Penulis
Intisari-Online.com - Sebuah video yang menunjukkan dispenser sabun mandi otomatis yang gagal mendeteksi tangan pria berkulit gelap telah menjadi viral dan menimbulkan pertanyaan tentang rasisme dalam teknologi, dan juga kurangnya keragaman dalam industri yang menciptakannya.
Video itu diunggah ke Twitter pada hari Rabu oleh Chukwuemeka Afigbo, kepala platform kemitraan Facebook di Timur Tengah dan Afrika.
Dia mencuit, “Jika Anda pernah memiliki masalah memahami pentingnya keragaman dalam teknologi dan dampaknya terhadap masyarakat, tonton video ini.'
Video dimulai dengan seorang pria kulit putih yang mengangsurkan tangannya di bawah dispenser dan dispenser langsung mengeluarkan sabun pada percobaan pertamanya. Kemudian, seorang pria berkulit gelap melakukan hal yang sama namun sabun tak keluar.
Lalu tangannya memegang tisu yang berwarna putih.
(Baca juga:Atlet Berhijab AS Ini Balas Kebijakan Rasis Trump Dengan Medali Emas)
O la la …. Sabun itu keluar.
Mengapa sabun hanya keluar jika mendeteksi warna putih?
Sepertinya dispenser sabun ini menggunakan sensor inframerah untuk mendeteksi tangan dan mengucurkan sabun. Sudah banyak diketahui bahwa sensor ini memiliki riwayat gagal mendeteksi warna kulit yang lebih gelap karena memang begitu dalam rancangannya.
Alat itu mengirimkan cahaya tak terlihat dari bohlam LED inframerah dan bekerja saat sebuah tangan memantulkan cahaya kembali ke sensor. Nah, kulit yang lebih gelap menyebabkan cahaya yang tak terlihat itu diserap alih-alih dipantulkan. Alhasil sabun pun tidak dikeluarkan.
Cuitan tadi telah dibagi lebih dari 93.000 kali, dan video tersebut telah dilihat lebih dari 1,86 juta kali.
(Baca juga:Inilah 6 Cara Ajari Anak Agar Tak Rasis)
Juga memicu lebih dari 1.800 komentar, banyak di antaranya yang mengatakan bahwa ini sebagai contoh lain dari kurangnya keragaman dalam teknologi. "Intinya adalah masalah teknis ini diakibatkan oleh kurangnya perhatian para konsumen. Jika seseorang peduli dengan konsumen, pasti bisa digunakan,” komentar salah satu akun.
Namun, yang lain berpendapat bahwa terlalu jauh mengaitkan ketidakmampuan dispenser ini dengan ras dan keragaman.
Banyak yang mengaitkan dengan memanasnya suhu AS akibat ras akhir-akhir ini. Padahal, menurut beberapa ini bukan masalah sosial, dan orang-orang hanya mencari alasan untuk berkelahi.
Komentar-komentar itu menjadi ajang perdebatan dua pihak yang berseberangan.
Dispenser sabun itu tampaknya berasal dari Shenzhen Yuekun Technology, produsen China.Ketika dibeli dalam jumlah yang banyak, harganya AS$15 (sekitar Rp195 ribu) dan diiklankan sebagai dispenser desinfektan 'tanpa sentuhan'.
DailyMail.com telah menghubungi produsen untuk memberikan komentar.Menurut spesifikasi produk, dispenser ini menggunakan sensor inframerah untuk mendeteksi tangan dan mengeluarkan sabun.
Tidak ada produsen sensor inframerah yang bersedia untuk dimintai komentar, namun diketahui sensor ini memiliki riwayat gagal mendeteksi warna kulit yang lebih gelap karena perancangannya.
Jenis sensor ini bekerja dengan mengukur cahaya inframerah (IR) yang memancar dari benda-benda di bidang pandangnya.
Intinya, dispenser sabun mengirimkan cahaya tak terlihat dari bohlam LED inframerah dan bekerja saat sebuah tangan memantulkan cahaya kembali ke sensor.
Kulit yang lebih gelap bisa menyebabkan cahaya diserap daripada dipantulkan kembali, yang berarti sistem mengartikan tidak ada sabun yang akan dikeluarkan.
“Jika objek pemantul benar-benar menyerap cahaya itu, maka sensor tidak akan pernah dipicu karena tidak cukup cahaya untuk memicunya,” kata Richard Whitney, VP Produk Particle, pada Mic tahun 2015 untuk referensi video viral lain dari ‘dispenser sabun rasis."
(Baca juga:Melawan Rasisme Melalui Lagu)
Jenis teknologi lainnya yang dikaitkan dengan rasisme adalah kecerdasan buatan (AI).
Itulah yang terjadi saat kontes kecantikan pertama di dunia dengan penilainya dari AI, yang program komputer tidak memilih satu orang pun peserta berkulit warna dari hampir 50 pemenang lainnya.
Perusahaan tersebut mengakui kepada Observer bahwa sistem kontrol kualitas yang dibangun mungkin telah mengecualikan beberapa gambar ketika latar belakang dan warna wajah tidak membantu membuat analisis yang tepat.”
Awal tahun ini, alat kecerdasan buatan yang telah merevolusi kemampuan komputer untuk menafsirkan bahasa ditunjukkan untuk memamerkan bias ras dan gender.
Joanna Bryson, seorang ilmuwan komputer di University of Bath dan rekan penulis penelitian tersebut, mengatakan kepada The Guardian bahwa AI memiliki potensi untuk memperkuat bias yang ada.
"Banyak orang mengatakan bahwa hal ini memperlihatkan kalau AI berprasangka buruk," katanya.
Industri teknologi secara keseluruhan berada dalam praktik diskriminasi yang ketat mengenai jenis kelamin dan ras sepanjang tahun 2017.