Begini Kamboja Melawan Perdagangan Seks Anak-anak, Tak Perlu Sungkan, Indonesia Bisa lo Menirunya

Agus Surono

Penulis

Ilustrasi

Intisari-Online.com - Sephak berusia 13 tahun saat dia dijual “kegadisannya” oleh ibunya.

Sebelumnya dia dibawa ke rumah sakit untuk memperoleh sebuah sertifikat yang mengkonfirmasikan keperawanannya. Kemudian ia dibawa ke sebuah kamar hotel tempat dia diperkosa berhari-hari. Dia kembali ke rumah setelah tiga malam.

Sephak tumbuh di Svay Pak, sebuah desa nelayan miskin di pinggiran ibu kota Kamboja, Phnom Penh. Ini adalah komunitas yang telah terkenal sebagai tempat untuk membeli seks anak.

Ibunya, Ann, mengatakan bahwa keluarganya telah mengalami masa-masa sulit. Mereka kemudian meminjam uang pada lintah darat yang berujung pada hutang sebesar AS$6.000 (sekitar Rp78 juta).

Ketika pemberi pinjaman mengancam Ann, ia pun tak bisa menolak ketika seorang wanita mendekatinya dan menjanjikan sejumlah uang dengan satu syarat.

Keperawanan putrinya!

(Baca juga:Indonesia Nomor Tiga di Asia Tenggara Soal 'Belanja Seks')

Sephak mengatakan ibunya memperoleh uang AS$800 (sekitar Rp10,4 juta) sebagai bayaran keperawanannya. Tapi setelah Sephak kembali, ibunya memaksanya untuk bekerja di rumah pelacuran.

Ann mengatakan bahwa dia menyesali keputusannya dan bahwa jika dia tahu apa yang dia ketahui sekarang, dia tidak akan pernah menjual putrinya.

Proyek Kebebasan CNN pertama kali berbicara dengan Sephak pada tahun 2013, bersama dengan korban perdagangan anak lainnya, sebagai bagian dari film dokumenter tentang perdagangan seks di Kamboja.

Sephak diselamatkan dari masa lalunya oleh LSM anti perdagangan manusia Agape International Missions (AIM). Sekarang ia tumbuh menjadi seorang wanita, lalu bekerja sama dengan orang-orang yang selamat lainnya di sebuah pabrik yang dikelola oleh AIM.

Mereka memperoleh uang dengan membuat gelang dan pakaian.

"Hari ini, saya merasa lebih mantap secara jiwani. Tidak terlalu mantap tapi cukup," kata Sephak. "Sekarang saya memiliki pekerjaan yang layak. Saya sangat ingin orang lain memiliki jenis pekerjaan seperti saya."

(Baca juga:Banyak Negara Meragukannya, Negara Asean Ini Justru Puji Habis-habisan Vaksin China dan Akan Terus Menggunakannya)

Don Brewster dari Amerika mendirikan AIM pada tahun 2005 untuk memerangi perdagangan anak di Kamboja. Mantan pastor ini mengatakan bahwa sejauh ini AIM telah menyelamatkan lebih dari 700 orang.

Sebagian besar usahanya difokuskan ke Svay Pak, daerah dengan kantong kemiskinan yang sangat banyak, dengan banyak keluarga berpendapatan kurang dari Rp13.000 sehari. Penduduknya kebanyakan adalah migran Vietnam yang tidak berdokumen, banyak di antaranya tinggal di rumah perahu bobrok di Sungai Tonle Sap, dengan bercocok ikan.

"Ketika kita berbicara tentang perdagangan seks anak, di sini adalah titik pusat gempanya," kata Brewster.

"Bisa dikatakan, saat kami datang ke Svay Pak, jika Anda adalah seorang gadis yang lahir di sini, 100 persen Anda akan diperdagangkan. Beruntunglah sekarang, kami bisa mengatakan angka itu turun di bawah 50%."

Tapi Brewster telah memperingatkan bahwa meskipun anak-anak tidak lagi dijual di rumah pelacuran di sini, perdagangan anak sekarang berlangsung di hotel, sehingga lebih sulit untuk dideteksi dan lebih sulit dicegah.

Laporan Kementerian Perdagangan AS pada 2017 mengatakan Kamboja tidak sepenuhnya memenuhi standar minimum untuk menghapuskan perdagangan manusia, namun mencatat bahwa pemerintah Kamboja telah melakukan upaya signifikan untuk memerangi perdagangan manusia, termasuk meningkatkan jumlah hukuman perdagangan manusia.

(Baca juga:Pensiunnya Miyabi dan Keunikan Industri Esek-esek Jepang)

Sebagai direktur investigasi AIM, Eric Meldrum bekerja sama dengan polisi Kamboja untuk melacak penjahat dan korban penyelamatan. Dalam tiga tahun, dia telah membantu menyelamatkan 130 anak perempuan dalam lebih dari 50 penggrebekan berbeda dan bahwa kemitraan AIM dengan polisi sangat penting.

"Polisi melakukan pekerjaannya dengan baik," katanya. "Kami memiliki kerja sama yang sangat baik dengan mereka dan ada kesediaan yang pasti di seluruh kepolisian, di seluruh hierarki polisi, untuk menindak masalah ini."

Meldrum menambahkan, "Kamboja masih negara miskin dan orang-orang masih susah mencari uang. Dan sayangnya, dengan pendidikan yang minim dan kurangnya lapangan pekerjaan, industri seks adalah salah satu jalan pintas menghasilkan uang yang langsung dikirim ke rumah.

"Bahkan meskipun sebuah keluarga tidak menginginkan anak gadis mereka masuk industri ini, namun tidak ada pilihan lain."

Terlepas dari upaya LSM dan kepolisian, namun itulah kenyataan yang masih dihadapi oleh banyak anak perempuan di Svay Pak.

"Sulit untuk mengerti mengapa ibu-ibu ini melakukan perbuatan keji itu," kata Sephak. "Mereka tidak punya uang, jadi anak perempuan merekalah yang dipaksa bekerja.

"Bahkan sekarang, saya melihat banyak ibu yang tidak mengerti perasaan anak perempuan mereka. Mereka tidak mengerti bahwa anak perempuan mereka memiliki hati, sehingga mereka menderita."

Artikel Terkait