Hayo, Kiwi itu Flora atau Fauna?

Moh Habib Asyhad

Penulis

Saking populernya nama kiwi, sampai semir sepatu pun diberi nama itu. Gadis Maori yang bersahabat dengan gadis jujur ti Cipeuyeum juga disiarkan sebagai gadis kiwi.

Intisari-Online.com – "Kiwi itu flona!" jawab seorang teman berolok-olok dengan serius. Makhluk yang disebut kiwi memang ada dua.

Burung tanpa sayap yang hidup malu-malu dalam hutan Selandia Baru, dan tanaman asal Cina yang dikaryakan di negeri itu juga. Kebetulan buahnya berbulu coklat seperti bulu burung itu.

Saking populernya nama kiwi, sampai semir sepatu pun diberi nama itu. Gadis Maori yang bersahabat dengan gadis jujur ti Cipeuyeum juga disiarkan sebagai gadis kiwi.

Nama itu diberikan oleh orang Maori karena pekik burung itu memang kwi-wii ... kwi-wii ....

Ternyata kemudian, nama itu hanya berlaku bagi jenis yang berbulu coklat Apteryx australis.

(Baca juga:Tom Currie, Pria Asal Selandia Baru yang Rela Berhenti Bekerja Demi Berburu Pokemon)

Jenis serupa tapi tak sama yang berbulu abu-abu bertubuh kecil A. oweni, mereka sebut puku-puku.

Sedangkan jenis yang abu-abu bertubuh besar A. haasti, mereka panggil roa-roa.

Tiga jenis kiwi itu hidup endemik (hanya di kawasan itu) di Selandia Baru, sampai gambarnya dipakai sebagai simbol nasional negeri itu.

Mata uang, prangko, meterai, cap jawatan. Semuanya memakai gambar kiwi.

Hidungnya di ujung paruh

Tubuh burung itu tidak seperti burung biasa, tetapi seperti anak ayam terus, sampai tua.

Panjangnya memang bisa sampai 50 cm, dengan tinggi 40 cm, tetapi tubuhnya tetap membulat seperti day old chick.

Bulunya juga tetap halus seperti bulu anak ayam, mirip rambut. Dilihat dari jauh yang agak dekat, bulu kiwi seperti rambut orang yang tidak disisir.

Karena tinggal di lantai hutan lebat, ia terpaksa makan binatang kicit penghuni tanah, seperti cacing, anak serangga macam uret, lundi-lundi, bernga, dan buah beri yang jatuh di tanah.

Untuk itu ia dikaruniai oleh-Nya sebatang paruh yang panjang untuk mendangir tanah dan menyedot mi cacing dan kudapan serangga.

Paruh ini rata-rata sepanjang 15 cm, tetapi pada jenis roa-roa bisa sampai 20 cm.

Matanya rabun, tapi itu agaknya tidak I menjadi soal, karena ia mencari makan pada malam gelap gulita.

Jadi cukup diciumi saja dengan lubang hidungnya yang ekstra tajam. Lubang ini dipasang pada ujung paruh yang panjang itu.

Sebagai binatang malam, ia sulit dijumpai pada siang hari, sehingga masih jarang yang mengetahui etologi (sepak terjang)-nya yang rinci.

Bukan karena ia sudah langka atau terancam punah, tetapi karena ia memang malu bertemu orang, dan segera lari dalam gelap gulita hutan malam.

Tahu-tahu ditemukan bahwa telurnya besar sekali. Sebutir yang rata-rata berukuran 7,5 x 13 cm bisa sampai setengah kilo bobotnya, dari induk seberat 2 kg.

Itu berarti 1/4 bobot tubuh induknya. Dibandingkan dengan telur ayam yang hanya seberat 55 g, dari induk 2.500 g (berarti cuma 1/45 bobot induknya), telur kiwi jadi paling besar di kalangan semua telur burung kecil.

Ayah yang malang

Anehnya, yang bertugas mengerami telur justru pakne tole (bapaknya anak-anak). Tidak tanggung-tanggung!

Tujuh puluh lima hari lamanya bapak yang malang ini harus mengerami telur dengan sabar dan tawakal.

Sesudah anaknya menetas pun, pak kiwi masih meneruskan mengemban tugas sebagai pramusiwi.

