Konflik Indonesia-Malaysia ‘Kambuhan’, Hanya Inilah ‘Obat Paling Manjur’ untuk Mengatasinya Menurut Pak Harto

Ade Sulaeman

Penulis

Pada 1961-1966 meletus konfrontasi Indonesia dan Malaysia yang kemudian memicu konflik bersenjata di perbatasan.

Intisari-Online.com - Pada 1961-1966 meletus konfrontasi Indonesia dan Malaysia yang kemudian memicu konflik bersenjata di perbatasan.

Pertengahan tahun 1964 konfrontasi Indonesia-Malaysia makin memuncak apalagi setelah pasukan TNI AU menerjukan sekitar 100 pasukan ke wilayah Labis dan kemudian Johor.

Aksi ini nyaris menyulut aksi balasan besar-besaran yang akan dilancarkan RAF dan AL Inggris.

Jika pesawat-pesawat tempur RAF yang berpangkalan di Singapura sampai menyerang Jakarta, konflik Indonesia-Malaysia pasti berubah kepada kondisi yang sangat merugikan Indonesia.

Untuk mengatasi hal terburuk itu, Mayor Benny Moerdani yang bersama sejumlah pasukan RPKAD sedang melakukan operasi intelijen, dipanggil pulang ke Jakarta pada bulan Agustus 1964.

Untuk pulang ke Jakarta dari pedalaman Kalimantan bukan sesuatu yang mudah bagi Benny.

Pasalnya ia harus berjalan kaki selama empat hari ke kawasan Long Sembiling, lalu disusul melewati belasan jeram sebelum mencapai sungai besar yang menjadi sarana transportasi utama di Kalimantan.

Setelah menyusuri sungai besar tersebut Benny pun akhirnya tiba di Tarakan dan selanjutnya terbang ke Jakarta.

Menyadari bahwa jika pasukan Inggris sampai mengerahkan seluruh kekuatannya akan berakibat fatal, pemerintah Indonesia pun segera melakukan penyempurnaan terhadap organisasi pertahanannya.

Komando KOGA yang menurut Presiden Soekarno dianggap tidak bisa berjalan efektif kemudian diubah menjadi Komando Mandala Siaga (KOLAGA).

Dalam struktur komando ini Omar Dhani menjabat panglima namun kekuasaannya mulai berkurang karena wilayah komandonya dibatasi hanya di mandala Sumatra dan Kalimantan.

Kewenangan komando Omar Dhani semakin surut setelah pada 1 Januari 1965, Soekarno menunjuk Mayjen Soeharto sebagi Wakil Panglima I Kolaga.

Wibawa Omar Dhani pun makin merosot akibat kehadiran Soeharto yang telah sukses menggelar Operasi Trikora itu.

Sebagai Wakil Panglima I Kolaga dan sekaligus Panglima Kostrad, Soeharto segera melaksanakan perjalanan di seluruh wilayah Kalimantan Utara dan Sumatra Utara.

Dari semua wilayah yang dikunjungi sesuai perintah Dwikora akan dilaksanakan serangan besar-besaran terhadap Malaysia.

Tapi Soeharto ternyata punya pertimbangan tersendiri terhadap perkembangan situasi yang kritis dari konflik Indonesia-Malaysia.

Pertimbangan Soeharto terhadap konflik yang makin memanas itu menjadi semakin realistis sejak munculnya gerakan G30S/PKI yang mengakibatkan korban sejumlah jenderal AD, salah satunya adalah Achmad Yani.

Gerakan G30S/PKI yang berhasil ditumpas berkat ketegasan kepimpinan Soeharto itu makin membuat wibawanya naik daun.

Beberapa minggu kemudian Omar Dhani yang dianggap berada dibalik G30S/PKI diberhentikan dan Panglima Kolaga langsung diserahkan kepada Soeharto.

Tak lama kemudian disusul munculnya Supersemar 11 Maret 1966 yang berisi surat perintah penyerahan kekuasaan kepada Soeharto.

Dengan modal kekuasaan dan wibawa yang dimilikinya Soeharto pun memiliki kebijakan sendiri untuk mengatasi konfrontasi Indonesia –Malaysia.

Secara diam-diam Soeharto kemudian membuka operasi rahasia yang bersifat khusus. Untuk melaksanakan operasi tersebut ternyata dipercayakan kepada Benny.

Tujuan operasi khusus itu sendiri ada dua target. Pertama, melakukan usaha penggalangan dengan para tokoh masyarakat dan partai-parati politik di Malaysia yang tidak mendukung pembentukan negera Malaysia.

Melalui orang-orang yang mendukung itu, mereka akan dimanfaatkan untuk mendukung perjuangan Indonesia.

Kedua, mengkaji secara mendalam kebenaran persepsi dan sikap formal pemerintah Indonesia yang beranggapan Indonesia memang telah dikepung oleh Nekolim Malaysia.

Sementara sasaran inti operasi khusus adalah seluruh potensi yang anti federasi dan pro pemerintah Indonesia serta mereka yang kemungkinan menyetujui adanya gagasan untuk mengakhiri konfrontasi secara damai.

Namun jika operasi khusus itu menemui kegagalan semua kekuatan militer Indonesia siapkan melakukan penghancuran fisik terhadap Malaysia.

Mujur operasi khusus yang bersifat intelijen dan diplomatik yang dilakukan tim Benny, akhirnya berjalan lancar sehingga konfrontasi antara Indonesia-Malaysia bisa diselesaikan secara damai dan terhindar dari bentrokan militer dalam skala besar.

Pemecahan secara damai melalui pendekatan diplomatik seperti yang pernah digagas Pak Harto itu bahkan merupakan resep obat paling mujarab untuk membereskan konflik-konflik yang mungkin timbul di masa yang akan datang.

Artikel Terkait