Find Us On Social Media :

Gawat, 83 Tahun Lagi Wilayah Asia Selatan Tidak Bisa Dihuni Manusia Karena Hal Ini

By Moh Habib Asyhad, Senin, 14 Agustus 2017 | 18:45 WIB

Intisari-Online.comPerubahan iklim semakin parah saja. Selain membuat es di Kutub mulai mencair, perubahan iklim juga akan membahayakan warga di Asia Selatan.

Dilansir dari time.com, sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Science Advances, menemukan bahwa warga di Asia Selatan diperkirakan akan mengalami kondisi suhu yang sangat panas dan kelembaban di mana orang tidak dapat bertahan tanpa AC pada 2100.

(Baca juga: Menyedihkan! 5 Pulau yang Sangat Cantik Ini Akan Lenyap karena Perubahan Iklim)

Efek kenaikan suhu yang ekstrim ini akan membuat masalah pada kesehatan pada orang yang terlalu sering berada di luar pada suhu tinggi.

Seperti pekerja lapangan, supir, petani, dan masih banyak lagi.

“Jika petani mengalami masalah kesehatan, maka produksi pertaniannya otomatis terganggu,” ucap penulis studi, Elfatih Eltahir.

“Jika produksi terus menurun, maka berpotensi semua orang akan menderita kelaparan.”

Saat ini, suhu tidak sehat yang ekstrem di Asia Selatan, mencakup negara India, Pakistan, dan Banglades, mempengaruhi sekitar 15% populasi wilayah ini.

Contoh mudahnya ketika gelombang panas tahun 2015 yang menewaskan lebih dari 2.500 orang.

Periset mencatat bahwa skenario bencana ini dapat dihindari jika negara-negara memenuhi komitmen mereka untuk menjaga agar suhu tidak naik lebih dari 2 derajat Celcius pads 2100 sesuai Perjanjian Paris 2015.

Apalagi Asia Selatan memang menempati urutan teratas dalam daftar daerah yang paling terancam karena pemanasan global.

(Baca juga: Warga India dan Pakistan Mengubah Foto Profilnya untuk Mengirim Pesan Perdamaian kepada Pemerintah Masing-masing)

Eltahir menemukan bahwa sejumlah kota di sana akan mencapai ambang suhu yang sama sekali tidak dapat dimofikasi lagi pada tahun 2100.

“Kami telah membangun seluruh infrastruktur dengan suhu tertentu,” ucap Matthew T. Huber, seorang profesor Geografi di Syracuse University pada awal tahun.

“Namun ketika suhu menjadi sangat tinggi dan tidak terkendali, kami tidak memiliki kapasitas material untuk mengatasinya.”