(Baca juga:Manfaat Buah Kiwi Sepadan dengan Harganya yang Mahal)

Sampai berminggu-minggu nak kiwi masih ikut pak kiwi, dalam rangka kaderisasi generasi muda yang cakap mencari nafkah sendiri. Tidak ada musuh yang perlu ditakuti, memang!

Akan tetapi kiat mendangir tanah, dan mencium mana makanan yang bisa disedot dengan aman, dan mana yang beracun, masih perlu dipelajari dari suri teladan bapak pembina.

Diduga, karena dulu tidak pernah ada musuh yang perlu dihindari dengan terbang itulah, anak-cucu kiwi modern zaman sekarang dilahirkan dengan sayap rudimenter yang tinggal sebatang korek api.

Tidak tampak dari luar, karena sayap itu tertutup sama sekali oleh bulu tubuh yang seperti rambut.

Nyonya kiwi bagaimana kabarnya?

Oh, ia hanya bertugas bertelur. Selesai menaruh telur ke dalam sarang (biasanya 2 butir), ya sudah! Habis perkara!

Sarang keluarga berencana kiwi berupa lubang yang digali oleh suami di bawah akar pohon hutan yang besar. Atau sisi tebing tanah yang terlindung dari guyuran air hujan.

Dalam sarang inilah mereka tidur sepanjang hari. Baru kalau sudah mulai malam, mereka keluyuran mencari makan.

Pelestarian ex situ

Populasi burung kiwi di Selandia Baru makin menurun. Bukan karena diburu orang, atau digusur lingkungan hutannya oleh pengembang real estate, tapi karena banyak yang terperosok masuk perangkap opossum (binatang berkantung) juga. Kebanyakan kakinya terjepit alat penjebak ini.

Pemerintah Selahdia Baru kemudiah mengeluarkan undang-undang perlindungan kiwi. Barang siapa yang menemukan kiwi terjebak, sakit, mati, atau setengah mati, wajib hukumnya untuk membawanya ke dokter hewan terdekat.

Dokter ini pun wajib hukumnya untuk merawat kiwi sakit atau patah kaki. Kalau kiwinya mati, dokter hewan harus mengeluarkan visum et repertum tanpa menunggu selesainya surat permintaan resmi dari juru tulis polisi.

Visum dipakai untuk melapor ke Sub Balai Konservasi Alam terdekat.

Untuk apa susah payah itu semua? Hanya untuk dicatat!

Kiwi yang sembuh juga wajib hukumnya untuk dipelihara di Orana Park Wildlife Reserve. Semacam Taman Nasional seperti Ujungkulon kita, tetapi dilengkapi dengan rumah sakit hewan seperti Taman Safari Indonesia di Cisarua.

(Baca juga:Inilah Tujuan Prajurit TNI Digembleng dengan Pemahaman soal Flora dan Fauna)

Sejak tahun 1979, Orana Park ditetapkan oleh menteri pertaniari Selandia Baru sebagai tempat pemeliharaan dan rehabilitasi kiwi sakit, atau luka karena jebakan opossum.

Opossum ini mengganggu dan merugikan usaha pertanian, sampai para petani memasang alat penjebak untuk memberantasnya. Tetapi yang terjebak sampai patah kaki malah burung kiwi.

Omong-omong, apa bisa undang-undang itu dipatuhi dan dilaksanakan? Apa tidak ditertawakan karena naifnya kepercayaan yang begitu besar kepada rakyat?

Ternyata tidak ditertawakan atau diremehkan! Sebab, undang-undang itu diciptakan oleh para wakil rakyat berdasarkan aspirasi rakyat sendiri di Dewan Perwakilan Rakyat.

Kiwi yang buah

Antara bulan Mei dan Oktober (musim semi dan panas di Cina); tanaman gosberi Cina Actinidia chinensis berbunga dan berbuah.

Dalam bulan itu pula seluruh dunia, termasuk Indonesia, dibanjiri buah itu. Mula-mula masih mahal, tetapi makin lama makin murah karena banjir.

Sekilas buah gosberi ini mirip sawo, tetapi kulitnya berbulu rapat, sampai terbayang sebagai bulu burung kiwi.

