Sumba Memiliki Banyak Cerita, Begitu Juga Arsitektur Rumah Marga Sumba

Ade Sulaeman

Penulis

Rumah Tradisional Sumba

Intisari-Online.com - Beragamnya budaya di Indonesia juga mempengaruhi kekayaan warisan arsitektur di Indonesia.

Dimulai dari arsitektur tradisional, hingga menuju arsitektur Indonesia modern.

Terdapat ciri umum arsitektur asli Indonesia, yaitu fondasi tiang yang dinaikkan, pemanjangan bubungan atap, dan teknik konstruksi yang memakai material alami.

Pada buku Indonesian Heritage: Arsitektur, tradisi arsitektur Indonesia menjelaskan warisan Austronesia kuna, dalam hal struktur dan arti perlambang yang mengelilingi rumah.

Ini ditandai dengan rumah dapat menentukan status sosial, seringkali dikenali sebagai perwujudan fisik nenek moyang dan tempat penyimpanan pusaka yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Rumah marga Sumba

Sumba memiliki rumah tradisional tiga tingkat yang disetiap tingkatnya memiliki fungsinya masing-masing.

Tingkat pertama berfungsi sebagai tempat atau kandang hewan ternak, tingkat kedua berfungsi sebagai tempat tinggal keluarga, dan tingkat tiga (puncak) berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan benda pusaka suci yang dianggap sebagai roh leluhur.

Rumah Tradisional Sumba
Sebagian besar orang Sumba taat pada agama asli, yang terpusat pada Marappu. Tingkat ke-3 pada rumah juga berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan hasil panen.

Rumah marga Sumba juga memiliki level atau fondasi tiang yang dinaikkan, di mana rumah tidak langsung menyentuh tanah.

Sehingga, rumah memiliki “rongga” atau ruang bawah dan inilah yang digunakan untuk kandang hewan ternak.

Namun, kelebihan dari fondasi yang dinaikkan tidak hanya itu saja. Ini juga menjadi penyesuaian iklim dan geografi alam Indonesia.

Tiang-tiang ini meninggikan ruang tamu sehingga tidak akan terkena banjir apabila musim hujan tiba.

Celah-celah yang terdapat pada lantai menjadi ventilasi sehingga ruang di dalam rumah pun akan menjadi sejuk.

Dapur diletakkan di tengah ruang di dalam rumah. Dapur pada rumah marga Sumba ini tidak seperti dapur modern pada umumnya.

Dapur pada rumah marga Sumba hanya terdapat perapian yang digunakan sebagai kompor juga dan terdapat sebuah rak atau tempat penyimpanan menggantung di atas perapian.

Rak ini biasa untuk meletakkan bahan makanan terlebih bahan makanan basah.

Asap yang keluar dari perapian akan mengeringkan bahan makanan, misalnya daging biasa diletakkan di rak dan kemudian dibiarkan mengering.

Asap yang keluar dari perapian juga menjaga atap rumah agar tidak lapuk.

Ya, atap rumah marga Sumba terbuat dari daun alang-alang.

Pemilihan daun alang-alang untuk atap tidak boleh sembarangan.

Ini akan mempengaruhi ketahanan atap rumah nantinya.

Seperti yang diceritakan oleh Tamu Rambu Intan, salah seorang warga dari Sumba Timur, atap dari daun alang-alang haruslah bersih dan tidak bercampur dengan daun yang lain.

Apabila atap daun alang-alang tidak bercampur dengan daun lain, atap rumah dapat bertahan hingga bertahun-tahun lamanya.

Dikutip dari Indonesian Heritage: Arsitektur, rumah marga Sumba diatur dengan dasar perbedaan yang secara perlambang penting kanan dan kiri, depan dan belakang, atas dan bawah, serta tengah dan luar.

Sisi kanan rumah sebagian besar disediakan untuk upacara dan urusan umum lainnya yang dipimpin oleh para lelaki.

Sebaliknya, sisi kiri merupakan wilayah rumah tangga, tempat makanan sehari-hari disiapkan dan diolah menjadi makanan siap santap, sehingga lebih dihubungkan dengan para wanita.

Begitu juga dengan tata cara pembangunan rumah.

Dalam masyarakat Indonesia, sangat penting mengurut berbagai unsur susunan rumah.

Urutan tiang yang didirikan penting bagi kesejahteraan penghuni rumah di masa datang.

Tiang pertama yang didirikan berada di depan kanan, diikuti kanan belakang, kemudian ke kiri belakang, dan terakhir ke kiri depan.

