Lee Kuan Yew: Singapura Memilih Merdeka, karena Malaysia Hanya Ingin Dikuasai Suku Melayu

Ade Sulaeman

Penulis

6 Fakta Menarik Lee Kuan Yew sang Founding Father Singapura

Intisari-Online.com -Negeri pulau seluas 640 km2itu sangat minim sumber daya alam.

Namun dengan visi dan kerja keras akhirnya berkembang menjadi salah satu negeri paling makmur di dunia.

Pendapatan per kapita tumbuh dari AS$400 pada 1959 menjadi AS$12.200 ketika Lee Kuan Yew mundur dari jabatan perdana menteri pada 1990. Lee Kuan Yew mengawali kepemimpinan sebagai perdana menteri negara bagian Singapura yang merupakan bagian dari Federasi Malaysia pada 1959, dalam usia 36 tahun.

Ketika Singapura memisahkan diri dari Malaysia, 9 Agustus 1965, usianya baru 42 tahun (ia kelahiran Singapura, 16 September 1923).

(Baca juga: Lee Kuan Yew Keturunan Semarang?)

Ia menyingkirkan komunisme, menyatukan aneka etnis dalam satu kebanggaan, menegakkan hukum dan pemerintahan yang bersih, membentuk angkatan bersenjata, serta memberi fasilitas kelas dunia bagi turis dan investor. Memoarnya,From Third World To First, The Singapore Story: 1965 - 2000, merupakan buku kedua setelahThe Singapore Story(1998) yang menjadibest sellerdi banyak negara. Tiada lain kecuali merdeka Saya pulang dengan gelar "ahli hukum", setamat dari Cambridge University, Inggris, 1950.

Bersama dengan beberapa teman, saya mendirikan partai politik.

(Baca juga: Dinasti Keluarga Lee Kuan Yew di Pemerintahan Singapura)

People's Action Party (PAP) pun terbentuk (1954), dan memenangi pemilihan umum lima tahun kemudian.

Sebagai pemimpin partai, secara otomatis saya menduduki jabatan perdana menteri. Pada 1963 kami bergabung dengan Malaysia sebagai negara bagian.

Sayang, setahun kemudian terjadi huru-hara karena bentrokan etnis antara Melayu dan etnis Cina.

Ada gerakan ekstrem di dalam partai penguasa, United Malay National Organisation (UMNO), yang menghendaki Federasi Malaysia hanya bagi suku Melayu.

Singapura, dengan komposisi etnis 75,4% Cina, 13,6% Melayu, dan 8,6% India, secara tidak langsung diminta berpisah.

Tak ada pilihan lain bagi kami untuk "pergi", dan menyatakan kemerdekaan pada 9 Agustus 1965. Meski cemas, saya tidak menampakkannya. Tugas saya memberikan harapan kepada rakyat, bukan melunturkan semangatnya.

Maka saya mencari cara untuk memulai pemerintahan sendiri, sambil menahan keberadaan Inggris selama mungkin. Langkah pertama, kemerdekaan kami harus mendapat pengakuan internasional.

Saya menugasi Wakil Perdana Menteri Toh Chin Chye dan Menteri Luar Negeri Sinnathamby Rajaratnam untuk melobi para pimpinan dunia.

Hasilnya, pada September 1965 kami diterima sebagai anggota PBB. Perhatian kedua adalah mempertahankan negeri pulau warisan Inggris ini dari mereka yang tak rela kami lepas dari Malaysia.

Sementara itu saya harus menegakkan hukum dan peraturan.

Namun, ada hal lain yang memusingkan: membangun ekonomi.

Bagaimana menciptakan lapangan kerja bagi bangsa "baru" dengan angka pengangguran 14%? Modal utama kami adalah ketulusan dan kepercayaan diri rakyat.

Meski terbagi dalam beberapa suku bangsa, saya percaya bahwa perlakuan adil dan kebijakan yang tidak diskriminatif akan menyatukan mereka.

Terlebih lagi jika kemakmuran tercapai. Tapi bagaimana merintis kemakmuran? Saya sendiri tak tahu.

Saya sering pusing dan sulit tidur, sehingga Choo, istri saya, meminta resep obat tidur dari dokter.

Tapi rasanya minum bir dan anggur setelah makan malam lebih menolong daripada obat tidur.

(Intisari Desember 2000)

Artikel Terkait