Penulis
Intisari-Online.com - Roda perekonomian Jakarta tak hanya diputar oleh bisnis barang dan jasa berskala besar. "Ekonomi pinggiran" yang digerakkan oleh pedagang kecil bahkan lebih tahan guncangan daripada pengusaha besar.
Pedagang makanan kecil misalnya, tak perlu terpuruk atau terlanda kredit macet karena konsumennya setiap hari ada.
Denyut perut orang Jakarta berawal dini hari di sekitar Senen, Jakarta Pusat, dan Blok M, Jakarta Selatan. Di kedua tempat itu, setiap hari dan nyaris tanpa libur, makanan kecil dijajakan.
Seratusan pedagang di kaki lima Blok M dan enam ratusan pedagang di halaman Pasar Senen.
Aneka jajanan, dari kue lapis, lumpia, bakwan, klepon, lemper, onde-onde, kue cucur, wajik, getuk, kue mangkok, sampai pastri dan kue tart tersedia.
Mau beli eceran dan langsung disantap bisa. Dibungkus sampai jumlah ribuan pun tak soal. Konsumen mewakili kelas pembeli yang beraneka.
Ada pelaku jajan individual yang datang untuk menyantap dua - tiga jajanan, ada ibu rumah tangga yang beli beberapa potong untuk keluarga, ada anggota sebuah kepanitiaan yang belanja untuk konsumsi rapat, ada yang sedang menyiapkan pesta, banyak pula pemilik waning atau toko kue yang kulakan untuk dijual lagi.
Harinya cuma beberapa jam
Di Blok M, sekitar tahun 1975, hanya ada sepuluhan pedagang. Karena konsumen terus ada, sampai tahun 1980-an, jumlahnya telah puluhan dengan area yang makin memanjang. Lantas ada lapisan kedua yang lebih menjorok ke jalan.
Di Pasar Senen, pusat dari aneka jenis komoditas dagang, dimulai jauh sebelum itu. "Ketika tempat ini masih kebon, masih banyak pohon pisang," kata Santosa, salah satu pedagang menunjuk area di halaman pasar bertingkat yang kini menjadi tempat ia bersama ratusan pedagang lain setiap hari berjualan.
Sejak 1983, halaman pasar "resmi" menjadi tempat menjajakan makanan kecil. Sampai sekarang ada sekitar 600 pedagang, tidak termasuk yang berada di emper toko yang jumlahnya juga makin banyak.
Dikelola oleh PD Pasar Jaya, rata-rata pedagang dipungut Rp 2.000,- setiap hari, untuk izin maupun kebersihan.
Ingat, yang namanya "hari" jualan hanya beberapa jam sampai pukul 08.00. Kalau di Blok M mulai pukul 04.00 - 05.00, di Senen lebih awal, pukul 02.00 WIB.
Akhir "hari" ditandai dengan pukulan tiang listrik di sudut jalan oleh petugas di Blok M, sementara di Senen kegiatan dihentikan oleh teriakan, "dan kami semua tahu apa yang harus dilakukan," kata Awie, pedagang kue sus dan pie di Senen.
Selewat jam itu, tempat diambil alih pelaku usaha lam. Toko mulai buka, atau pedagang buah dan majalah mulai menggelar barangnya.
Di Senen, atap plastik dan meja-meja darurat segera ditempati pedagang pakaian.
Membagi gratis untuk jaga harga
Seusai masa jualan, berbagai cara dilakukan untuk menjual dagangan yang tidak laku. Santosa, yang rata-rata per harinya menjual seribu lumpia, seribu risoles, seribu martabak, dan seribu lemper, menjual lagi di toko milik kerabatnya.
Tentu saja dengan harga lebih tinggi. "Ya, kalau di sini tiga ratusan, di toko jadi empat ratus," katanya seraya menambahkan, harga rata-rata makanan di Senen memang sekitar angka itu.