Semua harus ditempatkan di tanah menurut arah tumbuhnya, ujung akar di bawah dan pucuk di atas.

Apabila tidak mengikuti hal ini, kepercayaan setempat mengatakan bahwa tiang rumah akan keropos dan kesehatan penghuni akan terganggu.

Begitu juga dengan palang atau kayu yang melintang.

Semuanya harus dipersiapkan dengan sistematis di mana pangkal akar harus bertemu dengan ujung pucuk yang lain.

Begitu seterusnya sehingga akan menimbulkan gerakan berputar.

Palang kayu pun tidak boleh ditempatkan terlalu tinggi hingga tangan tak mampu menjangkaunya.

Diceritakan oleh Marthen Ragowino Bira, Mantan Kepala Desa Tebara, palang kayu harus terjangkau oleh tangan agar tidak tenggelam atau tidak celaka.

Perbedaan Rumah Marga Sumba Timur dan Rumah Marga Sumba Barat

Ada perbedaan pada rumah marga Sumba Timur dengan rumah marga Sumba Barat.

Marthen Ragowino Bira, Mantan Kepala Desa Tebara mengatakan bahwa secara teknik konstruksi tidak berbeda.

Baik rumah marga Sumba Timur dan rumah marga Sumba Barat mempunyai 3 tingkat.

Yang berbeda salah satunya adalah fungsi tiang di dalam rumah.

Di Sumba Timur, kadangkala tidak memiliki Labe atau bundaran yang berada di pucuk tiang utama.

Labe memiliki fungsi sebagai tempat bersemayamnya arwah nenek moyang.

Sedangkan Sumba Barat mempunyai Labe di pucuk tiang utama.

Rumah marga Sumba Timur juga sudah menghilangkan fungsi tingkat pertama di rumah.

Tingkat pertama tidak lagi digunakan untuk kandang hewan ternak.

Hewan ternak kini memiliki kandangnya tersendiri dan terpisah dari rumah.

Ini hanya menjadi alasan untuk kesehatan.

Tidak hanya itu, Sumba Barat masih mempraktikkan teknik mengikat kayu dan posisi tali satu jalur.

Di mana pangkal akar harus bertemu dengan ujung pucuk yang lain sehingga menimbulkan gerakan berputar.

Sedangkan, rumah marga Sumba Timur tidak lagi mempraktikkan teknik gerakan berputar tersebut.

Perubahan Material Untuk Membangun Rumah

Berlimpahnya kayu di tanah Sumba menjadi nilai tambah tersendiri.

Material untuk membuat rumah tradisional Sumba jauh lebih mudah.

Rumah Tradisional Sumba
Ya, rumah marga Sumba memakai material bambu atau kayu untuk rangka rumah, anyaman untuk dinding, dan daun alang-alang untuk atap rumah.

Bagian atap harus diperhatikan dengan teliti.

Daun alang-alang, material untuk atap tidak boleh bercampur dengan tanaman lain.

Ini dikarenakan atap akan mudah membusuk sehingga tidak bertahan lama.

Daun alang-alang harus bersih dan bebas dari tanaman lain.

Dengan begitu, atap akan bertahan hingga 20 tahun lamanya.

Namun kini penggunaan material alami mulai berubah.

Pada beberapa rumah di Sumba sekarang lebih banyak menggunakan material “buatan”, seperti keramik dan seng.

Ada pula beberapa rumah yang masih memadukan material alami dan material buatan.

Yang paling terlihat jelas adalah penggunaan seng untuk atap.

Seperti cerita dari Frans, salah satu warga Sumba, penggunaan seng untuk atap dinilai lebih kekinian.

Terlebih, seng mudah didapat dan harga jauh lebih murah.

Di Sumba, jarang terlihat rumah memakai genting tanah liat.

Ya, genting tanah liat menjadi material langka.

Apabila ingin memakai genting tanah liat, penduduk Sumba harus memesan dari Jawa.

Hal ini membuat harga genting tanah liat menjadi mahal dan langka.

Tetapi, masih banyak ditemukan rumah marga Sumba yang masih alami.

Salah satunya di desa adat Praiijing, Waikabubak, Sumba Barat.

Desa adat yang pernah terbakar beberapa tahun silam ini menyisakan 38 rumah marga Sumba Barat yang masih asri dan makam yang menonjol di tengah desa.

Di desa ini pula bisa melihat keseharian warga Sumba Barat seperti menenun kain, menganyam tas, dan menggembala hewan ternak.

Artikel Terkait