Penulis
Intisari-Online.com – Tahun 2005, saya diterima sebagai pegawai negeri sipil di sebuah rumah sakit jiwa di Bali.
Profesi saya perawat. Hari pertama masuk kerja, pikiran saya dipenuhi perasaan khawatir dan takut.
Waktu kuliah, saya kurang mendalami bidang kesehatan jiwa karena memang tidak menyukainya.
(Baca juga:Suka Menimbun Barang? Bisa Jadi Anda Sakit Jiwa)
Di pikiran saya, pasien rumah sakit jiwa identik dengan orang-orang berperilaku aneh, penuh dengan kekerasan fisik.
Tapi bayangan itu berubah ketika saya bertemu seorang pasien. Saat itu ia sedang duduk santai sambil merokok di bawah pohon leci.
Dengan agak takut, saya memberanikan diri menyapanya. Saya memperkenalkan diri kepadanya lalu bertanya kepadanya tentang nama dan keadaannya.
Di luar dugaan saya, ternyata dia bisa menjawab semua pertanyaan saya dengan tertib dan sangat lancar.
Sama sekali jauh dari kesan seorang yang menderita gangguan jiwa.
Dengan sangat lancar dan penuh keyakinan ia bercerita, "Saya sudah lima kali keluar masuk rumah sakit. Kata dokter, saya menderita skizofrenia paranoid. Tiap hari saya harus minum klorpromazin, stelazin, dan triheksifenidil.
Di rumah, saya putus obat karena tidak tersedia obat yang harus saya minum. Karena tidak minum obat selama tiga hari, penyakit saya kambuh lagi, akhirnya saya masuk rumah sakit lagi."
Mendegar jawabannya yang lancar itu, saya sungguh merasa malu di dalam hati. Ternyata pasien itu jauh lebih pintar daripada saya.
(Baca juga:Ternyata Simpanse Juga Bisa Belajar Bermain Hompimpa, Bagaimana Caranya?)
Terus terang, saat itu saya masih belum begitu paham dengan penyakit skizofrenia. Saya pun masih belum begitu tahu tentang obat yang diminum pasien tadi.
Setelah pertemuan saya dengan pasien itu, saya menjadi giat belajar tentang penyakit jiwa. Agar tak kalah pintar dari pasien.
(I Made Wirnata, di Gianyar, Bali/Intisari)