Mengapa Kalimat ‘Syukurlah Cuma…” Itu Begitu Sakti? Kisah Ini Menggambarkannya

Ade Sulaeman

Penulis

Bersyukur Atas Anugerah Hari Ini

Intisari-Online.com – Pukul 8 pagi saya berada di Universitas. Dengan gembira saya bertanya pada mahasiswa saya bagaimana akhir pekan mereka.

Seorang pemuda mengatakan bahwa akhir pekannya tidak terlalu baik. Ia merasa benar-benar menghabiskan rasa bijaksananya. Pemuda itu kemudian bertanya mengapa saya selalu terlihat sangat ceria.

Pertanyaannya mengingatkan saya akan sesuatu yang pernah saya baca di suatu tempat sebelumnya.

“Setiap pagi saat kamu bangun, kamu punya pilihan bagaimana kamu bisa melanjutkan kehidupanmu hari itu,” kata saya pada pemuda itu. “Saya memilih untuk ceria. Biar saya beri contoh,” lanjut saya.

Enam puluh mahasiswa lainnya di kelas itu menghentikan obrolan mereka dan mulai mendengarkan percakapan kami.

“Selain mengajar di sini, saya juga mengajar di sebuah tempat kursus, yang jauhnya sekitar tujuh belas mil menyusuri jalan bebas hambatan dari tempat saya tinggal.

Suatu hari beberapa minggu lalu, saya mengemudikan mobil tujuh belas mil ke tempat kursus. Saya keluar dari jalan bebas hambatan dan berbelok. Hanya tinggal seperempat mil lagi menuju tempat kursus. Tapi, tiba-tiba mesin mobil saya mati.

Saya mencobanya, tapi mesinnya benar-benar tidak mau menyala. Saya nyalakan lampu kilat, meraih buku-buku saya, dan berjalan menuju tempat kursus.

Begitu sampai di tempat kursus, saya menelepon bengkel dan meminta mereka mengirimkan truk derek. Sekretaris di kantor menanyakan apa yang telah terjadi.

Ini hari keberuntungan saya, jawab saya sambil tersenyum.

Mobilmu rusak dan hari ini hari keberuntunganmu? Apa maksudmu? tanya sekretaris dengan bingung.

Saya tinggal tujuh belas mil dari sini, jawab saya. Mobil saya bisa saja mogok di sepanjang jalan bebas hambatan.

Tidak.

Sebagai gantinya, ia mogok di tempat yang tepat, yaitu dari jalan bebas hambatan, dan dari jarak saya bisa berjalan kaki ke tempat ini.

Saya masih bisa mengajar di kelas saya, dan saya bisa menelepon bengkel untuk mengirimkan truk derek lalu menemui saya di kelas.

Jika mobil saya memang dimaksudkan untuk rusak hari ini, tidak mungkin diatur dengan cara yang lebih nyaman.

Mata sekretaris itu terbuka lebar, dan kemudian ia tersenyum. Saya balas tersenyum dan menuju kelas. Dan sekarang saya sampaikan cerita itu di depan mahasiswa saya.”

Saya mengamati enam puluh wajah di ruang kuliah. Sepertinya tidak ada yang tertidur.

Entah bagaimana, cerita saya bisa menyihir mereka. Atau mungkin itu bukan cerita sama sekali.

Hanya karena dimulai dari pengamatan mahasiswa saya bahwa saya ceria.

Seorang bijak pernah berkata, “Siapa yang bicara lebih keras dari apapun yang bisa dikatakannya?”

Artikel Terkait