Orang Selandia Baru tidak mau menyebutnya Chinese gooseberry lagi, tapi enak saja kiwi fruit. Orang Cina tidak ada yang protes, karena masih banyak pekerjaan lain yang perlu diselesaikan.

Nama gooseberry memang sudah usang dan tidak cocok bagi buah kiwi.

Dulu nama itu diberikan oleh orang Inggris abad XII kepada semak belukar daerah beriklim empat Eropa, Ribes uva-crispa (dari suku Saxifragaceae), karena buahnya yang diolah menjadi saus asam pedas dipakai untuk menyantap "potong bebek angsa masak di kuali".

Tetapi gosberi Cina bukan semak belukar Ribes, melainkan liana berkayu yang merambati batang tanaman lain dari daerah subtropis dan beriklim empat Asia Timur Raya, Actinidia chinensis dari suku Actinidiaceae.

Jelas bukan gosberi, meskipun disebut salah kaprah Chinese goosberry. Makanya benar juga kalau orang Cina diam saja tatkala tanamannya disebut kiwi.

Kalau buah itu dikupas kemudian diiris melintang, terlihatlah daging buahnya yang hijau muda dengan deretan biji kecil di sekeliling empulur buah yang putih.

Biji ini seperti biji wijen tapi berwarna hitam. Sangat dekoratif, kalau dipakai mengiringi hidangan selada, puding, kue tar, atau fruit cocktail.

Rasanya segar asam-asam manis bagi mereka yang masih muda dan tahan banting. Bagi mereka yang sudah manula dan lansia, buah itu lebih banyak asamnya daripada manisnya.

Tapi tidak mengapa! Buah eksotik itu sedang in. Jadi dimaafkan saja, dengan promosi: "Banyak kok, vitamin C-nya!"

Penampilannya yang menarik, dan aromanya yang agak mirip melon, membuat buah itu menjadi bahon percakapan yang menyenangkan pada acara pertemuan para selebriti yang kekurangan bahan.

(Baca juga:Flora Borsi, Fotografer Seni yang Membuat Foto Gabungan Manusia dan Hewan dengan Sangat Indah serta Menakutkan)

Perambat pergola

Buah itu dipetik dari tanaman perambat yang cepat sekali tumbuhnya. Karena itu, petani pekebun yang menanamnya harus menyediakan kawat rambatan.

Tetapi para hobiis tanaman di rumah merambatkannya ke pergola saja.

Kalau dibiarkan tumbuh liar, tanaman itu bisa sampai 8 m tingginya (atau panjangnya, kalau dirambatkan mendatar), tetapi lazimnya ia dipangkas agar bisa merayap melebar menutupi atap pergola.

Sebelum berbuah, kiwi itu juga berbunga. Tetapi anehnya, bunga ini tidak mengeluarkan nektar calon madu.

Ditambah dengan warnanya yang putih agak kuning coklat menyebalkan, ia sama sekali tidak menarik bagi mata serangga penyerbuk bunga.

Para petani kiwi tidak kekurangan akal. Ditanam saja varietas kiwi penghasil bunga jantan yang melimpah tepung sarinya, di tengah tanaman betina penghasil putik.

Kemudian ia menaruh kandang lebah yang cukup banyak di tengah kebun kiwinya. Para lebah ini mau tidak mau terpaksa mampir ke bunga jantan itu.

Di sana bulu tubuhnya ditempeli serbuk sari. Kemudian ia menyebar serbuk ini dalam bunga kiwi betina yang disinggahi dalam penerbangan berikutnya.

Kunjungannya bukan karena ada nektar, tapi karena ingin tahu saja, kok ada bunga yang menunggu dikunjungi!

Bunga dan buah kiwi muncul hanya sekali setahun pada cabang yang sudah tua. Sesudah itu, cabang tidak berbuah lagi. Untuk apa dipertahankan?

Jadi dipangkas saja pucuknya yang masih muda, supaya bisa tidur nyenyak selama musim dingin, karena bebas cabang muda yang ikut kedinginan.

Cabang tua akan bertunas lagi lebih banyak pada musim semi berikutnya. Di antara tunas baru inilah ada tunas kuncup bunga yang kelak akan menjadi buah. (Slamet Soeseno)

(Seperti dimuat di Majalah Intisari edisi September 1996)

Artikel Terkait