terhadap etnis minoritas Rohingya ternyata terus meningkatkan kekuatan tempur militernya.
Hingga tahun 2017 ini, selain telah memesan sebanyak 16 jet tempur multi fungsi JF-17 Thunder (FC-1 Xiaolong) produksi kerja sama China-Pakistan, Myanmar juga sudah mengoperasikan sejumlah drone (UAV) bersenjata buatan China, CH-3.
Kehadiran drone bersenjata ini jelas menjadi ancaman serius bagi kelompok minoritas Rohingya yang selama ini selalu menjadi sasaran operasi militer Myanmar.
Apalagi penggunaan drone bersenjata ketika dioperasikan untuk menyerang sasaran tidak bisa selektif sehingga semua warga Rohingya bisa menjadi korban.
Drone CH-3 diprodusksi oleh China Academy of Aerospace Aerodynamic of China Aerospace Science and Technology Corporation (CASC) yang juga dikenal sebagai 11th Academy of CASC.
(Baca juga: Disiksa dan Diperkosa, Inilah Kisah Pilu Wanita Rohingya)
Sebagai drone bersayap tetap untuk kepentingan tempur, Unmanned Combat Aerial Vehicle (UCAV), CH-3 yang memiliki wingspan 8 meter, menggunakan mesin dengan tiga bilah baling-baling dan bisa terbang selama 12 jam tanpa mengisi bahan bakar ulang.
Persenjataan yang bisa diusung oleh CH-3 yang mampu terbang sejauh 2.400 km itu mencapai berat maksimum hingga 80 kg.
Dalam misi tempur biasanya CH-3 dipersenjatai dua rudal udara ke darat pemandu laser AR-1 yang kemampuan daya hancurnya setara dengan rudal AGM-114 Hellfire buatan AS karena bisa menghancurkan satu tank lapis baja.
Rudal Hellfire merupakan senjata andalan drone tempur AS, RQ-1 Predator.
Selain militer Myanmar, drone tempur CH-3 juga sudah dioperasikan oleh militer Nigeria dan Pakistan.
(Baca juga: Aung San Su Kyi Dikritik oleh Dalai Lama tentang Isu Rohingya)
Bukti-bukti drone sebagai senjata ‘’biadab’’ ketika dioperasikan adalah banyaknya penduduk sipil Afghanistan yang tewas akibat penggunaan drone bersenjata oleh militer AS.
Drone yang dioperasikan militer AS di Afghanistan ditujukan untuk membunuh para tokoh teroris, tapi karena para teroris juga tinggal bersama warga yang tidak bersalah, ketika diserang drone mereka ikut jadi korban.
Tragedi seperti di Afghanistan ini akan terulang jika militer Myanmar menggunakan drone-dronenya untuk menyerang warga Rohingya.