Hiroo Onoda, Tentara Jepang yang Sampai Ajal Menjemput pun Tak Sudi Menyerah kepada Tentara Sekutu

Moh Habib Asyhad

Penulis

Hiroo Onoda, Salah Satu Tentara Jepang yang Ogah Menyerah pada Sekutu Hampir Tiga Dekade

Intisari-Online.com -Setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, pada 15 Agustus 1945, Jepang mengumumkan menyerah kepada Sekutu.

Perang Dunia II berakhir, tapi tidak untuk beberapa orang. Salah satunya, Hiroo Onoda.

Ia menolak pada sekutu sampai ajal menjemput pada awal tahun 2014 lalu.

(Baca juga:Gila! Meski Hanya Menyisakan Satu Panser, Pasukan Remaja Nazi Ini Terus Berperang Hadapi Tank-tank Sekutu)

Hiroo Onoda masih 22 tahun ketika ia ditugaskan di Pulau Lubang di Filipina pada Desember 1944.

Sebagai seorang perwira intelijen, ia diberi tugas untuk mengganggu dan menyabotasi upaya musuh—dan untuk tak pernah menyerah pada musuh.

Pasukan Sekutu mendarat di pulau ini pada Februari 1945.

Mereka membombardir tentara Jepang yang ada di situ, tapi Onoda dan beberapa pasukannya berhasil meloloskan diri.

Ia menolak untuk menyerah dan mati, dan memilih mundur ke perbukitan untuk menyusun serangan selanjutnya sebagai gerilyawan.

Untuk bertahan hidup, ia dan anak buahnya makan pisang yang tumbuh liar di hutan, kelapa, dan hewan ternak yang dicuri dari kepolisian setempat.

Hiroo Onoda
Pada akhir 1945, muncul selebaran yang menyebutkan bahwa perang telah usai, dan memerintahkan seluruh tentara Jepang yang ada di kawasan Pasifik untuk menyerah.

Setelah dipertimbangkan dengan cermat, mereka menghilangkan selebaran-selebaran itu dan menggunakan untuk menyerang lawan.

“Setiap prajurit Jepang harus siap mati, tapi sebagai seorang perwira intelijen saya diperintahkan untuk melakukan gerilya, bukan untuk mati. Saya harus mengikuti perintah sendiri, sebagaimana saya adalah seorang prajurit,” ujar Onoda.

Tapi harapan tak selalu sejalan dengan kenyataan. Pada 1950, salah seorang sahabat Onoda memutuskan menyerah, dan sahabat lainnya tertembak pada 1954.

Pengawal terakhirnya, Kinshichi Kozuka, juga berhasil ditembak polisi pada 1972 ketika ia dan Onoda tengah menyerbu toko beras di sebuah peternakan lokal.

Setelah itu, ia benar-benar sendirian—dan menjadi legenda di Pulau Lubang.

Kisahnya yang misterius menarik perhatian seorang petualang muda bernama Norio Suzuki—yang juga terobsesi dengan panda dan manusia salju.

Ia berangkat ke hutan Pulau Lubang untuk menemukan Letnan Onoda.

Hingga pada 20 Februari 1974, mereka berdua akhirnya bertemu di sebuah hutan di Pulau Lubang.

Dari Suzuki, Onoda tahu tahu bahwa negaranya benar-benar mengkhawatirkannya.

Tapi dengan tegas ia menolak untuk menyerah kecuali ada perintah dari atasannya langsung.

Suzuki kembali ke Jepang. Dengan bantuan salah seorang koleganya, ia mencari atasan Onoda, Mayor Yoshimi Taniguchi, yang sekarang telah menjadi laki sepuh-sepuh penunggu sebuah toko buku.

Pada 9 Maret 1974 Taniguchi terbang ke Lubang dan secara resmi membebasakan Onoda dari tugasnya. Itu 29 tahun setelah berakhirnya Perang Dunia II.

“Bocah aneh ini, Suzuki, datang ke pulau untuk mendengarkan perasaan seorang tentara Jepang. Suzuki bertanya kenapa saya tidak mau keluar. Saya bilang, jika perang berakhir dan saya menerima perintah untuk menghentikan perang, maka saya akan keluar. Jadi, Suzuki membawa komandan saya ke Lubang untuk membujuk supaya saya mau menyerah,” kenang Onoda.

Tiga hari kemudian, Onoda menyerahkan pedangnya kepada Presiden Filipina Ferdinand Marcos, dan menerima pengampunan atas perbuatannya selama puluhan tahun sebelumnya.

(Menurut catatan pemerintah, aksi Onoda telah menewaskan 30 orang).

Ia kemudian kembali ke Jepang dan disambut laiknya pahlawan.

(Baca juga:Saat Perang Dunia II, Singapura Pernah Jadi Ajang Pembantaian dengan Korban Puluhan Ribu Orang )

Namun ia memutuskan untuk pindah ke Brasil dan menjadi peternak sapi di sana. Setelah satu dekade, ia kembali ke Jepang dan membentuk kelompok sekolah yang mengajarkan cara bertahan hidup kepada anak-anak.

Sementara itu, si petualang Suzuki, tak lama setelah menemukan Onoda, berhasil menemukan panda, yang diidam-idamkannya, di alam liar.

Tapi nasibnya naas, ia meninggal setelah terbawa longsoran salju di pegunungan Himalaya pada 1986, dalam misi menemukan manusia salju.

Artikel Terkait