"Ada juga sih lumpia yang dua ratus perak, tapi warnanya coklat tua dan kalau digigit membikin mata jadi mendelik."
Banyak pedagang yang mengobral jualannya selewat pukul 08.00 WIB, di tempat lain. Atau seperti Jumiatun beserta empat kawannya sesama pedagang, bergeser ke kaki lima di dekat pintu masuk terminal Senen.
"Saya pedagang kecil, harus cari jalan supaya semua dagangan laku," kata perempuan asal Tegal, yang setiap hari menjajakan dua ratusan potong getuk, dua ratus lapis, dan seratusan bungkus klepon itu.
Namun, ada cara yang berisiko rugi seperti dilakukan Ny. Betty Marlena, produsen, N & N Snack di Blok M, punya karyawan 14 orang, dan merupakan salah satu pedagang besar dengan omzet harian Rp" 1 - 2 juta (Senin sampai Jumat) dan Rp 3 - 3,5 juta (Sabtu dan Minggu).
Setiap dagangan yang tidak laku (ia spesialis sus dan rollcake), dibagikannya gratis kepada teman, kenalan, atau tetangga.
"Daripada mengobralnya dengan harga murah, menjatuhkan harga, lebih baik saya bagikan saja," kata bendahara Persatuan Pedagang Kue Subuh Blok M (PPKSB) yang selama 10 tahun berdagang berhasil memiliki dua rumah dan dua mobil ini.
Agunannya harta pribadi
Keberadaan Betty sebagai bendahara membuktikan bersatunya para pedagang emperan. Wadah yang dibentuk tahun 1995 itu bertujuan menggalang kerukunan di antara sesama pedagang.
Awalnya karena sejumlah masalah. Maklum, namanya juga kaki lima, kadang diuber-uber petugas ketenteraman dan ketertiban (tramtib).
“Sudah masak kue, sampai sini enggak bisa jualan karena berantakan,” kata H. Musyarif, ketua PPKSB.
“Belum lagi soal preman dan gelandangan. Hingga tahun 1991-an, yang namanya preman main comot saja seenaknya, ya kue ya uang. Sejak ada organisasi ini, preman tidak ada lagi.”
Tiap pedagang dikutip uang keanggotaan Rp 3.000,-/minggu untuk dana sosial. Uang itu dipakai, misalnya, untuk membantu pedagang yang sakit, meninggal dunia, atau untuk piknik bersama setahun sekali.
Bahkan Musyarif bisa menjalin hubungan dengan sebuah bank untuk memperoleh kredit murah.
"Dengan agunan rumah Bu Betty dan dua mobil saya, November 1999 kami mendapat kredit Rp 150 juta yang disalurkan kepada semua pedagang kue subuh di Blok M," tambah Musyarif, spesialis kue tart dan black forest.
Kredit itu kemudian disalurkan sebagai pinjaman bernilai Rp 1 - 20 juta dengan angsuran yang dibayarkan secara harian. Pinjaman dipakai untuk pelbagai kepentingan usaha, mulai membeli bahan mentah, alat kerja/ hingga mobil pengangkut dagangan.
"Alhamdulillah sampai sekarang belum ada yang macet. Dari awal saya wanti-wanti pada teman-teman agar jangan sampai nunggak angsuran, karena akibatnya saya bisa tinggal di bawah jembatan," canda Betty.
Kalau pedagang Blok M tergabung dalam wadah yang rapi, tidak demikian halnya di Senen. Di pusat jajanan itu tak ada paguyuban, persatuan, koperasi, atau sejenisnya.
"Di sini sih tenang-tenang saja. Persaingan memang ada, tapi enggak sampai ada ribut-ribut," kata Aming, anak muda yang setiap Minggu kebagian tugas menunggui dagangan orang tuanya.
Sekalipun Senen dikenal sebagai daerah penuh risiko, para pedagang tak merasa perlu mengorganisasikan diri.
Ancaman dari preman atau sejenisnya praktis tak ada, paling-paling gelandangan yang minta satu dua makanan untuk ganjal perut sebangun tidur di lorong-lorong pasar.
"Lagi pula pada jam kerja kami para preman sudah selesai beroperasi, pencoleng lagi nyenyak-nyenyaknya tidur, dan penjahat siang belum bangun," sambung Sodikun, pedagang lemper di sebelah Aming.
"Malah waktu kerusuhan tahun 1998, tempat ini hanya sepi sebentar. Pedagang dan pembeli sudah ada selagi banyak toko tutup berhari-hari," Willy alias Awie, penjaja kue mangkok yang keluarganya juga berjualan di Blok M, melengkapi penjelasan.
Ratusan juta uang beredar tiap hari
Kalau pendapatan kotor para pedagang di Blok M berkisar antara puluhan, ratusan ribu, hingga Rp 3 juta, nilai transaksi rata-rata yang didapat sekitar Rp 1 juta.
Dikalikan jumlah pedagang yang 100 orang, berarti uang yang beredar di situ sekitar Rp 100 juta per hari. Apalagi di Senen yang jumlah pedagangnya berlipat.
Seketika tergambar, jumlah uang beredar pada dini hari di tempat itu bukan main-main. Sebagai kegiatan ekonomi, peran serta mereka tidak kecil.
Belum lagi sektor lain yang terkait, seperti jasa angkutan, parkir, penjaja minuman, koran, rokok, dan Iain-lain.
Tidak pula bisa dikesampingkan daya serapnya terhadap tenaga kerja. Musyarif, misalnya, punya delapan tenaga kerja. Wawa, pedagang di Blok M yang omzet rata-rata kue mangkoknya 20.000 per hari, punya 18 karyawan.
Di Senen, pedagang lumpia semacam Santosa punya enam pekerja. Nyonya Yuli yang khusus menjual tart seharga Rp 40 - 60 ribu, pembuatannya dibantu oleh 11 anak buahnya.
Nilai lebih mereka ternyata juga terlihat dalam etos kerja. Ketika orang lain masih tidur, mereka bekerja. Saat orang lain berlibur, mereka tetap jualan. Namun mereka tak menganggapnya istimewa.
Hanya karena pilihan usahalah hal itu terjadi, seperti diucapkan Betty Marlena. "Lama-lama jadi biasa. Hidup kami terbalik. Waktu orang lain tidur, kami bekerja. Ya, gantianlah," kata perempuan periang bertubuh subur ini.
Pola kerja mereka, seperti diterangkan Wawa, mulai memasak kue mangkok pukul 13.00. Sedangkan Santosa mulai masak pukul 20.00. "Selesai tengah malam, siap-siap, dan jam 02.00 mulai buka di sini."
Pengadaan bahan baku berlangsung bagai sebuah sistem. Ada yang berlangganan terigu dari kios di Pasar Senen yang sengaja buka sejak dini hari, ada pula yang melanggan bahan dari tempat lain.
Namun untuk menjaga kualitas rasa, misalnya, Wawa menggiling sendiri beras yang didatangkan dari Cianjur. "Kalau tidak digiling sendiri rasanya kurang enak dan tidak segar."
Sebagai pelaku kegiatan ekonomi, tentunya mereka tidak bebas dari krisis. Betty menjelaskan, sebelum krisis ia sanggup menjual dua mobil kue per hari.
Namun sejak krisis hanya satu mobil, itu pun tidak penuh. Harga bahan baku naik 3 - 4 kali lipat, pembeli berkurang. "Tapi sejak tiga bulan pertama tahun 2000 terjadi peningkatan omzet, meskipun tidak sebanyak sebelum krisis."
Begitulah mereka, penyedia hasrat jajanan orang Jakarta dan sekitarnya. Tak banyak yang sadar, denyut nadi Jakarta sudah diawali ketika sebagian besar orang tidur lelap.
(Mayong S. Laksono/ Shinta Teviningrum)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 2000)